Friday 30 July 2010

Penjelasan atas gugatan PT Delila Petro Mengenai Kasus Buluh Telang

PENJELASAN ATAS GUGATAN

PT. DELILA MENGENAI KASUS BULUH TELANG



Sehubungan dengan adanya pengaduan Nurwahi (PT. Delila Petro) kepada pihak Polsek Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, dan adanya Surat Panggilan Polsek Padang Tualang No.Pol.S.Pgl/285/IX/2003 tanggal 11 September 2003 tentang pencurian minyak mentah (crude oil) di Buluh Telang oleh pihak Pertamina, maka untuk itu perlu dijelaskan bahwa sejak awal kemerdekaan NKRI, bangsa Indonesia telah menetapkan landasan kebijaksanaan nasional yang antara lain menggariskan falsafah dan tujuan pengelolaan bumi, air dan seluruh kekayaan alamnya termasuk minyak dan gas bumi.

Landasan kebijaksanaan nasional tersebut dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan berlakunya pada tanggal 18 Agustus 1945. Berbunyi ketentuan tersebut sebagai berikut :

Pasal 33

 Ayat (2) : Cabang - cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajad hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.

 Ayat (3) : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sementara itu, sejak tahun 1960 dasar hukum yang berlaku untuk seluruh kegiatan perminyakan adalah Undang - undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 yang juga disebut sebagai Undang - undang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Undang - undang ini telah merombak secara mendasar prinsip-prinsip pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi yang sebelumnya diatur dalam perundang - undangan Hindia Belanda, yaitu Indische Mijn Wet (IMW) 1899.

Latar belakang lahirnya IMW

Keberhasilan A.J. Zijlker mendapatkan sumber minyak di Telaga Said pada tanggal 15 Juni 1885 telah membuat pemerintah Belanda mendirikan perusahaan tambang minyak di Hindia Belanda (Indonesia, pen.), yaitu De Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Exploitatie van Petroleumbronnen in Nederlandsche Indie (De KONINKLIJKE) pada tahun 1890 yang sekaligus mengambil-alih konsesi lahan milik Zijlker.

Pengambil-alihan lahan konsesi Zijlker dilakukan atas dasar Koninklijke Besluit ( 24 Oktober 1850). Peraturan Pertambangan yang kemudian disusul dengan peraturan pelaksanaannya, yaitu Ordonansi Pertambangan Tahun 1866 yang diberlakukan dengan Koninklijke Besluit tanggal 26 Januari 1866.

Sejak itu wewenang Penguasa Zelfbestuur dibatasi. Mereka hanya dapat memberikan konsesi kepada warga negara Belanda perorangan atau perusahaan swasta untuk mengusahakan bahan galian tertentu (minyak, pen.) pada sebidang tanah dengan membayar loyalty. Konsesionaris atau pemegang konsesi mempunyai hak untuk melaksanakan penambangan dalam wilayah konsesinya selama 75 tahun.

Dengan ketentuan tersebut ROYAL DUTCH SHELL dengan BPM sebagai operatornya memperoleh peluang untuk memonopoli usaha pertambangan minyak dan gas bumi di Hindia Belanda. Sejak itu, perusahaan minyak dari negara lain jadi terhalang untuk mendapatkan izin usaha / berusaha di Hindia Belanda.

Sebagai tindaklanjut dari dikeluarkannya IMW, Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan beberapa peraturan pelaksanaan antara lain Mijn Ordonnantie 1930, Mijn Politic Reglement 1930 dan Petroleum Opslag Ordonnantie 1927.

Pembatalan Hak-hak Pertambangan

Sejak Negara Kesatuan Repulik Indonesia memperoleh kedaulatan penuh, Dewan Perwakilan Rakyat Sementara ( DPR - S ) pada tanggal 2 Agustus 1951 menyampaikan mosi agar Pemerintah dalam waktu singkat meninjau kembali keberadaan Indische Mijn Wet (IMW) 1899 yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan azas-azas pokok pemikiran Bangsa Indonesia. Mosi ini menimbulkan pro dan kontra yang berkepanjangan dan dapat mengganggu stabilitas nasional. Akhirnya pada tanggal 26 Desember 1956 Pemerintah melalui PP No.34 Tahun 1956 mengambil keputusan untuk tidak mengembalikan hak - hak konsesi yang ada di bumi Nusantara (Indonesia).

