Monday 15 November 2010

Pidato Presiden Amerika Serikat, Barak Obama di Universitas Indonesia, Jakarta

Pengantar :

Untuk lebih memahami isi kandungan dari pidato Presiden Amerika Serikat, Barak Obama di Universitas Indonesia Jakarta pada 11 November 2010 yang disampaikan sekitar satu jam, maka blog ini berupaya untuk lebih menyebarluaskan lagi isi pidato tersebut dalam bahasa Indonesia agar makna yang tersirat dari ungkapan isi hati Barak Obama terhadap Indonesia, khususnya tentang Islam selengkapnya sebagai berikut :

Terima kasih, terima kasih, terima kasih banyak, terima kasih untuk anda semua. Selamat Pagi. Sungguh menggembirakan berada disini, di Universitas Indonesia. Kepada para dosen, staf dan mahasiswa, dan kepada Dr. Gumilar Rusliwa Sumantri, terima kasih banyak atas keramahtamahan anda. (tepuk tangan)

Assalamualaikum dan salam sejahtera. Terima kasih untuk sambutan luar biasa ini. Terima kasih kepada rakyat Jakarta dan terima kasih kepada rakyat Indonesia.

Pulang kampung nih. (tepuk tangan). Saya sangat gembira kembali berada di Indonesia dan bahwa Michelle sempat menemani saya. Kami menghadapi beberapa pembatalan tahun ini, tetapi saya bertekad untuk mengunjungi negara yang punya arti sedemikian besarnya untuk saya. Sayangnya, ini merupakan kunjungan yang relatif singkat, tetapi saya berharap bisa datang kembali setahun dari sekarang, saat Indonesia menjadi tuan rumah KTT Asia Timur. (tepuk tangan)

Sebelum saya lanjutkan, saya ingin menyampaikan bahwa pikiran dan doa kami bersama warga Indonesia yang terserang tsunami dan letusan gunung berapi baru-baru ini – khususnya mereka yang kehilangan sanak saudara yang mereka cintai dan mereka yang kehilangan tempat tinggal. Dan saya ingin anda semua mengetahui, seperti biasanya, Amerika Serikat mendampingi Indonesia dalam menanggapi bencana alam ini dan kami gembira bisa membantu sesuai kebutuhan. Ketika tetangga membantu tetangga lainnya dan keluarga menampung mereka yang kehilangan tempat tinggal, saya tahu bahwa kekuatan dan keuletan rakyat Indonesia akan membuat anda mampu mengatasinya sekali lagi.

Baiklah saya mulai dengan sebuah pernyataan sederhana: Indonesia bagian dari diri saya. (tepuk tangan). Saya pertama kali datang ke negara ini ketika ibu saya menikah dengan seorang Indonesia bernama Lolo Soetoro. Dan sebagai anak muda, saya -- sebagai anak muda saya datang ke dunia yang berbeda. Tetapi rakyat Indonesia secara cepat membuat saya merasa seperti di rumah sendiri.

Jakarta – kini, Jakarta sangat berbeda waktu itu. Kota ini memiliki bangunan-bangunan yang tingginya hanya beberapa tingkat. Ini tahun 1967, ’68 – kebanyakan dari anda belum lahir waktu itu (tawa). Hotel Indonesia merupakan salah satu dari sedikit gedung tinggi, dan hanya ada satu pusat belanja yang baru dan dinamakan Sarinah. Cuman itu. (tepuk tangan). Becak dan bemo, itulah kendaraan untuk bepergian. Kendaraan ini lebih banyak dari mobil waktu itu. Dan tak ada jalan raya lebar seperti sekarang. Kebanyakan berlanjut dengan jalan yang tidak diaspal dan kampung.

Lalu kami pindah ke Menteng Dalam, dimana – (tepuk tangan) -- hai, apakah ada yang dari Menteng Dalam disini. (tepuk tangan). Dan kami tinggal di sebuah rumah kecil. Kami punya pohon mangga di depannya. Dan saya jatuh cinta kepada Indonesia ketika bermain layang-layang, berlari di sepanjang sawah, menangkap capung dan membeli sate dan bakso dari penjaja di jalan. Sate! (tawa). Saya ingat itu. Bakso! (tawa). Tetapi yang paling saya ingat adalah orang-orangnya –- laki-laki dan perempuan tua yang menyambut kami dengan senyuman; anak-anak membuat seorang asing merasa bagai seorang tetangga; dan para sahabat dan guru yang membantu saya belajar mengenal negara ini.

Karena Indonesia terdiri dari ribuan pulau, ratusan bahasa dan rakyat yang berasal dari banyak wilayah dan kelompok etnis, waktu yang saya lewatkan disini membantu saya menghargai kemanusiaan bersama dari semua rakyat. Dan meskipun ayah tiri saya, sebagaimana kebanyakan orang Indonesia, dibesarkan sebagai Muslim, ia secara kuat berpendapat bahwa semua agama haruslah dihormati. Dan lewat cara ini -- (tepuk tangan) -- lewat cara ini, ia mencerminkan semangat toleransi keagamaan yang juga terbetik dalam UUD Indonesia, dan hal itu tetap merupakan ciri-ciri menentukan dan mengilhami dari negara ini. (tepuk tangan).

