Monday 14 May 2012

Dibawah UU Migas No.22 th 2001 Wilayah Kerja Migas Lebih Banyak Dimenangkan Perusahaan Nasional

Telukharunews – Dengan menggunakan bentuk kontrak bagi hasil, sejatinya negara lebih mengukuhkan kedaulatan penuh terhadap sektor hulu minyak dan gas bumi. Sebagaimana diketahui, bentuk Kontrak Bagi Hasil (yang merupakan perubahan dari bentuk Kontrak Karya) diperkenalkan ketika Bung Karno menasionalisasi perusahaan-perusahaan migas yg dimasa sebelumnya menggunakan bentuk Kontrak Royalti. Perubahan ini dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan amanat pasal 33 UUD 1945 agar negara menguasai sumber kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan Kontrak Bagi Hasil (yang kini dibawah era UU Migas no.22 th 2001 dikenal dengan sebutan Kontrak Kerja Sama) kegiatan operasional yang dikerjakan asing jelas tidak berarti Industri strategis ini dikuasai asing.

“Perusahaan migas nasional maupun asing hanya sebagai kontraktor yang mengerjakan wilayah kerja migas milik negara”, kata Kepala Divisi Humas, Sekurti, dan Formalitas, BPMIGAS, Gde Pradnyana di Jakarta, Minggu (13/5).

Dia mengatakan, setiap kontraktor (nasional maupun asing) wajib melaporkan rencana kerja yang akan dilakukan, kegiatan yang sedang berjalan, hingga program yang telah selesai dilakukan. Otoritas penuh tetap berada ditangan pemerintah, dalam hal ini BPMIGAS, sebagai badan pengawas dan pengendali.

“Kami yang menentukan apakah suatu program masuk ke dalam komponen biaya cost recovery atau tidak,” katanya.

Dengan Kontrak Kerja Sama (KKS), hasil produksi migas, setelah dikurangi biaya operasi, dibagi berdasarkan kesepakatan yang diatur dalam kontrak kerja sama. Untuk minyak bumi 85 persen bagian negara, sisanya kontraktor. Sedangkan untuk gas, 70 bagian negara, sisanya kontraktor. Sementara untuk bentuk kontrak royalti sebagaimana yg digunakan di negara-negara Barat yang menganut paham kapitalis, negara tidak punya kekuasaan untuk mengatur manajemen operasi kegiatan migas. Di negara-negara tersebut manajemen operasi sepenuhnya dilakukan oleh pengusaha yang menguasai ladang-ladang migas. Disitu negara sama sekali tidak mempunyai kedaulatan atas sumber daya alam tersebut. Negara hanya memperoleh royalti saja dari pengurasan sumber daya alam dan pajak keuntungan perusahaan.

“Jadi tidak tepat anggapan bahwa kita tidak memiliki kedaulatan atas sumber daya migas”, kata Gde.

Saat ini tengah dibahas revisi Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas oleh DPR. Beberapa pihak melontarkan pendapat UU 22/2001 harus dirombak total karena bertentangan dengan UUD 1945, namun sejatinya revisi ini untuk mengantisipasi perkembangan era demokratisasi yang semakin menguat.

Harus diakui, kata dia, UU 22/2001 yang lahir untuk memenuhi tuntutan reformasi dan desentralisasi jauh lebih baik ketimbang aturan sebelumnya, yakni UU Nomor 8 Tahun 1971 yang sangat sentralistik. Pada era lama tersebut terjadi pemusatan kekuasaan. Pertamina ketika itu merangkap sebagi regulator (yang seharusnya kewenangan pemerintah) sekaligus sebagai operator. Hal ini yang di masa lalu membuat perusahaan migas nasional kita menjadi tidak efisien dan akuntabilitasnya sangat rendah. Misalnya, dulu penerimaan negara dari sektor hulu migas didapat setelah direkonsiliasi dengan neraca untung-rugi Pertamina. Kini penerimaan secara langsung diterima kas negara. Contoh lain, dulu besaran retensi/biaya untuk pengelolaan pengawasan dan pengendalian kontrak kerja sama mencapai tiga persen dari Penerimaan Migas. Saat ini, diatur maksimal satu persen, itupun harus diajukan dulu kepada pemerintah.

“Jadi pendapat yang mengatakan bahwa dulu biaya pengelolaan kegiatan hulu lebih murah, jelas keliru”, kata dia.

Pada era UU migas yang lama, Wilayah Kerja (atau Blok) Migas hanya ditawarkan dan diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar, yang tentunya didominasi perusahaan asing. Kini, dengan UU 22 th.2001 Wilayah Kerja ditenderkan secara terbuka.

Kini tidak mengherankan jika data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), menunjukkan bahwa sepanjang 2001-2011, 74 persen Wilayah Kerja Migas yang sudah berproduksi digarap oleh perusahaan asing. Sebab mereka umumnya memperoleh kontraknya pada era UU 8 th 1971.

“Jika dilihat statistik, lebih banyak blok eksplorasi baru dikuasai perusahaan nasional dibanding asing,” katanya. Sepanjang tahun 2001-2011, dengan berlakunya UU 22 th 2001, statistik menunjukkan rata-rata ada 17 blok migas baru yang diberikan. Dari jumlah itu sebagian besar diberikan kepada perusahaan nasional. Kontraktor asing hanya memenangi tender blok migas di area deepwater di Selat Makassar dan daerah frontier di Indonesia Timur.

Hal lain yang cukup krusial, UU 8 tahun 71 yang sangat sentralistik menyebabkan daerah tidak akan pernah mendapatkan peran untuk berpartisipasi dalam mengelola sumber daya alam (SDA) yang ada di wilayahnya. Kini, dengan UU Migas 22/2001, peran daerah diakomodasi dengan pemberian participating interest.

Gde menegaskan, kalaupun dilakukan revisi UU Migas, itu mestinya dalam kaitan dengan upaya untuk mendukung peningkatan cadangan dan produksi migas. “Termasuk upaya meningkatan kapasitas nasional, termasuk industri penunjangnya, dimana partisipasi daerah penghasil juga tentu harus semakin terbuka lebar.” kata dia. (bpmigas)

No comments:

Post a Comment