Dengan dikeluarkan PP tersebut, maka Pemerintah mulai melakukan penertiban hak - hak konsesi yang sebagian besar sudah tidak dilaksanakan oleh pemiliknya sejak perang kemerdekaan.Tindakan penertiban tersebut berupa pembatalan hak-hak pertambangan dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1959 pada tanggal 28 Maret 1959.

Sejak diberlakukannya Undang - undang tersebut, IMW (Indische Mijn Wet) dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian sistem konsesi dan Kontrak 5A dihapus dari bumi Indonesia dan diganti dengan cara pengusahaan baru yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Sesuai Undang-undang tersebut, pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi diberikan dalam bentuk kuasa pertambangan kepada Perusahaan Negara cq PERTAMINA. Sedangkan perusahaan minyak asing bekas pemegang hak konsesi dan Kontrak 5A dapat meneruskan operasinya sampai berakhirnya tenggang waktu peralihan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Selanjutnya kepada Perusahaan tersebut diberikan prioritas untuk mengalihkan operasinya menjadi kontraktor Pertamina dalam Perjanjian Karya atau yang sekarang dikenal sebagai Kontrak Production Sharing (KPS), Joint Venture (JV), Technical Assistance Contract (TAC), dan Joint Operating Body (JOB).

Ketentuan pokok dalam Undang - undang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi antara lain menyangkut penguasaan Negara atas minyak dan gas bumi, penyelenggaraan usaha pertambangan minyak dan gas bumi oleh Negara dan Kuasa Pertambangan untuk Perusahaan Negara (Pertamina) meliputi usaha-usaha eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan dan penjualan.

Selanjutnya, pemegang Kuasa Pertambangan adalah pelaksanaan usaha pertambangan minyak dan gas bumi untuk Negara dan bukan penguasa wilayah perminyakan tertentu seperti halnya dalam sistem konsesi. Sesuai prinsip tersebut, maka ditetapkan kewajiban Pemegang Kuasa Pertambangan untuk mengembalikan sebagian atau seluruh Wilayah Kuasa Pertambangan apabila tidak diusahakan lagi. Semua data, peta dan gambar yang bersangkutan dengan Wilayah Kuasa Pertambangan minyak dan gas bumi adalah milik Negara, oleh karenanya harus dikembalikan kepada Pemerintah pada saat pengembalian Wilayah Kuasa Pertambangan yang bersangkutan. Contoh kasus sudah berlaku pada Caltex di Riau beberapa waktu lalu.

Setelah melihat uraian tersebut di atas, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya yang menyangkut dengan adanya UU Migas No.22 Tahun 2001 yang telah menggugurkan UU No.44 Prp Tahun 1960 , UU No.15 Tahun 1962 dan UU No.8 Tahun 1971, secara tegas dan gamblang dinyatakan bahwa Hak-hak konsesi pertambangan minyak dan gas bumi yang pernah berlaku di masa penjajahan Belanda (era pemerintahan kolonial Hindia Belanda) dinyatakan BATAL demi hukum, termasuk apa yang diakui oleh PT. Delila Petro sebagai "penerus" Mijn Consessie BRITISH SUBJECT 1894.

Dalam Pasal 4 ayat (1) secara tegas dinyatakan : Minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. Sedangkan dalam Pasal yang sama ayat (2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.

Sementara dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152 pada penjelasan atas UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas lebih memperjelas makna yang tersirat di dalam Pasal 4 ayat (1) yang selengkapnya sbb.: Berdasarkan jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis yang terkandung di dalam bumi Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud di atas adalah agar kekayaan nasional tersebut dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, baik perorangan, masyarakat maupun pelaku usaha, sekalipun memilik hak atas sebidang tanah di permukaan, tidak mempunyai hak menguasai ataupun memiliki minyak dan gas bumi yang terkandung di bawahnya. Jadi tidak ada alasan lagi bagi pihak PT. Delila untuk mengakui atau menggugat bahwa rembesan minyak mentah di Desa Bulu Telang adalah milik perusahaannya (PT. Delila, pen).