Saya tinggal disini selama empat tahun –- suatu masa yang membantu membentuk masa kanak-kanak saya; suatu masa yang menyaksikan kelahiran adik perempuan saya yang cantik, Maya; dan suatu masa yang meninggalkan kesan sedemikian mendalamnya pada diri ibu saya sehingga ia selalu kembali ke Indonesia selama dua puluh tahun untuk tinggal, bekerja dan melakukan perjalanan –- memperjuangkan cita-citanya untuk menciptakan peluang di desa-desa Indonesia, khususnya untuk para perempuan dan gadis. Dan saya merasa begitu dihormati – (tepuk tangan) – Saya merasa begitu dihormati ketika tadi malam Presiden Yudhoyono pada acara makan malam memberi sebuah hadiah penghormatan atas nama ibu saya, memberi pengakuan atas karyanya. Dan ia pasti akan sangat bangga, karena ibu saya merasakan kedekatan dengan Indonesia dan rakyatnya sepanjang hidupnya. – (tepuk tangan).

Begitu banyak yang telah berubah dalam empat dekade sejak saya naik pesawat untuk kembali ke Hawaii. Kalau anda tanya saya – atau teman sekelas yang kenal dengan saya waktu itu – saya rasa tak seorang pun dari kami bisa mengantisipasi bahwa suatu hari saya kembali ke Jakarta sebagai Presiden Amerika Serikat. (tepuk tangan). Dan hanya sedikit yang bisa mengantisipasi kisah Indonesia yang luar biasa dalam empat dekade terakhir ini.

Jakarta yang saya pernah kenal kini tumbuh menjadi sebuah kota padat dengan penduduk hampir sepuluh juta, dengan pencakar langit yang membuat Hotel Indonesia tampak kecil, serta pusat-pusat budaya dan perdagangan yang hidup. Sementara teman-teman Indonesia saya dan saya dulu berlari-lari di sawah ditemani kerbau dan kambing – (tertawa) -, sebuah generasi Indonesia yang baru kini terhubung dengan dunia - lewat telepon genggam dan jaringan sosial. Dan sementara Indonesia sebagai sebuah negara muda memusatkan perhatian ke dalam, Indonesia yang kini tumbuh memainkan peranan kunci di Asia Pasifik dan ekonomi global. – (tepuk tangan).

Perubahan ini juga meliputi politik. Ketika ayah tiri saya masih anak-anak, ia menyaksikan ayah dan abangnya harus meninggalkan rumah mereka untuk berjuang dan gugur demi kemerdekaan Indonesia. Saya gembira berada di sini pada Hari Pahlawan guna menghormati begitu banyak orang Indonesia yang mengorbankan nyawa mereka untuk negara besar ini. (tepuk tangan).

Ketika saya pindah ke Jakarta, waktu itu 1967, suatu masa yang menyusul penderitaan dan konflik besar di bagian-bagian tertentu dari negara ini. Meskipun ayah tiri saya berdinas di Militer, kekerasan dan pembunuhan selama masa pergolakan politik itu tidak saya ketahui karena hal itu tidak dibicarakan oleh keluarga dan teman-teman Indonesia saya. Dalam rumah saya, sebagaimana di banyak rumah lainnya di seluruh Indonesia, hal ini merupakan kehadiran yang tidak terlihat. Indonesia memiliki kemerdekaan, tetapi acapkali mereka takut untuk membicarakan isu-isunya.

Dalam tahun-tahun sesudah itu, Indonesia telah meniti jalannya sendiri lewat transformasi demokratis yang luar biasa –- dari pemerintahan tangan besi ke pemerintahan dari rakyat. Dalam tahun-tahun terakhir, dunia menyaksikan dengan harapan dan ketakjuban, ketika rakyat Indonesia merangkul peralihan kekuasaan secara damai dan memilih langsung para pemimpin mereka. Dan sebagaimana demokrasi anda dilambangkan oleh Presiden dan parlemen anda yang terpilih, demokrasi anda berkesinambungan dan diperkuat lewat pengecekan dan keseimbangan dari sistem demokrasi itu: sebuah masyarakat madani yang dinamis; partai-partai politik dan serikat-serikat; sebuah media yang hidup dan warganegara yang terlibat serta memastikan bahwa - di Indonesia – tidak mungkin akan kembali ke masa lalu.

Namun sementara tempat tinggal masa muda saya ini telah mengalami begitu banyak perubahan, hal-hal yang membuat saya mencintai Indonesia -- semangat toleransi yang tertulis dalam UUD anda; dan dilambangkan dengan mesjid-mesjid, gereja-gereja dan kuil-kuil anda, yang berdiri berdampingan satu sama lainnya; semangat yang tercermin dalam diri rakyat anda - masih terus hidup. Bhineka Tunggal Ika - persatuan dalam keragaman. Ini merupakan dasar dari contoh Indonesia kepada dunia dan inilah mengapa Indonesia akan memainkan peranan sedemikian pentingnya dalam abad ke 21.

Jadi hari ini, saya kembali ke Indonesia sebagai sahabat, juga sebagai Presiden yang mengusahakan sebuah kemitraan yang dalam dan langgeng di antara kedua negara kita. Karena sebagai negara yang besar dan beragam; sebagai tetangga pada kedua tepian Pasifik dan terutama sebagai demokrasi -- Amerika Serikat dan Indonesia sama-sama terikat oleh kepentingan dan nilai-nilai bersama.

Kemarin, Presiden Yudhoyono dan saya mengumumkan sebuah Kemitraan Komprehensif yang baru antara Amerika Serikat dan Indonesia. Kami meningkatkan hubungan antara kedua pemerintahan di berbagai bidang, dan - juga sama pentingnya - kami meningkatkan hubungan di kalangan rakyat kita. Ini merupakan kemitraan yang setara, berakar pada kepentingan bersama dan saling menghormati.

