Telukharunews – Dengan menggunakan bentuk kontrak bagi hasil, sejatinya
negara lebih mengukuhkan kedaulatan penuh terhadap sektor hulu minyak dan gas
bumi. Sebagaimana diketahui, bentuk Kontrak Bagi Hasil (yang merupakan
perubahan dari bentuk Kontrak Karya) diperkenalkan ketika Bung Karno
menasionalisasi perusahaan-perusahaan migas yg dimasa sebelumnya menggunakan
bentuk Kontrak Royalti. Perubahan ini dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan
amanat pasal 33 UUD 1945 agar negara menguasai sumber kekayaan alam yang
menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan Kontrak Bagi Hasil (yang kini
dibawah era UU Migas no.22 th 2001 dikenal dengan sebutan Kontrak Kerja Sama)
kegiatan operasional yang dikerjakan asing jelas tidak berarti Industri
strategis ini dikuasai asing.
“Kami yang menentukan apakah suatu program masuk ke dalam komponen biaya
cost recovery atau tidak,” katanya.
Harus diakui, kata dia, UU 22/2001 yang lahir untuk memenuhi tuntutan reformasi dan desentralisasi jauh lebih baik ketimbang aturan sebelumnya, yakni UU Nomor 8 Tahun 1971 yang sangat sentralistik. Pada era lama tersebut terjadi pemusatan kekuasaan. Pertamina ketika itu merangkap sebagi regulator (yang seharusnya kewenangan pemerintah) sekaligus sebagai operator. Hal ini yang di masa lalu membuat perusahaan migas nasional kita menjadi tidak efisien dan akuntabilitasnya sangat rendah. Misalnya, dulu penerimaan negara dari sektor hulu migas didapat setelah direkonsiliasi dengan neraca untung-rugi Pertamina. Kini penerimaan secara langsung diterima kas negara. Contoh lain, dulu besaran retensi/biaya untuk pengelolaan pengawasan dan pengendalian kontrak kerja sama mencapai tiga persen dari Penerimaan Migas. Saat ini, diatur maksimal satu persen, itupun harus diajukan dulu kepada pemerintah.
“Jadi pendapat yang mengatakan bahwa dulu biaya pengelolaan kegiatan hulu lebih murah, jelas keliru”, kata dia.
“Perusahaan migas nasional maupun asing hanya
sebagai kontraktor yang mengerjakan wilayah kerja migas milik negara”, kata
Kepala Divisi Humas, Sekurti, dan Formalitas, BPMIGAS, Gde Pradnyana di
Jakarta, Minggu (13/5).
Dia mengatakan, setiap kontraktor (nasional maupun asing) wajib melaporkan
rencana kerja yang akan dilakukan, kegiatan yang sedang berjalan, hingga
program yang telah selesai dilakukan. Otoritas penuh tetap berada ditangan
pemerintah, dalam hal ini BPMIGAS, sebagai badan pengawas dan pengendali.
Dengan Kontrak Kerja Sama (KKS), hasil produksi migas, setelah dikurangi
biaya operasi, dibagi berdasarkan kesepakatan yang diatur dalam kontrak kerja
sama. Untuk minyak bumi 85 persen bagian negara, sisanya kontraktor. Sedangkan
untuk gas, 70 bagian negara, sisanya kontraktor. Sementara untuk bentuk kontrak
royalti sebagaimana yg digunakan di negara-negara Barat yang menganut paham
kapitalis, negara tidak punya kekuasaan untuk mengatur manajemen operasi kegiatan
migas. Di negara-negara tersebut manajemen operasi sepenuhnya dilakukan oleh
pengusaha yang menguasai ladang-ladang migas. Disitu negara sama sekali tidak
mempunyai kedaulatan atas sumber daya alam tersebut. Negara hanya memperoleh
royalti saja dari pengurasan sumber daya alam dan pajak keuntungan perusahaan.
“Jadi tidak tepat anggapan bahwa kita tidak memiliki kedaulatan atas sumber
daya migas”, kata Gde.
Saat ini tengah dibahas revisi Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang
Migas oleh DPR. Beberapa pihak melontarkan pendapat UU 22/2001 harus dirombak
total karena bertentangan dengan UUD 1945, namun sejatinya revisi ini untuk
mengantisipasi perkembangan era demokratisasi yang semakin menguat.
Harus diakui, kata dia, UU 22/2001 yang lahir untuk memenuhi tuntutan reformasi dan desentralisasi jauh lebih baik ketimbang aturan sebelumnya, yakni UU Nomor 8 Tahun 1971 yang sangat sentralistik. Pada era lama tersebut terjadi pemusatan kekuasaan. Pertamina ketika itu merangkap sebagi regulator (yang seharusnya kewenangan pemerintah) sekaligus sebagai operator. Hal ini yang di masa lalu membuat perusahaan migas nasional kita menjadi tidak efisien dan akuntabilitasnya sangat rendah. Misalnya, dulu penerimaan negara dari sektor hulu migas didapat setelah direkonsiliasi dengan neraca untung-rugi Pertamina. Kini penerimaan secara langsung diterima kas negara. Contoh lain, dulu besaran retensi/biaya untuk pengelolaan pengawasan dan pengendalian kontrak kerja sama mencapai tiga persen dari Penerimaan Migas. Saat ini, diatur maksimal satu persen, itupun harus diajukan dulu kepada pemerintah.
“Jadi pendapat yang mengatakan bahwa dulu biaya pengelolaan kegiatan hulu lebih murah, jelas keliru”, kata dia.
Pada era UU migas yang lama, Wilayah Kerja (atau Blok) Migas hanya ditawarkan
dan diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar, yang tentunya didominasi
perusahaan asing. Kini, dengan UU 22 th.2001 Wilayah Kerja ditenderkan secara
terbuka.
Kini tidak mengherankan jika data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral
(ESDM), menunjukkan bahwa sepanjang 2001-2011, 74 persen Wilayah Kerja Migas
yang sudah berproduksi digarap oleh perusahaan asing. Sebab mereka umumnya
memperoleh kontraknya pada era UU 8 th 1971.
“Jika dilihat statistik, lebih banyak blok eksplorasi baru dikuasai perusahaan
nasional dibanding asing,” katanya. Sepanjang tahun 2001-2011, dengan
berlakunya UU 22 th 2001, statistik menunjukkan rata-rata ada 17 blok migas
baru yang diberikan. Dari jumlah itu sebagian besar diberikan kepada perusahaan
nasional. Kontraktor asing hanya memenangi tender blok migas di area deepwater
di Selat Makassar dan daerah frontier di Indonesia Timur.
Hal lain yang cukup krusial, UU 8 tahun 71 yang sangat sentralistik
menyebabkan daerah tidak akan pernah mendapatkan peran untuk berpartisipasi
dalam mengelola sumber daya alam (SDA) yang ada di wilayahnya. Kini, dengan UU
Migas 22/2001, peran daerah diakomodasi dengan pemberian participating
interest.
Gde menegaskan, kalaupun dilakukan revisi UU Migas, itu mestinya dalam
kaitan dengan upaya untuk mendukung peningkatan cadangan dan produksi migas.
“Termasuk upaya meningkatan kapasitas nasional, termasuk industri penunjangnya,
dimana partisipasi daerah penghasil juga tentu harus semakin terbuka lebar.”
kata dia. (bpmigas)
No comments:
Post a Comment