Wednesday 27 October 2010

Hutan Mangrove Punah Salah Siapa ?

[caption id="attachment_812" align="aligncenter" width="600"]Lahan terlantar eks tambak yang sudah ditanami bibit pohon bakau. Lahan terlantar eks tambak yang sudah ditanami bibit pohon bakau.[/caption]
Oleh : Freddy Ilhamsyah PA

Inilah pertanyaan mendasar yang perlu dicarikan jawaban yang tepat sasaran, bukan asal tuding mempersalahkan para pemilik dapur arang, atau para pengelola tambak udang intensif, dan atau orang-orang yang telah mengalihfungsikan hutan bakau menjadi kebun sawit.

Seharusnya yang dicari adalah akar permasalahannya, yaitu siapa yang benar-benar harus bertanggungjawab atas punahnya hutan bakau sehingga tak bersisa di salah satu daerah yang akhirnya berdampak terhadap menciutnya matapencaharian nelayan, pengusaha dapur arang dan menyusutnya kehidupan biota laut (udang, ikan dan kepiting) termasuk unggas (burung bangau, kuntul dan burung pantai lainnya) juga lebah madu dan monyet bakau.

Menurut hasil pengamatan penulis sejak beberapa tahun lalu, kontribusi pengusaha kilang arang sebagai pelaku pengrusakan hutan bakau, mungkin benar. Tetapi persentasinya terbilang kecil. Sebab mereka masih membutuhkan mangrove untuk dijadikan bahan baku arang. Artinya, mereka melakukannya dengan sistem tebangpilih agar hutan mangrove tetap lestari dan tidak punah. Hutan mangrove lestari, dapur arang mereka juga lestari termasuk matapencaharian mereka juga tetap dapat berlanjut secara berkesinambungan.

Bagaimana dengan pengusaha tambak udang intensif dan para pelaku alihfungsi hutan bakau untuk dijadikan kebun sawit dalam kontribusinya merusak hutan mangrove ? Jelas, mereka inilah pengrusak hutan mangrove yang maha dasyat ! Hutan bakau jadi punah. Sebab hutan mangrove tidak bermanfaat bagi mereka. Semua disikat habis sampai ke tunggul dan akarnya. Bahkan bukan hanya itu saja, paluh-paluh kecil juga mereka tutup ! Jadi jangan heran ketika terjadi air pasang naik, maka sebagian perkampung warga yang berdekatan dengan pesisir pantai atau paluh jadi terendam air laut. Ini fakta !

Semua orang tahu (kecuali pengusaha tambak intensif dan pekebun sawit yang telah mengalihfungsikan hutan mangrove) bahwa hutan mangrove selain bermanfaat sebagai tempat berkembangbiaknya kehidupan biota laut, seperti udang, segala jenis ikan, kepiting juga unggas, misalnya burung kuntul, bangau, kera bakau, lebah dan sebagainya, hutan bakau juga berfungsi sebagai “benteng pertahanan” terhadap gangguan abrasi (pengikisan bibir pantai ketika terjadi air pasang dan surut).

Sejak tahun 1980-an, penulis telah mengingatkan tentang keberadaan hutan bakau di daerah ini melalui artikel di harian Bukit Barisan Medan, tempat penulis bekerja sebagai wartawan, termasuk beberapa berita di harian Barisan Baru Medan (koran reinkarnasi harian Bukit Barisan), namun tidak mendapat perhatian serius dari para pihak berkompeten pada masa itu, kecuali izin prinsip PT Sari Bumi Bakau dibatalkan.
[caption id="attachment_816" align="aligncenter" width="600"]Lokasi ini tadinya adalah hutan bakau, kemudian bakau dibabat habis untuk dijadikan tambak. Tambak gagal, lahan ditelantarkan. Lokasi ini tadinya adalah hutan bakau, kemudian bakau dibabat habis untuk dijadikan tambak. Tambak gagal, lahan ditelantarkan.[/caption]
Kalau kita mau jujur, kerusakan hutan bakau yang sedemikian parah di Kabupaten Langkat bukan disebabkan adanya kilang arang. Kenapa ? Karena mereka tidak mungkin menghancurkan usaha yang telah mereka geluti secara turun-temurun sejak puluhan tahun lalu.