Dengan sisa waktu hari ini, saya ingin membahas mengapa kisah yang saya baru ceritakan - kisah Indonesia sejak masa-masa saya tinggal di sini - sedemikian pentingnya untuk Amerika Serikat dan dunia. Saya fokuskan pada tiga bidang yang saling terkait dan mendasar bagi kemajuan manusia - pembangunan, demokrasi dan agama.

Pertama, persahabatan antara Amerika Serikat dan Indonesia bisa memajukan kepentingan bersama kita dalam pembangunan.

Ketika saya pindah ke Indonesia, sulit untuk membayangkan sebuah masa depan di mana kemakmuran keluarga di Chicago dan Jakarta akan terkait. Tetapi ekonomi kita sekarang global, dan penduduk Indonesia telah mengalami baik potensi maupun ancaman dari globalisasi: dari goncangan akibat krisis financial Asia pada tahun 90an sampai ke jutaan penduduk yang berhasil keluar dari kemiskinan. Itu berarti - dan kita belajar dari krisis ekonomi baru-baru ini - kita punya taruhan dalam kesuksesan masing-masing.

Amerika punya taruhan dalam Indonesia yang tumbuh, dengan kemakmuran yang terbagi secara luas di kalangan rakyat Indonesia - karena masyarakat kelas menengah telah meningkat, ini berarti pasar baru bagi barang-barang kami, sebagaimana Amerika menjadi pasar untuk barang-barang anda. Jadi kami melakukan lebih banyak investasi di Indonesia, ekspor kami tumbuh hampir 50 persen dan kami membuka pintu untuk orang Amerika dan Indonesia guna berbisnis satu sama lainnya.

Amerika punya taruhan dalam sebuah Indonesia yang memainkan perannya yang tepat dalam membentuk ekonomi global. Lewat sudah masa-masa di mana tujuh atau delapan negara secara bersama-sama menentukan arah dari pasar global. Itulah sebabnya G-20 kini menjadi pusat kerjasama ekonomi internasional, sehingga ekonomi yang baru muncul seperti Indonesia punya suara yang lebih besar dan menanggung tanggung jawab lebih besar. Dan lewat kepemimpinannya dalam kelompok anti-korupsi G-20, Indonesia harus memimpin di panggung dunia serta menjadi panutan dalam merangkul transparansi dan akuntabilitas.

Amerika memiliki taruhan dalam sebuah Indonesia yang memperjuangkan pembangunan berkesinambungan, karena cara kita tumbuh akan menentukan kualitas kehidupan kita dan kesehatan planet kita. Itulah sebabnya kami mengembangkan teknologi energi bersih yang bisa menggerakkan industri dan melestarikan sumber daya alam Indonesia yang berharga - dan Amerika menyambut gembira kepemimpinan negara anda dalam usaha global untuk memerangi perubahan iklim.

Di atas segala-galanya, Amerika punya taruhan dalam sukses rakyat Indonesia. Di bawah kepala-kepala berita harian, kita harus membangun jembatan antara rakyat kita karena kita memiliki keamanan dan kemakmuran masa depan secara bersama. Itulah sebenarnya yang sedang kita lakukan - lewat peningkatan kerjasama diantara ilmuwan dan peneliti kita dan dengan bekerja bersama-sama untuk memupuk kewirausahaan. Dan saya khususnya gembira bahwa kita berkomitmen untuk melipatgandakan jumlah pertukaran mahasiswa Amerika dan Indonesia yang akan belajar di negara kita masing-masing - . Kami ingin lebih banyak mahasiswa Indonesia di sekolah-sekolah kami, dan lebih banyak mahasiswa Amerika datang belajar di negara ini. Kami ingin memupuk hubungan baru dan saling pengertian yang lebih mendalam diantara warga muda dalam abad yang masih muda ini.

Ini semuanya merupakan isu-isu yang benar-benar bermakna dalam kehidupan sehari-hari kita. Pembangunan, pada akhirnya, tidak sekadar berkaitan dengan tingkat pertumbuhan serta angka-angka dalam sebuah neraca. Pembangunan berkenaan dengan seorang anak yang bisa belajar ketrampilan yang dibutuhkannya dalam dunia yang sedang berubah. Pembangunan berkenaan dengan sebuah ide bagus yang diberi peluang untuk tumbuh menjadi sebuah bisnis dan tidak dicekik oleh korupsi. Pembangunan berkenaan dengan kekuatan-kekuatan yang telah berhasil mentransformasi Jakarta yang pernah saya kenal - teknologi, perdagangan, aliran manusia dan barang - yang diterjemahkan kedalam sebuah kehidupan yang lebih baik untuk semua warga Indonesia, untuk semua manusia, sebuah kehidupan yang ditandai oleh harga diri dan kesempatan. Pembangunan seperti ini tidak bisa dipisahkan dari peran demokrasi.

Saat ini kita kadang kala mendengar bahwa demokrasi menghalangi kemajuan ekonomi. Ini bukan argumen baru. Khususnya di saat perubahan dan ketidakpastian ekonomi, sebagian pihak akan mengatakan bahwa lebih mudah untuk mengambil jalan pintas menuju pembangunan dengan menukar hak azasi manusia dengan kekuasaan negara. Tetapi itu bukan yang saya lihat dari kunjungan saya ke India, dan itu bukan pula yang saya lihat di sini di Indonesia. Pencapaian-pencapaian anda menunjukkan bahwa demokrasi dan pembangunan saling memperkuat satu sama lain.