Sedangkan mengenai surat-surat rekomendasi yang pernah diterima oleh pihak PT. Delila Petro baik dari Gubsu maupun Bupati Langkat beberapa tahun lalu, sudah dicabut atau dibatalkan oleh Gubsu dan Bupati Langkat. Jadi jelas sudah bahwa PT. Delila Petro tidak mempunyai hak penguasaan ataupun kepemilikannya atas rembesan minyak mentah (crude oil) di Desa Buluh Telang (Struktur Telaga Darat), Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Nah, apabila pihak PT. Delila tetap ngotot ingin menguasai ladang minyak yang terdapat di Desa Bulu Telang secara ilegal, maka yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi pidana seperti yang diatur dalam Pasal 52 dan Pasal 53 dari UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas.

Pangkalan Susu, 15 September 2003
Penulis,
Freddy Ilhamsyah PA
Penulis adalah staf Humas Pertamina Area Operasi Pangkalan Susu

Seputar masalah kasus lapangan minyak Telaga Said

SEPUTAR MASALAH KASUS LAPANGAN MINYAK TELAGA SAID DARAT
DI KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA


Catatan : Freddy Ilhamsyah PA


Sejak beberapa tahun lalu, ketika sekelompok oknum tertentu mengetahui bahwa lapangan minyak Telaga Said dan Darat akan dikelola oleh PT Eksindo Petroleum Pratama melalui sistem TAC (Technical Assistance Contract) Pertamina – Eksindo, maka mulai muncul permasalahan dari sekelompok orang yang mengaku dirinya sebagai pewaris atas wilayah yang akan dikelola oleh TAC Pertamina-Eksindo Telaga Said Darat.

Adalah PT Delila Petroleum yang menggugat Pertamina melalui surat nomor M.3-9/ED.DP 212 tertanggal 28 September 2000 yang dialamatkan kepada Pengurus Pertamina UEP-I Pangkalan Susu dengan 15 surat tembusan, diantaranya untuk Presiden RI, MPR RI, DPR RI, Makamah Agung, Menhan RI, Menteri ESDM, Bupati Langkat dsbnya yang menyebutkan bahwa mereka adalah penerus dari pemegang Hak Mijn Consessie BRITISH SUBJECT 1894 Site Area 4.000 Hectare di Emplacement STATION TELAGA SAED.

Kemudian muncul pula surat dari Komisaris Wilayah I Lembaga Missi Reclassering Republik Indonesia BPH NMS Sumbagut nomor 090/KOMWIL.I.LMR/BPH.NMS/PLH/ VII/2004 tertanggal 19 Juli 2004 dengan perihal : Pengalihan izin Pengambilan Rembesan Minyak dari sumur bor yang berada di Dusun V Darat Desa Buluh Telang, Dusun II Suka Maju Desa Telaga Said, dan Dusun IV Jati Tunggal Desa Buluh Telang.

Hal senada juga diungkapkan oleh Drs. Zulkarnaen Damanik,MM yang mengaku sebagai Ketua Koperasi RAPI saat berlangsungnya pertemuan antara pihak PT Pertamina (Persero) DOH NAD-Sumbagut dengan LMRRI dan Koperasi RAPI di ruangan kerja Manajer Umum Pertamina DOH NAD-Sumbagut di Rantau, Aceh Tamiang.