Penghasilan nelayan pesisir pantai jadi berkurang ? Seratus persen betul ! Sebab sebagian besar tempat berkembangbiaknya biota laut sudah punah akibat perbuatan petambak intensif dan pemilik kebun sawit yang telah mengalihfungsikan hutan bakau

Menyusutnya perkembangbiakkan biota laut diperparah lagi oleh limbah beracun hasil buangan dari tambak siap panen. Limbah beracun itu dibuang ke laut. Belum sampai ke tengah laut, limbah berancun yang telah mencemari laut, sudah didorong kembali oleh air pasang, masuk ke paluh-paluh. Benih-benih bioata lautpun jadi semaput dan mati !

Penulis masih ingat, ketika masih ABG, arang yang dihasilkan dari Pangkalansusu (merk Burung Walet), mutunya cukup baik dan sangat digemari oleh masyarakat di Sumatera Utara sampai ke Jakarta untuk bahan bakar setrika dan dapur. Bukan hanya itu, kayu bakau sebesar betis orang dewasa juga dijadikan kayu bakar untuk memasak dan kayu bakar untuk lokomotif uap kereta api (ketika itu belum ada loko diesel). Selain itu kayu bakau juga dijadikan bahan bangunan. Tetapi hutan bakau tidak punah !
[caption id="attachment_818" align="aligncenter" width="600"]Penghijauan mulai dilakukan oleh Kha Hua dengan modal sendiri. Penghijauan mulai dilakukan oleh Kha Hua dengan modal sendiri.[/caption]
Ketika udang windu, yang katanya “primadona” penghasil devisa mulai dibudidayakan hingga menjamur di pesisir pantai kepulauan Indonesia, khususnya di Sumatera Utara, keberadaan dan kondisi hutan mangrove jadi berubah drastis, secara bertahap, tapi pasti, hutan bakau ditebas habis sampai ke akarnya. Hutan bakau punah berubah ujud jadi hamparan tambak udang windu. Yang punya duit berlomba-lomba membuat tambak udang. Izinnyapun dikeluarkan oleh pemerintah setempat. Begitu juga halnya dengan pengalihfungsian hutan bakau menjadi kebun sawit.

Nah, kalau sudah demikian keadaannya, siapa yang harus dipersalahkan ? Silahkan para pembaca menjawabnya sendiri.
Seingat penulis, dulu ada yang namanya Program Empang Paluh, tapi keberadaannya tidak jelas. Uang habis, Empang Paluh tak terwujud untuk melestarikan hutan mangrove.

Namun yang jelas, menurut Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut Djati Wicaksono Hadi seperti yang disampaikan oleh Antara News 23 Januari 2010, kerusakan hutan bakau meliputi sekitar 6.000 hektare dari 15.765 hektare hutan bakau yang ada di Provinsi Sumatera Utara.
[caption id="attachment_813" align="aligncenter" width="600"]Penulis (topi helm putih) bersama Tim Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Dishutbun Langkat, Ika Herawati, S.Hut istirahat di bawah rimbunan hutan bakau hasil rehabilitasi oleh Kha Hua. Penulis (topi helm putih) bersama Tim Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Dishutbun Langkat, Ika Herawati, S.Hut istirahat di bawah rimbunan hutan bakau hasil rehabilitasi oleh Kha Hua.[/caption]
Ia menyebutkan seluas 6.000 hektare kerusakan hutan bakau di Sumut terdapat di Karang Gading di Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang yang mencapai sekitar 4.000 hektare.

Kemudian seluas 2.000 hektare di Desa Padang Halaban, Kecamatan Besitang, Desa Pangkalan Batu, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat.