Seperti demokrasi mana pun, anda pernah mengalami langkah mundur dalam perjalanan anda. Amerika juga tidak berbeda. Konstitusi kami sendiri menyebutkan upaya untuk membentuk “sebuah persatuan yang lebih sempurna”, dan itu adalah perjalanan yang telah kami tempuh sejak itu. Kami mengalami Perang Saudara dan kami berjuang untuk memperluas hak-hak bagi semua warga negara kami. Tapi upaya ini pula yang telah membuat kami lebih kuat dan lebih makmur, selagi juga menjadi masyarakat yang lebih adil dan bebas.

Seperti negara-negara lain yang pernah dijajah pemerintah kolonial di abad lalu, Indonesia telah berjuang dan berkorban demi hak untuk menentukan nasib sendiri. Inilah makna Hari Pahlawan - sebuah Indonesia yang merupakan milik warga Indonesia. Tapi anda juga pada akhirnya memutuskan bahwa kebebasan tidak berarti menggantikan tangan besi pemerintah kolonial dengan tangan besi sendiri.

Tentu saja demokrasi itu tidaklah rapi. Tidak semua orang menyukai hasil setiap pemilihan. Anda mengalami kemajuan dan kemunduran. Tetapi perjalanan yang anda tempuh ini tetap layak, dan lebih dari sekadar mengisi kotak suara dalam pemilihan. Perlu ada lembaga kuat untuk mengawasi kekuasaan - konsentrasi kekuasaan. Perlu ada pasar-pasar terbuka guna memungkinkan individu-individu untuk maju. Perlu ada pers bebas dan sistem keadilan yang independen untuk menghapus penyalahgunaan dan ekses, serta untuk menagih akuntabilitas. Perlu ada masyarakat yang terbuka dan warga negara yang aktif untuk menolak ketimpangan dan ketidakadilan.

Ini adalah kekuatan-kekuatan yang akan memajukan Indonesia. Dan akan harus ada penolakan terhadap toleransi pada korupsi yang menghalangi kesempatan; juga komitmen terhadap transparansi yang memberi setiap warga Indonesia kepentingan dalam pemerintahan; dan keyakinan bahwa kebebasan rakyat Indonesia - yang telah diperjuangkan rakyat Indonesia adalah hal yang mempersatukan negara besar ini.

Itulah pesan dari rakyat Indonesia yang telah memajukan kisah demokratis ini - mulai dari mereka yang bertarung dalam Perang Surabaya tepat 55 tahun lalu hari ini hingga para mahasiswa yang berdemo secara damai untuk demokrasi di tahun 1990-an; juga para pemimpin yang telah merangkul transisi kekuasaan secara damai di abad yang masih muda ini. Karena pada akhirnya, hak warga negaralah yang akan menyatukan Nusantara yang luar biasa dan menjangkau dari Sabang hingga Merauke ini – sebuah ketetapan hati - sebuah ketetapan hati agar setiap anak yang lahir di negara ini akan diperlakukan sama, terlepas dari asal-usulnya apakah dari Jawa atau Aceh; dari Bali atau Papua. Bahwa semua orang Indonesia memiliki hak yang sama.

Upaya tersebut terlihat pula dari contoh yang kini ditunjukkan Indonesia di luar negeri. Indonesia mengambil inisiatif untuk mendirikan Forum Demokrasi Bali, sebuah forum terbuka bagi negara-negara untuk berbagi pengalaman dan praktik terbaik untuk memupuk demokrasi. Indonesia juga telah berada di garda depan dalam upaya menuntut perhatian lebih banyak terhadap HAM di ASEAN. Negara-negara di Asia Tenggara harus memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, dan Amerika Serikat sangat mendukung hak tersebut. Tetapi rakyat Asia Tenggara juga harus memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri. Dan itu sebabnya kami mengutuk pemilihan di Burma baru-baru ini yang tidak bebas dan adil. Itu sebabnya kami mendukung masyarakat madani anda yang kuat untuk bekerja sama dengan rekan setara anda di seluruh kawasan ini. Karena tidak ada alasan mengapa rasa hormat terhadap HAM harus berhenti di perbatasan sebuah negara.

Bergandengan tangan, inilah makna pembangunan dan demokrasi, bahwa nilai-nilai tertentu bersifat universal. Kemakmuran tanpa kebebasan adalah bentuk lain kemiskinan. Karena ada aspirasi yang dirasakan umat manusia –- kebebasan untuk mengetahui bahwa pemimpin anda bertanggung jawab kepada anda, dan bahwa anda tidak akan dipenjara karena ketidaksepakatan dengan mereka; kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan untuk dapat bekerja dengan martabat; kebebasan untuk beribadah tanpa rasa takut atau pembatasan.

Itu adalah nilai-nilai universal yang harus dipraktikkan di mana pun. Sekarang, agama adalah topik terakhir yang ingin saya bicarakan hari ini, dan –- seperti demokrasi dan pembangunan – agama adalah unsur fundamental dalam kisah Indonesia.

Seperti negara-negara Asia lain yang saya kunjungi dalam perjalanan ini, Indonesia sangat spiritual -– tempat di mana orang menyanjung Tuhan dengan banyak cara berbeda. Bersamaan dengan keragaman yang kaya raya ini, Indonesia juga memiliki populasi Muslim terbesar –- sebuah fakta yang saya temui sebagai anak kecil ketika saya mendengar panggilan untuk shalat di seluruh Jakarta.