Namun keinginan pihak LMRRI dan Koperasi RAPI termasuk pihak PT Delila Petroleum tidak terpenuhi karena rembesan minyak mentah yang keluar dari sumur-sumur tua di struktur Telaga Said dan Darat merupakan wilayah operasional TAC Pertamina-Eksindo Telaga Said Darat sebagaimana diikat dalam kontrak TAC antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Eksindo Telaga Said Darat pada tanggal 7 Agustus 2002, dan Memorandum Deputi Direktur Hulu No.269/D10000/2003-S1 tanggal 26 Mei 2003, serta surat No.270/D10000/2003-S1 tanggal 26 Mei 2003 perihal, persetujuan Pre-Plan of Development dan pengambil-alihan lapangan Telaga Said Darat. Atas dasar tersebut maka pada tanggal 02 Juni 2003 dilakukan serah terima lapangan Telaga Said Darat oleh pihak Pertamina kepada pihak PT Eksindo Telaga Said Darat dalam surat Berita Acara No.014/D11000/2003-B1 yang ditandatangani oleh Lukman Umar selaku mewakili Dirut Pertamina, dan Sayid F.Karib mewakili PT Eksindo Telaga Said Darat.

Sebelumnya, Komisaris Utama PT Eksindo Petroleum Pratama, Joesril Hanim dalam presentasinya di Ruang Pertemuan Kantor Manajer Area Operasi Pangkalan Susu (24/1'02), menjelaskan, Eksindo menginves dana sebesar US $ 6,75 juta pada dua tahun pertama untuk lapangan migas Telaga Said Darat.

“ Jika proyek tersebut terbukti komersial, maka total investasi minimum untuk enam tahun ke depan adalah sebesar US $ 18,75 juta,” kata Joesril.

Pengoperasian Lapangan Telaga Said dan Telaga Darat akan memberi bagi hasil setelah penggantian biaya operasi dengan rasio : Gas = 70 : 30. Minyak/Kondensate = 85 : 15.

Menyinggung tentang pembagian hasil berdasarkan UU Otonomi Daerah bila dikaitkan dengan PAD dari sektor migas adalah sebesar 15 % dengan perincian : untuk Pemprov 3%, untuk Pemkab/Daerah Penghasil (Pemkab Langkat) sebesar 6% dan 6% dibagikan untuk Pemkab lainnya di Sumatera Utara. Demikian disampaikan Joesril saat melakukan audensi dengan Gubsu beberapa waktu lalu.

Yang jadi pertanyaan sekarang, apakah pihak Eksindo dengan rencana investasi sebesar itu untuk mengelola seluruh kawasan struktur Telaga Said di Kecamatan Sei Lepan dan struktur Telaga Darat di Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, akan berpangku-tangan bila wilayah kerjanya digarap oleh pihak-pihak tertentu secara ilegal ? Dan, apakah mungkin pihak Eksindo akan merelakan bila sebagian wilayah kerjanya yang telah diikat dengan perjanjian kontrak TAC diberikan kepada pihak lain ? Jelas tidak mungkin !

Sementara dalam pertemuan antara Muspika Kecamatan Padang Tualang, Kakan Pertambangan Kabupaten Langkat, Eduarsyah, Kabag. LPMD Langkat, Sulistianto, Kepala Desa Buluh Telang, Zulham Siregar, Ketua BPD Buluh Telang, Suradi Sarwo, Dirut PT Delila Petroleum, Nurwahi dengan Tim Manajemen PT Pertamina (Persero) DOH NAD-Sumbagut, Rantau yang dipandu oleh Kepala Kecamatan Padang Tualang, Drs. Hermansyah pada 28 Mei 2003 lalu telah dijelaskan bahwa untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya migas harus ada izin resmi dan merupakan kewenangan Pemerintah Pusat (Dept. ESDM & BP Migas) dalam hal penerbitan surat izin.

Eduarsyah secara tegas menyatakan, masalah perminyakan dan gas bumi adalah urusan Pemerintah Pusat yang pengelolaannya telah dilimpahkan kepada Pertamina. Untuk wilayah Sumatera Utara dan Aceh ditangani oleh PT Pertamina (Persero) DOH NAD-Sumbagut, Rantau.

Menyinggung tentang penanganan rembesan minyak mentah di sumur-sumur tua di lokasi Telaga Said dan Telaga Darat (Buluh Telang) adalah merupakan kewenangan PT Pertamina (Persero) DOH NAD-Sumbagut, Rantau yang telah disepakati oleh pihak Eksindo.

