Sunday 2 June 2013

Presiden SBY: Demokrasi Indonesia adalah Proses yang Berkelanjutan

Presiden SBY menyampaikan pidato penerimaan World Statesman Award 2013 dari AoCF di Hotel The Pierre, New York, AS, Kamis (30/5) malam. (foto: abror/presidenri.go.id)
NEW YORK, Amerika Serikat- Demokrasi Indonesia tetap merupakan satu proses yang berkelanjutan. "Kebangsaan kami terus menerus diuji. Menjaga perdamaian, tata tertib, dan harmoni adalah sesuatu yang tidak dapat dilakukan secara sambil lalu," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya pada santap malam penganugerahan World Statesman Award di Grand Ballroom, Hotel The Pierre, New York, Amerika Serikat, Kamis (30/5) malam waktu setempat atau Jumat (31/5) pagi WIB.

Di awal transisi demokratis Indonesia 15 tahun yang lalu, Indonesia mengalami krisis multidimensional. “Keruntuhan ekonomi. Ketidakstabilan politik. Kerusuhan sosial. Separatisme. Konflik komunal. Kekerasan antar-etnis. Terorisme. Situasi sedemikian parahnya sehingga Indonesia diprediksi akan menjadi Balkan yang baru, hancur berkeping-keping,” ujar SBY.

“Tetapi bangsa Indonesia dengan gigih menantang skenario kehancuran tersebut. Kami menyelesaikan permasalahan satu per satu. Kami menyelesaikan konflik separatisme di Aceh yang telah berlangsung selama 30 tahun. Kami memperbaiki hubungan dengan Timor-Leste. Kami mengembalikan stabilitas politik. Kami memperkuat institusi-institusi demokrasi kami. Kami memberlakukan hukum untuk mengakhiri diskriminasi di Indonesia,” SBY menjelaskan.

Ekonomi Indonesia yang pernah sakit telah pulih dan menjadi ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dengan tingkat pertumbuhan tercepat kedua di Asia setelah Tiongkok. “Dan masyarakat madani yang berkembang menjadi sandaran demokrasi kami. Indonesia pun kemudian sering disebut sebagai salah satu kisah transformasi yang paling berhasil di Abad ke-21,” lanjutnya.

Namun hingga saat ini Indonesia masih tetap menghadapi sejumlah tantangan. “Kantung-kantung intoleransi tetap ada. Konflik komunal terkadang masih mudah tersulut. Sensitivitas keagamaan kadangkala menimbulkan perselisihan, dimana kelompok-kelompok masyarakat mengambil tindakan secara sepihak. Riak radikalisme masih tetap ada. Hal ini, saya yakini, bukan merupakan permasalahan yang hanya dihadapi oleh Indonesia, tetapi merupakan fenomena global,” terang SBY.

“Sejatinya, masih banyak pekerjaan yang harus kami lakukan. Kami harus terus memajukan transformasi Indonesia seraya mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Bersamaan dengan kemajuan ke depan kami, kami tidak akan mentolerir setiap bentuk kekerasan yang dilakukan oleh kelompok manapun dengan mengatasnamakan agama. Kami tidak akan membiarkan penodaan tempat-tempat ibadah agama manapun atas alasan apapun. Kami akan selalu melindungi kaum minoritas dan memastikan tidak ada yang terdiskriminasi. Kami akan memastikan bahwa mereka yang melanggar hak-hak orang lain akan diganjar hukuman yang setimpal,” seru Presiden SBY.

Indonesia akan melakukan berdasarkan kemampuan untuk memastikan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan kelompok etnis, serta semua umat beragama—Muslim, Kristiani, Hindu, Budha, Konghucu, dan kepercayaan lainnya—dapat hidup berdampingan dalam kebebasan dan persaudaraan,” kata SBY.

“Indonesia akan senantiasa menjadi negara dimana terdapat rumah tempat ibadah yang berlimpah. Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 255.000 mesjid. Kami juga memiliki lebih dari 13.000 pura Hindu, sekitar 2.000 kuil Budha, dan lebih dari 1.300 kuil Konghucu. Dan—hal ini mungkin akan mengejutkan bagi anda—kami memiliki lebih dari 61.000 gereja di Indonesia, lebih banyak dibandingkan di Inggris Raya atau Jerman. Dan banyak dari tempat-tempat ibadah ini dapat ditemui di sepanjang jalan yang sama. Di lingkungan eksternal, Indonesia juga akan terus menjadi kekuatan bagi perdamaian dan kemajuan,” jelas Presiden SBY.

Twitter: @websitepresiden
Sumber: www.presidenri.go.id


No comments:

Post a Comment