Seperti halnya individu tidak hanya didefinisikan oleh kepercayaannya, Indonesia juga tidak hanya didefinisikan oleh populasi Muslimnya. Tapi kita juga tahu bahwa hubungan antara Amerika Serikat dan masyarakat Muslim telah tercerai berai selama bertahun-tahun. Sebagai Presiden, saya menjadikan upaya memperbaiki hubungan ini sebagai prioritas. Sebagai bagian upaya tersebut, saya pergi ke Kairo bulan Juni lalu dan saya menyerukan sebuah awal baru antara Amerika Serikat dan Muslim di seluruh dunia -– yaitu awal yang membentuk jalan bagi kita untuk mengatasi perbedaan antara kita.

Waktu itu saya mengatakan, dan saya mengulanginya sekarang, bahwa tidak ada satu pidato tunggal yang dapat menghilangkan rasa tidak percaya yang terpupuk selama bertahun-tahun. Tapi saya yakin waktu itu, dan saya juga yakin hari ini, bahwa kita punya pilihan. Kita dapat memilih untuk dicirikan oleh perbedaan-perbedaan kita, lalu menyerah kepada semua masa depan penuh kecurigaan dan rasa tidak percaya. Atau kita dapat memilih untuk bekerja keras mencari persamaan, dan membuat komitmen untuk terus mengejar kemajuan. Dan saya dapat menjanjikan kepada anda – bahwa kemunduran apapun yang timbul, Amerika Serikat berkomitmen terhadap kemajuan manusia. Itu adalah kami. Itu yang sudah kami lakukan. Dan itu yang akan kami kerjakan.

Sekarang, kami tahu betul isu-isu yang telah menimbulkan ketegangan selama bertahun-tahun – dan ini adalah isu-isu yang telah saya ungkapkan di Kairo. Selama 17 bulan terakhir setelah penyampaian pidato tersebut, kita telah mencapai kemajuan, tapi kita masih punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

Warga negara sipil di Amerika, Indonesia, dan di seluruh dunia masih menjadi target ekstremisme keras. Saya telah perjelas bahwa Amerika bukan, dan tidak akan pernah, berperang dengan Islam. Tetapi kita semua harus bekerja sama untuk mengalahkan al Qaida dan sekutu-sekutunya, yang tidak berhak mengaku sebagai pemimpin agama mana pun – dan sudah pasti bukan pemimpin agama dunia yang besar seperti Islam. Tapi mereka yang ingin membangun tidak boleh mengalah kepada teroris yang ingin merusak. Dan ini bukan tugas Amerika semata. Di sini di Indonesia, anda bahkan telah mencapai kemajuan dengan menangkapi ekstremis dan memerangi kekerasan.

Di Afghanistan, kami terus bekerja sama dengan sebuah koalisi negara-negara untuk membangun kapasitas pemerintah Afghanistan guna mengamankan masa depan mereka. Kepentingan bersama kami adalah membangun perdamaian di sebuah daerah yang hancur akibat perang -– perdamaian yang tidak memberikan tempat berlindung bagi kaum ekstremis keras, dan yang memberi harapan bagi rakyat Afghanistan.

Sementara itu, kami juga telah mencapai kemajuan dalam salah satu komitmen utama kami – yaitu upaya untuk mengakhiri perang di Irak. Hampir seratus ribu tentara Amerika kini telah meninggalkan Irak, di masa kepresidenan saya. Rakyat Irak mengemban tanggung jawab penuh atas keamanan mereka sendiri. Dan kami akan terus mendukung Irak dalam upaya mereka membentuk pemerintah yang inklusif, dan kami akan memulangkan semua tentara kami.

Di Timur Tengah, kami telah menghadapi awal buruk dan kemunduran, tapi kami tidak menyerah dalam memperjuangkan perdamaian. Rakyat Israel dan Palestina telah memulai kembali pembicaraan langsung antar mereka, tapi hambatan-hambatan besar masih ada. Jangan ada ilusi bahwa perdamaian dan keamanan akan datang dengan mudah. Tapi jangan ada keraguan: Amerika akan berupaya penuh untuk mencapai hasil yang adil, dan ini adalah kepentingan semua pihak yang terlibat -- dua negara, Israel dan Palestina, hidup berdampingan dalam damai dan keamanan. Itu adalah tujuan kami.

Taruhannya tinggi dalam memecahkan semua isu ini. Karena dunia kita semakin kecil dan sementara kekuatan-kekuatan yang menghubungkan kita juga menciptakan peluang dan kekayaan yang besar, kekuatan-kekuatan tersebut juga memberdayakan mereka yang berniat menghambat kemajuan. Satu bom di sebuah pasar dapat menghancurkan maraknya perdagangan harian. Satu kabar angin yang dibisikkan dapat menutupi kebenaran, dan memicu kekerasan antar masyarakat yang sebelumnya hidup bersama dalam damai. Di masa perubahan cepat dan perbenturan budaya ini, apa yang kita miliki bersama sebagai umat manusia terkadang bisa hilang.