“Jadi apabila ada sumur-sumur tua yang terdapat di daerah Sumatera Utara, itu menjadi tanggungjawab Pertamina, yaitu PT Pertamina (Persero) DOH NAD-Sumbagut yang menjadi operator pelaksana eksplorasi dan eksploitasi migas di daerah tersebut,” ujar Eduarsyah.

Sementara itu Kepala Badan LPMD Langkat yang pada masa itu dijabat oleh Sulistianto menjelaskan bahwa berdasarkan UUD l945 Pasal 33 menyebutkan, air, bumi dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang diperkuat dengan UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas.

“Jadi, semua kekayaan yang ada di bumi ini dikuasai oleh Negara. Tidak ada seorangpun yang boleh mengelolanya, tanpa dibekali surat izin. Hak pengelolaan diberikan oleh peraturan perundangan kepada Pertamina. Yang lain ngak boleh, bila tidak melalui prosedur perundang-undangan yang berlaku,” tutur Sulistianto.

Menyinggung tentang pengelolaan rembesan minyak mentah, Sulistianto mengingatkan bahwa LPMD tidak mempunyai hak apa-apa. Kita tidak mempunyai kewenangan untuk mempertahankannya. Sebab Undang-undang sudah mengaturnya demikian. Oleh karena itu mari kita hargai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu Sulistianto juga menekankan kepada Kades Buluh Telang, Zulham Siregar bahwa segala sesuatu yang ada di desa ini, termasuk bangunan milik pemerintah (maksudnya, sumur-sumur migas tua, pen.) adalah tanggungjawab bapak. “Jadi jangan dibiarkan begitu saja,” tambah Sulistianto.

Berkaitan dengan itu, Kapolsek Padang Tualang, Iptu Edi Yanto yang kini berpangkat AKP menegaskan, sebagai pemegang kendali masalah Kamtibmas, saya mengingatkan, “ Ngapai kita di bawah ini recok-recok. Apa ini !? Kami sangat tidak mengharapkan sesama warga masyarakat Desa Buluh Telang terjadi konflik. Mari kita duduk bersanding untuk berunding. Mari kita duduk bersahaja, bukan untuk berlaga. Mari kita cari solusi penyelesaian yang terbaik, yang tidak terlepas dari koridor hukum, “ kata Edi Yanto.

Pada prinsipnya, masih menurut Kapolsek Padang Tualang, kami dari Muspika Kecamatan Padang Tualang mendukung setiap usaha pengelolaan rembesan minyak yang dilaksanakan oleh pihak swasta di Desa Buluh Telang. Tetapi dengan syarat, harus ada izin resmi dari pihak terkait.

Sedangkan Ka. Hupmas PT Pertamina (Persero) DOH NAD-Sumbagut, H. Zakir Alamsyah, SH mengimbau kepada masyarakat dan pihak terkait agar jangan mengangkangi peraturan dan Undang-undang yang berlaku.

“ Mau jadi apa kita ini kalau tidak mau mematuhi peraturan dan Undang-undang yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi kalau memang masih ada yang tetap berkeinginan untuk mengelola rembesan minyak mentah di Buluh Telang, silahkan mengajukannya ke Pusat untuk membatalkan semua peraturan dan Undang-undangan tersebut,” ujar Zakir.

Sementara dalam pertemuan tersebut, Ketua BPD Desa Buluh Telang, Suradi Sarwo menjelaskan mengenai kronologis masalah rembesan minyak mentah dari sumur-sumur tua yang terdapat di wilayahnya, bahwa pada tahun 1980-an, masyarakat menyampaikan keluhan kepada saya mengenai terjadinya pencemaran lingkungan akibat rembesan minyak mentah. Kami minta kepada pihak Pertamina yang pada waktu itu masih berkantor di Pangkalan Berandan, agar menutup sumur-sumur minyak yang merembes itu dengan cara disemen dan dipagar kawat harmonika. Setelah beberapa lama kemudian, kawatnya pada “lari” ke Tanjung Pura dan besinya juga ”lari” ke Tanjung Pura ( maksudnya dicuri orang dan dijual ke Tanjung Pura, pen.). Sekarang semuanya sudah tidak ada.

