Saturday 19 May 2012

Penerimaan Negara Dari Sektor Migas Tergerus Subsidi


Telukharunews – Penerimaan Negara dari sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) terus meningkat dari tahun ke tahun. Di sisi lain, subsidi energi (bahan bakar minyak dan listrik) juga bertambah setiap tahunnya. Kondisi ini menyebabkan penerimaan migas tergerus subsidi, sehingga tidak dapat digunakan secara optimal untuk kebutuhan pembangunan nasional yang lebih produktif, seperti pembangunan infrastruktur.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk “Membangun Kemandirian dan Ketahanan Energi Untuk Mendukung Pembangunan Nasional” yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Nasional di Jakarta, Rabu (16/5). Hadir sebagai narasumber, Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS), Gde Pradnyana, Wakil Direktur Reforminer Institut, Komaidi, Praktisi Migas, Abdul Mu’in, dan Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada, Putut Prabantoro.

Gde mengatakan, pihaknya terus berusaha meningkatkan penerimaan negara dari sektor migas. Salah satu faktor meningkatnya penerimaan disebabkan naiknya harga minyak dunia. Namun, BPMIGAS juga melakukan berbagai upaya, seperti efisiensi biaya operasional melalui pengawasan berlapis. Dalam lima tahun terakhir, return on investment di Indonesia cukup menarik dengan rata-rata 60 persen bagian Negara, 16 persen pendapatan bersih kontraktor, sisanya untuk biaya operasi.

Selain itu, kata dia, BPMIGAS ditunjuk pemerintah untuk meningkatkan harga jual gas bumi. “Tahun ini dari perbaikan beberapa harga gas domestik dan ekspor penerimaan akan naik setidaknya Rp 6 triliun,” katanya.

Berdasarkan data BPMIGAS, tahun 2011 lalu sumbangan industri migas mencapai US$ 35,233 miliar atau sekitar Rp 317,1 triliun. Jumlah ini meningkat dibanding 2010 yang pendapatannya sebesar 26,497 miliar atau sekitar Rp 238,5 triliun.

Komaidi mengatakan, peningkatan pendapatan migas menjadi tidak optimal karena mayoritas digunakan untuk subsidi. “Hanya 20 persen digunakan untuk kegiatan lain,” katanya.

Dia mengutip, berdasarkan laporan keuangan pemerintah pusat, tahun 2009 subsidi energi dan dana bagi hasil untuk daerah sebanyak Rp 120,68 triliun. Tahun berikutnya, porsinya naik menjadi Rp 175,31 triliun. Tahun ini diperkirakan untuk subsidi energi saja mencapai Rp 170 triliun.

Berdasarkan simulasi yang dilakukan Reforminer, kuota premium dan solar tahun 2012 sekitar 38,3 juta kilo liter. Tahun 2025, diperkirakan kuotanya mencapai 69,2 juta kilo liter. Artinya, pada 2025, subsidi bahan bakar minyak menyentuh angka Rp 308 triliun. Padahal, penerimaan dari minyak diperkirakan akan berkurang sebanyak Rp 144 triliun karena produksinya yang terus menurun. “Keadaan ini tidak dapat terus dibiarkan. Harus ada langkah konkret mengurangi ketergantungan terhadap minyak,” kata Komaidi.

Hal senada diungkapkan Mu’in. Dia mengatakan, publik harus mulai sadar bahwa Indonesia memasuki masa krisis energi fosil, khususnya minyak. Menurutnya, sejak peak kedua tahun 1996 sebesar 1,6 juta barel minyak per hari, produksi minyak akan terus menurun. Pasalnya, 90 lapangan yang berproduksi masuk kategori tua (mature). “Ditambah tidak ada lagi temuan yang tergolong lapangan besar, kecuali lapangan Banyu Urip (blok Cepu),” katanya. 

Cadangan blok Cepu yang diperkirakan sebesar 450 juta barel pun jauh lebih kecil dibanding lapangan Minas dan Duri di Riau yang cadangannya mencapai 4 miliar barel.

Dia menjelaskan, peluang untuk meningkatkan cadangan masih terbuka karena dari 60 cekungan yang ada, baru 22 cekungan yang berproduksi. Kebanyakan cekungan yang belum disentuh berada di kawasan Timur Indonesia yang selama ini terbukti memiliki cadangan gas yang cukup besar. Jadi tetap era minyak sudah habis, berganti dengan gas. “Perilaku konsumsi minyak sudah semestinya diganti dengan gas, bahkan jika memungkinkan energi terbarukan,” kata Mu’in.

Putut menambahkan, tidak optimalnya penggunaan anggaran dari migas tidak hanya terjadi di tingkat pusat. Dana bagi hasil migas yang diperoleh daerah juga belum menyejahterakan rakyat. Beberapa kasus menunjukkan konflik perbatasan di daerah terjadi karena perebutan wilayah yang mengandung migas. Contohnya, Pulau Lari-larian yang diperebutkan oleh Sulawesi Barat dan Kalimantan Selatan. Di pulau tersebut terdapat cadangan gas yang dikelola Pearl Oil (Sebuku). “Migas seharusnya menjadi pemersatu, bukan pemecah belah,” katanya. (bpmigas)

No comments:

Post a Comment