Tapi saya percaya bahwa sejarah Amerika dan Indonesia bisa memberi kita harapan. Ini adalah kisah yang tertulis dalam moto nasional kita. Di Amerika, moto kami adalah E pluribus unum – dari banyak, muncul satu. Bhinneka Tunggal Ika – persatuan dalam keragaman. Kita adalah dua negara yang telah menempuh jalur berbeda. Tetapi kedua negara kita menunjukkan bahwa ratusan juta yang memiliki keyakinan berbeda dapat dipersatukan dalam kebebasan di bawah satu bendera. Dan kita kini sedang membangun berdasarkan kemanusiaan bersama ini –- melalui orang-orang muda yang akan belajar di sekolah-sekolah di kedua negara kita; melalui para wirausahawan yang memperkuat ikatan yang dapat membawa kemakmuran yang lebih besar; dan melalui penerimaan kita atas nilai-nilai demokrasi yang mendasar dan aspirasi umat manusia.

Sebelum saya datang kesini, saya mengunjungi masjid Istiqlal -– sebuah tempat ibadah yang dulu masih dibangun ketika saya tinggal di Jakarta. Saya mengagumi menaranya yang tinggi, kubahnya yang besar, dan ruang dalamnya yang menyambut pengunjung. Tapi nama dan sejarahnya juga mewakili apa yang menjadikan Indonesia besar. Istiqlal berarti kemerdekaan, dan konstruksinya sebagian adalah kesaksian dari perjuangan negara ini untuk mendapat kebebasan. Selain itu, rumah ibadah bagi ribuan umat Muslim dirancang oleh seorang arsitek Kristen.

Itulah jiwa Indonesia. Itulah pesan dari falsafah inklusif Indonesia, Pancasila. Di seluruh nusantara yang menyimpan sejumlah ciptaan Tuhan yang paling indah, muncul pulau-pulau di atas samudera yang dinamai untuk kebebasan, dan rakyat yang memilih cara beribadah kepada Tuhan sesuai keinginan mereka. Islam berkembang, demikian pula agama-agama lain. Pembangunan diperkuat oleh kemunculan demokrasi. Tradisi lama bertahan, meski negara bergerak maju sebagai kekuatan yang menanjak.

Itu bukan berarti Indonesia tidak memiliki cacat. Tidak ada satupun negara yang sempurna. Tapi di sini kita dapat menemukan kemampuan untuk menjembatani perbedaan ras dan kawasan dan agama –- melalui kemampuan untuk melihat diri anda sendiri dalam semua individu. Sebagai seorang anak berketurunan banyak ras dan datang kemari dari negeri jauh, saya menemukan semangat ini dalam sambutan yang saya terima ketika pindah kesini: Selamat Datang. Sebagai seorang Kristen yang mengunjungi masjid dalam lawatan ini, saya menemukannya dalam kata-kata seorang pemimpin yang ditanyai mengenai kunjungan saya ini dan ia mengatakan “Muslim juga diizinkan mengunjungi gereja. Kita semua adalah umat Tuhan.”

Percikan kebijakan itu hidup dalam diri kita semua. Kita tidak dapat mengalah pada keraguan atau sikap sinis atau keputusasaan. Kisah Indonesia dan Amerika harus membuat kita optimis, karena menunjukkan kepada kita bahwa sejarah berada di sisi kemajuan manusia; bahwa persatuan lebih kuat daripada perpecahan; dan bahwa rakyat dunia ini dapat hidup bersama dalam damai. Semoga kedua negara kita dengan bekerja bersama, dengan keyakinan dan ketetapan hati, berbagi kebenaran ini dengan semua umat manusia.

Sebagai penutup, saya mengucapkan kepada seluruh rakyat Indonesia: terima kasih atas. Terima kasih. Assalamu’alaikum. Thank you.

Sumber : Kedutaan Besar Amerika Serikat (Embassy of the United States), Jakarta, Indonesia

TUHAN JANGANLAH MEMBUAT AKU MENANGIS

Oleh : Inge S. Purwita

Pada suatu hari ada seorang anal laki-laki sedang mengikuti perlombaan mobil balap mainan. Hari itu suasananya sangat meriah karena telah memasuki babak final, dan yang tersisa hanya tinggal 5 orang lagi, termasuk Kevin, demikian nama anak itu.

Sebelum pertandingan dimulai, Kevin menundukkan kepala, melipat tangan sambil mulutnya berkomat-kamit memanjatkan doa.

Tidak lama berselang, pertandinganpun dimulai, ternyata mobil balap Kevin berhasil mengalahkan 4 orang rivalnya di garis finis. Hal ini membuat Kevin sangat gembira ketika menerima piala juara pertama.

Usai pembagian hadiah, ketua panitia pelaksana bertanya kepada Kevin, “ Hai Jagoan, tadi kamu pasti berdoa kepada Tuhan agar kamu menangkan ?” Kevin menjawab, “ Bukan pak, rasanya tidak adil minta kepada Tuhan untuk menolong mengalahkan orang lain. Aku hanya minta kepada Tuhan, supaya aku tidak menangis kalau aku kalah.” Semua hadirin terdiam ketika mendengar jawaban Kevin.

Keheningan tidak berlangsung lama karena tiba-tiba terdengar gemuruh tepukan tangan para penonton. Mereka menilai permohonan Kevin merupakan doa yang luar biasa, karena dia tidak meminta kepada Tuhan untuk mengabulkan semua permintaannya, tetapi dia berdoa agar diberikan kekuatan untuk menghadapi apapun yang terjadi dengan hati yang kuat dan teguh.