Yang menjadi penyebab resahnya masyarakat, ialah dengan adanya pemasangan plang PT. Delila Petro yang menyatakan bahwa lahan mereka ada seluas 4000 hektar. Jadi kalau minyak yang dikelola cuma lima drum perhari, apakah bisa mencukupi. Takutnya masyarakat, nanti tanah mereka yang jadi korban. Yang jelas, sejak tahun 1982 saya kelola minyak Buluh Telang, tidak ada masalah. Selama saya tangani minyak Buluh Telang, sumur tidak saya rusak. Saya cuma mengambil dari rembesannya saja. Sedangkan minyaknya saya kirimkan kepada Pertamina. Akan tetapi kenyataan sekarang yang ada pak, beton yang dibuat Pertamina sudah di rusak oleh orangnya PT Delila. Nah, kalau nanti minyaknya jebol dan menyebabkan pencemaran, masyarakat yang susah pak.
“Tetapi syukur alhamdulillah persoalan tersebut sudah dapat diselesaikan dalam pertemuan ini,” ujar Sarwo.

Sementara itu Kepala Desa Buluh Telang, Zulham Siregar baik secara pribadi maupun selaku Kepala Desa pada prinsipnya tidak keberatan siapa yang mengelolanya. “ Tinggal lagi pengelolaannya harus menurut prosedur hukum yang berlaku. Bukan malah merusak sumur-sumur minyak yang ada, “ tandasnya.

Dari uraian tersebut di atas sudah tergambarkan secara jelas bahwa masyarakat dan pelaku bisnis dilarang untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya migas tanpa dibekali surat izin dari pihak yang berkompeten. Apa bila ada pihak-pihak tertentu yang melakukan penggarapan sumur-sumur tua di kawasan Telaga Said dan Telaga Darat ataupun di mana saja secara ilegal, maka yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi pidana penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp 60 miliar sebagaimana telah diatur dalam UU Migas No.22/2001 BAB XI Pasal 52.

Kini tinggal bagaimana sikap aparat kepolisian setempat ( Polres Langkat ) dalam menyikapi masalah penggarapan ilegal sumur-sumur tua migas yang terdapat di Telaga Said dan Telaga Darat. Kalau berbicara mengenai hukum, sudah jelas, yaitu dapat dipenjara selama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp 60 miliar. Sedangkan untuk penadah minyak ilegal tersebut dapat dikenakan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp 30 miliar karena telah melanggar UU Migas No.22 Tahun 2001 Pasal 53 huruf c. " tidak mempunyai izin usaha penyimpanan " dan huruf d. " tidak mempunyai izin usaha niaga. "

Yang dimaksud dengan Usaha Penyimpanan menurut Pasal 1 Ayat (13) UU No. 22/ 2001 adalah : Kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran Minyak Bumi, dan atau Gas Bumi.
Yang dimaksud dengan Usaha Niaga menurut Pasal 1 Ayat (14) UU No.22/2001 adalah : Kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi, dan atau hasil olahannya, termasuk Niaga Gas Bumi melalui pipa.

Menurut informasi yang layak dipercaya kebenarannya menyebutkan bahwa aksi penjarahan minyak mentah dan penggarapan liar di sumur-sumur tua struktur Telaga Said sekitarnya masih berlangsung dan terkesan "luput" dari jangkauan hukum. Untuk itu dihimbau kepada aparat kepolisian dan pihak terkait agar mengambil tindakan tegas sebelum minyak mentah hasil penjarahan tersebut menjadi bahan baku mengoplos BBM yang beredar di pasaran.

Pangkalan Susu, 28 Agustus 2004

Penulis adalah staf Humas Pertamina Area Operasi Pangkalan Susu

Thursday 29 July 2010