Menurut dia, kerusakan hutan bakau di Sumut tidak hanya disebabkan adanya perambah hutan yang mengambil kayunya, tetapi juga akibat berubahnya fungsi menjadi lahan sawit atau tambak ikan.

Sedang bagi para pengusaha kilang arang, khususnya kaum nelayan, punahnya sebagian hutan bakau di Kabupaten Langkat sungguh sangat memprihatinkan. Kenapa ? Karena bagi masyarakat pemilik dapur arang, punahnya hutan bakau berarti akan memunahkan matapencaharian mereka. Demikian juga bagi kaum nelayan.

Menurut mereka (nelayan tempatan) apabila hutan bakau tumbuh subur dan lebat, pasti pantainya banyak ikan dan udang. Udara di pesisir pantaipun terasa lebih sejuk karena mereka dapat berteduh atau bernaung di bawah rimbunnya pohon mangrove sambil memancing ikan.
[caption id="attachment_815" align="aligncenter" width="600"]Betapa senjuk dan nyamannya berjalan di bawah rimbunan pohon bakau hasil rehabilitasi oleh Kha Hua. Betapa senjuk dan nyamannya berjalan di bawah rimbunan pohon bakau hasil rehabilitasi oleh Kha Hua.[/caption]
Sementara itu pohon mangrove juga dipercaya sangat berperan sebagai pelindung alami wilayah pesisir pantai dan paluh, karena sistem perakaran pohon itu mampu menstabilkan lumpur pantai dan dapat menyerap berbagai polutan serta menahan penyusupan air laut (intrusi) ke arah daratan. Kerapatan batang dan tajuknya juga mampu menahan dan mematahkan kekuatan angin laut.

Hal itu sangat dipahami oleh para nelayan dan pengusaha home industry kilang dapur arang, dan oleh sebab itu mereka tetap berupaya untuk menjaga kelestarian hutan mangrove dengan cara tebang pilih. Selain itu kayu bakau juga merupakan penghasilan sampingan bagi nelayan bila laut sudah tidak bersahabat pada musim-musim tertentu.
[caption id="attachment_819" align="aligncenter" width="600"]Kha Hua memandang lahan terlantar eks tambak yang sudah dihutankan kembali oleh dirinya. Kha Hua memandang lahan terlantar eks tambak yang sudah dihutankan kembali oleh dirinya.[/caption]
Adalah Anwar alias Kha Hwa atau biasa disapa Ahua, pengumpul arang secara turun temurun, beralamat di jalan Pahlawan no. 71 Pangkalansusu yang sangat peduli untuk menyelamatkan hutan bakau di Kecamatan Pangkalansusu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Ahua membeli puluhan hektar lahan terlantar bekas tambak udang yang sudah tidak dipergunakan lagi oleh para pemiliknya untuk ditanami pohon mangrove di kawasan desa pantai, Desa Pangkalansiata, Kecamatan Pangkalansusu.

Kegiatan yang dilakukan oleh Ahua bukan hanya sampai ke teliga Camat Pangkalansusu saja, tapi sudah melebar sampai ke kantor Dinas Kehutanan, DPRD dan kantor Bupati Langkat. Para pihak itupun sudah melakukan peninjauan langsung ke TKP, dan mereka sangat mendukung program Ahua mereklamasi lahan terlantar eks tambak udang untuk dijadikan hutan bakau, bahkan mereka mengangcungkan jempol untuk Ahua.
[caption id="attachment_814" align="aligncenter" width="600"]Rimbunan pohon bakau yang mengapit paluh di tengahnya. Rimbunan pohon bakau yang mengapit paluh di tengahnya.[/caption]
Atas kepeduliannya mereklamasi lahan terlantar bekas tambak udang dengan dana pribadi sejak beberapa tahun lalu, Ahua telah memperoleh piagam dan penghargaan Kalpataru dari Bupati Langkat, Ngogesa Sitepu pada 15 Juni 2009.