Seringkali kita berdoa supaya Tuhan menggabulkan setiap permintaan kita. Kita ingin Tuhan menjadikan kita yang terbaik dalam setiap kesempatan. Kita minta agar Tuhan menghalau setiap halangan dan cobaan yang ada di depan mata. Hal itu memang tidak salah, tetapi bukankah semestinya yang kita butuhkan adalah bimbingan-Nya dan rencana-Nya yang paling sempurna dalam hidup kita ?

Seharusnya kita berdoa minta kekuatan untuk bisa menerima kehendak Tuhan sebagai yang terbaik dalam hidup dan kehidupan kita.

Kita adalah sahabat Allah

Memahami bahwa kita adalah sahabat Allah Yakobus 2:23 “ Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan ; Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran,” Karena itu Abraham disebut : Sahabat Allah,” (Amsal 17:17)

“ Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran,” Ketika benih iman itu kita terima dari Allah (inilah Anugrah Allah kepada kita), sesungguhnya kita telah disebut sebagai keturunan Abraham, bapa orang percaya itu. Selain Abraham disebut bapa orang percaya, ia juga disebut sebagai sahabat Allah juga menjadi sahabat Allah karena kita telah menerima benih iman dari Allah. Namun banyak orang tidak menyadari bahwa diri mereka sudah sahabat Allah. Mereka tidak menyadari jika selama ini Roh Kudus, Roh Penolong dan Penghibur yang telah berada di dalam diri mereka yang membuat mereka masih dapat bertahan.

Kita harus tahu bahwa Allah sebagai sahabat di dalam nama Tuhan Yesus oleh Roh Kudus tidak pernah meninggalkan kita ketika kita berada dalam kesukaran, tekanan dan penderitaan. Kekuatan kuasa tanganNyalah yang telah membuat kita tidak jatuh tergeletak dan mampu untuk membangkitkan semangat yang ada di dalam kita lagi. Walaupun sepertinya kita sudah jauh dari Tuhan dan hidup dalam kenajisan, namun Tuhan sebagai sahabat tidak pernah melepaskan tanganNya dari kita, Ia selalu ingin menarik kita kembali untuk hidup di jalan-jalan yang sudah ditetapkan, agar kita dapat mengalami janji-janji-Nya sesuai dengan rancangan-Nya atas kita.

Marilah kita terus belajar untuk tetap bersyukur kepada Tuhan, karena Ia telah menjadikan kita sebagai sahabat-Nya yang selalu menaruh kasih di setiap waktu dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran, dan bahwa “ DIAlah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karuniaNya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus, sebelum permulaan zaman,” (2 Timotius 1:9) Amen. Jbu

Note :

Shalom, COOL/PA, setiap hari Sabtu di rumah keluarga Edward, Inge S. Purwita, Bryan dan Naomi di Jalan Pinang Merah 5/6 Pondok Indah, Jakarta Selatan. Pukul 17.00 WIB. Pintu rumah keluarga Edward dan Inge S. Purwita terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin bergabung.


Biodata penulis :

Inge Suryani Purwita. Lahir di Jakarta, 1959. Lulusan sarjana Akuntansi dari Fakultas Ekonomi, Universitas Trisakti, dan memulai karirnya sebagai Akuntan di PT Warna Sari, tekstil dan perusahaan distribusi (1984-1988). Karir perbankan dimulai dari Bank International Indonesia (1988-1997) dengan berbagai posisi seperti sebagai Marketing Manager- Credit Card Center, Senior Manager-Traveler's Cheque Center, Deputi Branch Manager, dan posisi terakhir sebagai Assistant Vice President-Divisi Perbankan di Cabang Bursa Efek Jakarta. Dia bergabung dengan PT Bank Arta Pratama pada tahun 1998 sebagai Direktur Pemasaran dan Sumber Daya Manusia, dan setelah merger antara PT Bank Arta Pratama dan PT Bank Artha Graha pada tahun 1999 ia menjabat sebagai Direktur Perbankan Konsumer. Juni 2004, ia diangkat sebagai Komisaris PT Bank Artha Graha. Sekarang dia adalah Komisaris Independen PT Bank Artha Graha Internasional Tbk. Selain itu, kini dia juga mendalami ajaran agama Kristen yang dianutnya.

Tuesday 9 November 2010

Politik Itu Asyik Tak Asyik

Oleh : Freddy Ilhamsyah PA

Meminjam istilah Iwan Fals yang pendapatnya mengenai politik di negeri ini bahwa politik itu asyik tak asyik (penulis jadikan judul tulisan ini). Ibarat main catur, kalau tak mengatur (arah bidak), tak menggertak, tak asyik. (Harian Global 11/2/’10)

Penulis sependapat dengan penyanyi kondang yang syair-syair lagunya sangat tajam dalam hal mengeritik pemerintah. Lihat saja akhir-akhir ini sudah banyak bermunculan obrolan di beberapa kelompok warga negara Indonesia mulai dari sementara kalangan politikus, pengamat politik, dan orgamisasi yang mengatasnamakan rakyat terkait dengan isu 100 hari kepemimpinan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid-II.

Ada yang pro dan ada pula yang kontra.Itu biasa Yang pro mengatakan sudah berjalan sebagaimana mestinya, dan berhasil, khususnya dalam hal menyikat kelompok terroris, dan membuikan koruptor walaupun belum sepenuhnya tuntas. Sedangkan yang kontra mengatakan SBY belum sepenuhnya berhasil mewujudkan janji-janji semasa kampanye, yaitu menyejahterakan rakyat.

