Jakarta, Setelah proses fracturing, gas
alam yang berada di shale gas, akan langsung keluar atau
berproduksi. Karena itu, pengembangan shale gas harus sejalan
dengan pembangunan infrastruktur agar gas dapat langsung disalurkan ke konsumen.
“Setelah fracturing, gas sudah berproduksi. Karena itu
pengembangan shale gas harus paralel dengan infrastruktur,”
papar Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Naryanto Wagimin dalam seminar
mengenai pengembangan gas di Hotel Borobudur, Rabu,(31/10).
Berdasarkan hasil studi ke Amerika Serikat yang telah sukses
mengembangkan shale gas, lanjut Naryanto, di negara tersebut
terdapat perusahaan yang khusus memfasilitasi infrastruktur shale gas dari
produsen ke konsumen. Peluang inilah yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan
dalam dan luar negeri, terkait pengembangan shale gas di
Indonesia.
“Untuk infrastruktur, bisa dibangun KKKS atau perusahaan lain. Contohnya,
ketika Rain Resources membangun facturing gas,
ketika dia sudah mulai ngebor, sudah negosiasi dengan perusahaan
swasta yang akan membangun fasilitas untuk sampai ke konsumen. Kalau di
(negara) kita kan dikasih kebebasan. Ini bisa dimanfaatkan,” tambah
Naryanto.
Mengenai investasi pengembangan shale gas, kata Naryanto, untuk
setiap sumur, di AS dibutuhkan biaya sekitar US$ 5 juta. Sementara di
Indonesia, diperkirakan sekitar US$ 9-10 juta karena ada penambahan untuk social
cost.
“Investasinya kalau di Amerika, mulai dari ngebor sampai fracturing
sekitar US$ 5 juta per sumur. Tapi daerahnya berbeda karena di
sana, jarak satu rumah dengan rumah lainnya jauh. Kalau kita kan berdekatan.
Jadi ada social cost-nya,” ujarnya.
Pengembangan shale gas diatur dalam
Permen ESDM No 05 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penetapan Dan Penawaran Wilayah
Kerja Minyak Dan Gas Bumi Non Konvensional. Dalam aturan tersebut, antara lain
ditetapkan bahwa pengusahaan migas non konvensional tunduk dan berlaku
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kegiatan usaha migas, meliputi
kegiatan eksplorasi migas non konvensional dan eksploitasi migas non
konvensional.
Potensi shale gas Indonesia
diperkirakan sekitar 574 TCF. Lebih besar jika dibandingkan CBM yang
sekitar 453,3 TCF dan gas bumi 334,5 TCF. (Ditjen Migas)
No comments:
Post a Comment