Bukan hanya itu saja, Ahua juga telah mengajak kelompok pecinta alam INLA (International Nature Loving Assosiation) cabang Sumatera Utara yang dipimpin oleh Suhartini, SE untuk melakukan penanaman pohon mangrove di Desa Pangkalansiata. Imbauan Ahua disambut baik oleh INLA Sumut yang merupakan cabang dari INLA yang berpusat di Taiwan.

Menurut Ketua Bidang Lingkungan Hidup INLA, Yudi Shenjaya, biasa dipanggil Aseng, pada penulis, sejak Oktober 2009 pihaknya sudah menanam puluhan ribu batang mangrove di atas lahan seluas 6 hektar. Penanaman ini dilakukan secara bertahap di atas lahan seluas 20 hektar yang mereka beli dari warga setempat.

Untuk membuktikan apa yang sudah dilakukan oleh Ahua, sebelum penganugrahan penghargaan Kalpataru, penulis bersama Kepala Desa Pangkalansiata dan petugas dari kantor Camat Pangkalansusu telah melakukan peninjauan langsung ke lokasi reklamasi di dusun Sei Serai, Desa Pangkalansiata, Kecamatan Pangkalansusu.

Menurut Ahua, kegiatan yang dilakukannya untuk menghutankan kembali lahan terlantar tersebut sudah dilaksanakannya sejak Juli 2007sampai saat ini di areal seluas 85 hektar. Tidak kurang dari 850 ribu batang mangrove sudah tumbuh subur sehingga menjadi hamparan hijau seluas mata memandang.

Menyinggung dana pribadi yang telah investasi untuk mereklamasi lahan terlantar tersebut Ahua mengaku sudah sekitar Rp 500 juta.

Seharusnya pemerintah memberi bantuan dana kepada orang-orang yang peduli terhadap kelestarian hutan mangrove, misalnya seperti Ahua.

Pangkalansusu, 24 Oktober 2010

Update :
Note : Sudah terbit di Harian Global, Medan edisi 26 Oktober 2010 di rubrik Gagasan halaman 6, dan juga rangkaian tulisan terkait lainnya dapat dibaca di Harian Jurnal, Medan edisi Minggu, 26 Februari 2012 di halaman I judul “Keprihatinan Penerima Kalpataru.”

Wednesday 6 October 2010

Pertamina Siapkan Seratusan Petugas Intelijen

Oleh : Freddy Ilhamsyah PA

Pertamina kini telah menyiapkan seratusan bahkan lebih petugas “Intelijen” untuk memantau gerak-gerik para pesaingnya dengan aplikasi Marketing Intelligent (sistem pemasaran yang cerdas) , karena sejak bergulirnya Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang kemudian disusul munculnya Undang-undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang telah mempreteli hak monopoli Pertamina di sektor hulu dan hilir, Pertamina sudah mengendus bakal terjadi persaingan bisnis yang seru di sektor migas.

Apalagi ketika dinyatakan bahwa terhitung mulai tanggal 1 Januari 2010, SPBU asing atau non pemerintah sudah dibenarkan untuk mendistribusi atau memasarkan BBM bersubsidi di Indonesia, misalnya, PT Aneka Kimia Raya Corporindo Tbk (AKR), PT Elnusa Tbk, PT Petronas Niaga Indonesia, PT Shell Indonesia, dan PT Total Oil Indonesia.

Walaupun begitu Pertamina, khususnya Pertamina Pemasaran BBM Retail Region-I tidak gentar dalam menghadapi para pesaingannya karena perusahaan plat merah itu sudah mempersiapkan sejumlah strategi untuk mempertahankan predikat market leader dalam bisnis retail BBM.

Namun keberadaan SPBU Petronas di jalan Juanda, dekat Bandara Polonia Medan, telah menggusarkan pihak Hiswana Migas (Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi) di daerah ini jadi gusar termasuk kalangan DPRD dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang menyesalkan, kenapa perusahaan asing diberi kesempatan menjual BBM bersubsidi.