Di dalam era reformasi dan transformasi demokrasi yang terasa mulai mengental sejak runtuhnya rezim Orde Baru, dan adalah Kyai Haji Abdur Rachman Wahid alias Gus Dur yang membuka gembok belenggu kebebasan sebagaimana yang telah diamanatkan di dalam kitab UUD 1945 Pasal 28, yaitu “ Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

Sejak itu, orang-orang yang tadinya dibelenggu kebebasannya, kini sudah mulai lantang bersuara bagaikan pakar yang maha tahu, terpandai untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat dari belenggu kemiskinan dan kebodohan.
Ada yang menyampaikan aspirasinya dengan aksi demonstrasi yang terkadang berbuntut anarkis, dan ada pula oknum penyelenggara Negara yang berbicara dalam forum resmi maupun tidak resmi untuk memakmurkan rakyat dan Negara Kesatuan Repuplik Indonesia.

Akan tetapi kenyataannya apa ? Rakyat masih banyak yang miskin dan bodoh atau dibodoh-bodohi seperti kisah dalam Fabel Tiongkok Kuno berjudul “Pagi Tiga Buah, Malam Empat Buah”. Untuk mengetahui kisah ini selengkapnya, silahkan berkunjung ke Freddyilhamsyah’s Blog.

Berbeda ketika sedang berlangsungnya “pesta demokrasi” atau “pesta rakyat” yang berkaitan dengan pemilihan anggota legislatif, pemilihan bupati, walikota, dan gubernur sampai presiden, rakyat dielu-elu dan dijanjikan ini dan itu melalui program itu dan ini. Ketika sudah menduduki jabatan, yang dikampanyekan mulai buram. Rakyat hanya menerima nol koma sekian persen dari yang dijanjikan. O….itu tidak betul !!! Apa iya….?

Lihat Jakarta, Ibukota Negara Republik Indonesia yang dijanjikan bebas macet dan banjir. Tetapi kenyataannya apa ? Kemacatan bertambah macet, dan banjirpun bertambah parah, hampir kesemua sudut kota. Apa komentar pejabat terkait ? Dijawab dengan enteng, itu bukan banjir tapi hanya luapan air. Anehkan ? Kalau air masuk ke daratan kota, itu namanya banjir, be !

Akan tetapi apa lagi yang mau dikatakan, nasi sudah menjadi bubur. Betullah kata-kata dalam satu syair lagu bahwa, lidah memang tidak bertulang, dan dunia itu hanya panggung sandiwara.

Lihatlah betapa politik belakangan ini menjadi tontonan mengasyikkan yang ratingnya bahkan mengalahkan sinetron-sinetron dan reality show. (Harian Global 11/2/10 hal.2)

Reshuffle cabinet

Publik ingin melihat perkembangan kasus Bank Century. Ingin melihat Ruhut Sitompul, yang entah karena sebab apa rela menggerus elisitas dirinya untuk tampil sebagai seorang pembela yang begitu mati-matian. Mereka juga ingin melihat bagaimana seorang kepala Negara, symbol pemerintahan tertinggi, curhat, bicara mulai soal sasaran tembak, kerbau, sampai “ancaman halus” reshuffle (perombakan kabinet). Detik - Viva - Antara - Global 11/2/10

Begitu isu reshuffle kabinet bergulir, suhu politikpun mulai bergetar seperti gunung Merapi yang mulai menggeliat. Banyak kalangan yang berkompeten mulai dag dig dug dan bertanya-tanya, siapa yang bakal dilengserkan, dan siapa pula yang bakal diangkat untuk menggantikan menteri yang dilengserkan. Loby politikpun mulai dirancang strateginya agar “orangnya” atau dirinya dapat menduduki kursi empuk di kementerian A ataupun kementerian B. Menteri yang dilengserkan pasti menteri yang dinilai tidak mampu melaksanakan program di kementeriannya.

Asyiknya, ketika sebagian politikus mengharap “politik balas budi” dari Kepala Negara dengan menyodorkan “jagoannya” atau dirinya sendiri, peristiwa mirip pencalonan Kapolri beberapa waktu lalu terulang kembali. Kecewa dan marah !? Sah-sah saja.

Akan tetapi harus diingat bahwa presiden tidak bekerja seorang diri dalam menjalankan roda pemerintahan. Ada Kepala Lingkungan, Kepala Desa, Lurah, Camat, Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri, Mahkamah Agung, TNI dan Polri serta DPR/ MPR.. Namun sayangnya, Apabila ada beberapa instansi yang “amburadul”, maka presiden jadi sasaran hujatan dari pihak-pihak tertentu dengan cara menggelar aksi demonstrasi

Presiden pilih sendiri wakilnya, orang ribut. Presiden menolak dua orang calon Kapolri pilihan orang-orang di luar istana, dan menunjuk satu nama calon tunggal Kapolri. DPR menyetujuinya dengan alasan pilihan SBY sudah tepat. Nah, misalnya, kalau Kapolri atau menteri pilihan presiden atau titipan dari luar istana ternyata tidak dapat bekerja sesuai harapan masyarakat (katanya), ribut lagi. Presiden SBY yang dipersalahkan, bukan oknum yang duduk di kursi Dewan Yang Terhormat. Pada hal keputusan terakhir berada dalam kewenangan DPR RI. Kalau memang tidak tetap pilihan presiden, tolak ! Bukan diaminkan dengan koor.

Memang betul Iwan Fals, politik itu asyik tak asyik, kalau tak mengatur tak asyik.

Pangkalansusu, 28 Oktober 2010