Untuk menghadapi para pesaingnya, Pertamina bertindak secara serius, ini dibuktikan bahwa perusahaan itu telah menyiapkan seratusan bahkan bisa di atas seribuan petugas marketing intelligent retail untuk mengamati setiap gerak-gerik aktivitas para rival bisnisnya, khususnya di sektor hilir migas. Hal ini dilakukan mengingat bahwa persaingan bisnis hilir migas yang pada tahun 2001-an baru menjadi pembicaraan prediksi yang hangat, kini sudah nyata dirasakan. Sebagai contoh dengan munculnya beberapa pesaing di sektor retail (SPBU) seperti di Jakarta, Surabaya dan Medan yang tidak tertutup kemungkinan akan merambah ke kawasan lainnya.

Saat ini sudah dirasakan bahwa dalam pemasokan BBM maupun Pelumas ke industri seperti pertambangan, energi, bahkan perhotelan, pesaing makin kencang menggrogoti pangsa pasar. Baik dari sisi volume, jumlah customer (pelanggan) maupun sebaran geografis.

Oleh sebab itu setiap aktivitas pergerakan pesaing akan berpengaruh terhadap Pertamina, sehingga perlu diketahui, dievaluasi dan ditindaklanjuti secara dini dengan suatu strategi dan program yang tepat. Akan tetapi untuk mendapatkan data/informasi terkait pesaing dan kondisi lapangan secara cepat, bukanlah hal yang mudah.

Atas dasar itu, maka Pertamina melalui Devisi Perencanaan Strategis Bagus M&T bekerjasama dengan CSS (Corporate Shared Sercive) telah membentuk semacam pusat pengendali komunikasi dengan mengembangkan sebuah sistem yang didesain untuk menangani proses pengiriman, validasi, pengolahan sampai pendistribusian data atau informasi pesaing secara cepat dan mudah melalui fasilitas broadcast sms dan internet.

Menurut pihak CSS, seperti yang disiarkan Media Pertamina edisi 28 Juni 2010, melalui sistem itu, komunikasi antar pihak terkait dengan strategi dan eksekusi pemasaran dari Sales Representatif, Sales Area Manager, Vice President sampai Deputi Direktur dapat dilakukan secara cepat dan mudah.

Semua data aktivitas pesaing di seluruh Indonesia yang telah dikumpulkan dari lapangan seperti strategy pricing, marketing, terms of payment dll. disimpan dalam database, sehingga setiap saat dapat dijadikan untuk bahan evaluasi dan refrensi.

Petugas “intelijen” tersebut adalah para sales representative dan Sales Area Manager karena mereka adalah sales forces yang berada di lapangan, sehingga mudah melakukan pemantauan aktivitas para pesaing.

Kekuatiran pihak Pertamina terhadap para pesaing bisnisnya, itu wajar. Sebab dalam dunia bisnis ada yang bermain cantik (fair business) dan ada pula yang bermain kotor. Akan tetapi menurut hemat penulis, sebaiknya pihak Pertamina tidak perlu terlampau berlebihan untuk takut “bertarung” dengan para pesaingnya.

Penulis sependapat dengan pihak Pertamina Pemasaran BBM Retail Region-I Medan, untuk apa kita gentar dengan para pesaing, selain telah mendapat dukungan dari Hiswana Migas, DPRD, KNPI dan Pemprov Sumatera Utara, bukankah Pertamina memiliki banyak keunggulannya. Sebagai contoh, untuk kesekian kalinya Mesran (oli keluaran Pertamina) telah beberapa kali meraih penghargaan, misalnya penghargaan “Living Legend Brands” yang diakui publik sebagai merek lokal yang berhasil mengalahkan merek asing diberbagai kategori.

Bukan hanya itu saja, minyak pelumas unggulan Pertamina (Indonesia, pen), yaitu Fastron dan Enduro juga telah memperoleh penghargaan dan tercatat dalam rekor MURI (Musium Rekor Dunia Indonesia) bahwa kedua jenis pelumas itu telah terbukti performa dan daya tahannya yang melebihi kualitas di kelasnya yang telah diuji pada 10 varian mesin mobil dan sepeda motor, ketika berhasil menyelesaikan ajang bergengsi “ Touring for Nation 2010 dengan menempuh jarak 5.300 km yang dimulai dari Medan terus ke pulau Jawa dan Bali, tanpa ada hambatan yang berarti.

Selain itu, sejak Juli lalu Pertamina juga telah memasarkan Biodiesel B-5 (Bahan Bakar Nabati) yang ramah lingkungan karena emisi gas buang Biodiesel lebih sempurna, sehingga mampu mengurangi polusi udara. Sedangkan harga jualnya setara dengan harga solar bersubsidi.

Sementara pada Agustus lalu, Pertamina kembali memanjakan pelanggannya dengan layanan transaksi online I-Serv dengan harapan dapat memberikan kemudahan pelayanan transaksi bagi pelanggan di bisnis Aviasi, Industri & Marine, Pelumas dan Niaga Pertrokimia. Layanan online itu berbasis web yang memberi kemudahan dalam hal invoicing (penagihan), reporting (laporan transaksi), dan ordering (pemasaran).

Jadi kenapa musti takut dengan para pesaing asing ? Maju terus Pertamina, dan tingkatkan kinerjamu untuk menjadi perusahaan migas terbaik di Indonesia, sehingga akhirnya dapat mengapai cita-citamu untuk menjadi perusahaan berkelas dunia. Semoga berhasil. Amin…

Note: Sudah terbit di Harian Global Medan di rubrik Gagasan edisi 05 Oktober 2010

Apa itu Fabel Tiongkok Kuno ?

Oleh Freddy Ilhamsyah PA

Mungkin ada diantara pembaca yang bertanya, apa itu Fabel ? Menurut buku Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi-III bahwa Fabel itu adalah cerita yang mengambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang (berisikan pendidikan moral dan budipekerti), misalnya kancil merupakan tokoh utama di Indonesia yang berperan sebagai manusia cerdik. Tegasnya, Fabel adalah bentuk tertinggi dari kesusastraan perumpamaan yang sudah berkembang sekitar abad ke 4 dan ke 3 sebelum masehi negeri Tirai Bambu (Tiongkok), dan pada abad ke 17 sebelum masehi Fabel digunakan sebagai salah satu kesusastraan yang khas dan banyak pujangga di era Tiongkok Kuno yang mengarang atau mengumpulkan Fabel.

Fabel yang baik atau bagus bukan hanya mengisahkan cerita-cerita yang amat menarik, tapi juga mengandung ajaran-ajaran yang sangat dalam. Oleh karena itu Fabel mudah diterima dan digandrungi oleh masyarakat Tiongkok Kuno secara turun-temurun. Pada masa itu, sesuai dengan era pancarobah, berbagai aliran pujangga saling berlomba menyampaikan pemikiran mereka, sehingga tercapailah perkembangan yang sangat signifikan dalam kesusastraan dan idiologi.

Banyak diantara kebudayaan lama yang tertimbun telah ditata rapi menjadi catatan-catatan yang bersifat kesimpulan, sehingga kebudayaan itu dapat terpelihara dan menjadi pusaka bagi generasi berikutnya. Dan di dalam catatan-catatan itulah terkandung Fabel-Fabel Tiongkok tertua yang bermutu tinggi.

Di abad ke 4 sebelum masehi, dalam sejarah Tiongkok dikenal sebagai Jaman Negara-Negara Perang, banyak terdapat karangan yang mengandung unsur fabel, misalnya buku Lie Ce, Cuang Ce, Meng Ce, Yin Wen Ce, Han Fei Ce, Li Se Cun Ciu, Cerita Negara-negara Perang dan lain sebagainya. Pada masa itu Fabel merupakan semacam sarana perjuangan yang sangat tajam.

Orang yang mahir menggunakan sarana itu, bila bukan filsuf yang unggul, pasti ahli politik yang ulung. Mereka adalah orator ulung yang mengharapkan agar ajaran dan teorinya dapat dapat diterima di kalangan masyarakat serta dapat berjalan mulus di arena perpolitikan.

Menyadari bahwa dengan perkataan yang muluk-muluk tidak mungkin mengalahkan lawannya, maka mereka menggunakan fabel untuk mewujudkan pemikirannya yang kiasan-kiasan yang konkrit untuk membuktikan kebenaran teori mereka. Oleh sebab itu, Fabel yang lahir pada era tersebut, baik berupa keterangan atas suatu teori maupun yang bersifat pujian ataupun kritikan terhadap suatu kejadian yang konkrit, semua mengandung maksud dan tujuan yang tertentu, dan diarahkan kepada sasaran yang tertentu pula.

Walaupun demikian, ide, tokoh dan kisah-kisah dalam Fabel bersifat umum dan mengandung arti yang tipikal. Misalnya, Fabel berjudul “ Pencuri Ayam “ dalam buku Meng Ce karangan filsuf Meng Ko selengkapnya sbb.: Menurut alkisah di ceritakan bahwa di suatu desa ada seorang yang mempunyai kebiasaan mencuri ayam milik tetangganya setiap hari satu ekor. Pada suatu hari dia ditegur dan dinasehati oleh salah seorang tetangganya, “ Mencuri itu tidak baik.” Lalu sang pencuri menjawab, “ Betul, kalau biasanya saya mencuri ayam setiap hari seekor, maka mulai hari ini saya akan menguranginya menjadi setiap bulan seekor ayam yang saya curi, dan tahun depan saya akan menghentikan kebiasaan mencuri ayam.” Jika sudah tahu perbuatannya itu tidak baik, seharusnya segera dihentikan. Mengapa pula harus menunggu sampai tahun depan ?

Dalam kisah tersebut, filsuf Meng Ko mengiaskan seorang menteri negeri Sung yang bersikukuh tidak mau mengapus sistem penarikan pajak yang tidak adil; selain itu fabel tersebut juga merupakan kritikan kepada orang yang sudah mengaku salah, tapi tidak bersedia untuk segera memperbaiki kesalahannya.

Selain kisah di atas masih ada satu fabel yang penulis anggap masih relevan di masa ini, yaitu fabel berjudul “ Rubah dengan Keperkasaan Harimau.” Dalam fabel itu diceritakan ada seekor harimau berhasil menangkap seekor rubah di dalam semak belukar hutan belantara. Rubah yang licik itu lalu berkata kepada sang harimau, “ Kau tidak boleh memakan aku ! Aku diutus oleh Maha Dewa untuk menjadi raja bagi segala binatang yang ada di hutan belantara ini. Jika kau memangsa aku, berarti kau melanggar perintah Maha Dewa.”

Melihat sang harimau jadi bimbang lalu rubah berkata lagi, “ Jika kau tidak percaya, mari kita bukti dengan berjalan mengelilingi hutan ini, dan lihat apakah para binatang itu takut atau tidak padaku.”

Sang Harimau mmenyetujui usulan tersebut, maka merekapun berjalan berkeliling hutan. Sang rubah berjalan di depan harimau dengan congkaknya.

Melihat harimau datang, hewan-hewan berada di situ lantas lari tungganglanggang untuk menyelamatkan diri.

Dengan bangganya rubah berkata kepada sang harimau, “ Lihat, mereka ketakutan kepadaku ! ” Harimau menimpali ucapan sang rubah, “ Ya benar. Kau sangat perkasa, sehingga semua hewan berlarian ketika melihat kau datang.”

Dalam kisah fabel ini dimaksudkan untuk mengritik orang yang menindas rakyat dengan memakai kekuasaan orang lain. Kalau dijaman sekarang dapat diumpamakan, ada seseorang atau kerabat atau anak pejabat yang memanfaatkan jabatan ayahnya, abangnya, kerabatnya atau sahabatnya yang menjadi menjabat hanya untuk mempertebal kocek pribadinya.

Ada lagi cerita lain berjudul “ Pagi Tiga Buah, Malam Empat Buah “ gubahan Lie Yi Kou sekitar abad ke 5 sebelum masehi, yang mengisahkan bahwa pada jaman dahulu ada seorang di salah satu desa dekat pinggir hutan yang gemar memelihara monyet dalam jumlah besar.

Pada suatu ketika persediaan makanan untuk hewan peliharaannya sudah menipis, yaitu pisang kesukaan monyet. Orang itupun jadi bingung untuk memberi jatah pisang, dan dia mengenal betul semua tabiat monyet peliharaannya yang sudah mengerti perkataan tuannya, sehingga dia sangat sayang dengan monyet-monyet dan menghemat belanja untuk keluarganya sendiri.

Mengingat persediaan pisang sudah terbatas, maka dia berniat mengurangi jatah pisang untuk hewan peliharaannya itu, tetapi dia kawatir monyet-monyet itu tidak sepakat dengan rencananya. Lalu dia berkata, “ Wahai monyet-monyet kesayanganku, kalau setiap pagi aku berikan tiga buah pisang dan malam empat buah pisang, apakah kalian setuju ? ”

Monyet-monyet itupun menyerigai ketika mendengar ucapan tuannya, untuk mengungkapkan rasa kecewa karena makanan yang diberikan oleh tuannya terlalu sedikit.

Menyadari bahwa rencananya harus tetap berjalan, maka dia berkata lagi, “ Kalau pagi tiga buah dan malam empat buah kalian masih merasa kurang, bagaimana apabila pada pagi hari aku berikan pisang empat buah dan malam tiga buah. Puaskah kalian ? “

Mendengar bujukan yang manis itu hewan peliharaannya itupun setujuh karena tuannya telah memberi jatah lebih untuk santapan malam, yang tadinya hanya tiga buah telah ditambah menjadi menjadi empat buah.

Cerita dalam buku Lie Ce jelas berisi tipu muslihat kaum penguasa yang menjalankan politik untuk memperbodoh rakyat. Kata dalam buku itu, “ Sang nabi (baca kaum berkuasa) memerintah massa (rakyat) yang bebal (bodoh) dengan akal, seperti yang dicontohkan tuan pemelihara monyet memikat hati hewan peliharaannya dengan akal.

Maksud Lie Ce menulis fabel tersebut adalah bertujuan untuk mengingatkan setiap orang agar tidak mudah tertipu oleh rayuan gombal para penguasa yang katanya ingin menyejahterakan rakyat, tetapi justeru rakyat tetap tidak sejahtera. Di satu sisi dilebihkan, tapi di sisi lainnya terjadi pengurangan.

Contoh yang dikisahkan di atas masih relevan sampai hari ini, khususnya yang menyangkut dengan upah buruh (UMP/UMSP) yang digambarkan setiap tahun meningkat dengan tujuan untuk mensejahterakan kaum buruh. Tetapi pada intinya upah buruh tidak meningkat (kecuali angkanya) karena nilainya tetap sama dari tahun ke tahun. Lho, kenapa begitu ?

Menurut hemat penulis, upah/gaji buruh TIDAK NAIK setiap tahunnya. Sebab sebelum upah/gaji buruh naik, harga barang sudah duluan naik. “Kenaikan” upah/gaji buruh hanya untuk penyesuaian. Apabila harga barang tidak naik setiap tahunnya, baru boleh dikatakan upah buruh itu NAIK ! Kalau tidak, ya setalen tiga uang. Sama dengan “ Pagi Tiga Buah, Malam Empat Buah “ yang bila dibolak-balik angkanya tetap sama, yaitu tujuh, bukan delapan. Kalau angkanya menjadi delapan, baru dikatakan NAIK !

Refrensi : Buku “Fabel Tiongkok Kuno”/Pustaka Bahasa Asing Peking 1958 edisi bahasa Indonesia.