Friday 29 March 2013

MK Putusan Bebas Perkara Pidana Dapat Dikasasi


JAKARTA- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan upaya hukum kasasi juga dapat dilakukan bagi putusan bebas. Hal ini tertuang dalam putusan MK Nomor 114/PUU-X/2012 yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD pada Kamis (28/3).

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ucap Mahfud didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya.

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, Mahkamah berpendapat apabila Pasal 67 KUHAP menentukan pengecualian untuk memohon pemeriksaan terhadap putusan tingkat pertama yang menyatakan bebas. Kemudian, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat, maka Pasal 244 KUHAP mengecualikan permohonan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas.

“Kedua ketentuan tersebut sama sekali tidak memberikan upaya hukum biasa terhadap putusan bebas, yang berarti fungsi Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan yang ada di bawahnya sama sekali ditiadakan,” paparnya.

Sodiki menjelaskan tanpa bermaksud melakukan penilaian atas putusan-putusan Mahkamah Agung (MA), kenyataan selama ini menunjukkan beberapa putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berada di bawah MA, memang tidak diajukan permohonan banding. Akan tetapi, sambung Sodiki, diajukan permohonan kasasi dan MA mengadilinya, padahal sesuai ketentuan Pasal 244 KUHAP terhadap putusan bebas tidak boleh dilakukan upaya hukum kasasi. Hal itu mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum dalam praktik karena terjadinya kontradiksi dalam implementasi pasal tersebut.

“Di satu pihak pasal tersebut melarang upaya hukum kasasi, namun di lain pihak Mahkamah Agung dalam praktiknya menerima dan mengadili permohonan kasasi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan di bawahnya. Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, Mahkamah perlu menentukan konstitusionalitas Pasal 244 KUHAP khususnya frasa “kecuali terhadap putusan bebas”,” ujarnya.

Mahkamah menilai dalam penegakan hukum dan keadilan, terkandung juga makna bahwa yang benar itu harus dinyatakan benar, dan yang salah itu harus dinyatakan salah. Dalam hubungan itu, putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung kemudian dimohonkan pemeriksaan kasasi, tidak boleh diartikan bahwa Mahkamah Agung pasti menyatakan terdakwa bersalah dan dijatuhi pidana. Sodiki melanjutkan bisa saja MA sependapat dengan pengadilan yang berada di bawahnya, artinya terdakwa tetap dibebaskan dalam putusan kasasi. Dalam keadaan ini, berarti fungsi MA sebagai pengadilan negara tertinggi tetap terselenggara, dan hukum serta keadilan tetap ditegakkan.

“Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Adapun dalil-dalil permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya, menurut Mahkamah, tidak beralasan menurut hukum,” tandas Sodiki.

Pendapat Berbeda

Pendapat berbeda justru diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Harjono terhadap putusan permohonan yang diajukan oleh pensiunan PNS, Idrus. Menurut Harjono, pengecualian pengajuan kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana diatur oleh Pasal 244 KUHAP merupakan perlindungan hak asasi manusia terhadap mereka yang haknya pernah dilanggar karena statusnya terdakwa, setelah adanya putusan pengadilan yang sah. Dengan dihilangkannya frasa “kecuali putusan bebas” Pasal 244 KUHAP, maka secara fundamental telah merobohkan sistem KUHAP, yang implikasinya akan memandulkan banyak pasal KUHAP yang lain, padahal penghilangan tersebut tidak ada dasar konstitusionalnya.

“Praktik bukanlah rujukan untuk menyatakan sebuah undang-undang bertentangan dengan UUD dan justru pengujian undang-undang seringkali dimaksudkan untuk mengoreksi praktik yang berlaku telah sesuai dengan konstitusi, oleh karenanya tidak jarang Mahkamah memutuskan dengan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) untuk mengoreksi praktik yang tidak benar tersebut dan tidak sebaliknya,” tandasnya.

Tidak Dapat Diterima

Dalam sidang pleno, MK menyatakan permohonan yang dimohonkan  Ketua STAIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi Ismail tidak dapat diterima. “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Mahfud membacakan amar Putusan Nomor 115/PUU-X/2012.

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Muhammad Alim, permohonan a quo, baik mengenai frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, dasar pengujiannya, maupun petitum yang dimohonkan oleh Pemohon, sama persis dengan permohonan Nomor 114/PUU-X/2012 yang diputus oleh Mahkamah pada tanggal 28 Maret 2013, pukul 11.40 WIB.

Alim melanjutkan semua pertimbangan dan amar putusan dalam putusan Mahkamah Nomor 114/PUU-X/2012, tanggal 28 Maret 2013 mutatis mutandis menjadi pertimbangan dan putusan pula dalam permohonan ini. “Berdasarkan Pasal 60 ayat (1) UU MK, lanjut Alim, maka permohonan a quo harus dinyatakan ne bis in idem,” tandasnya.

Sumber: Mahkamah Konstitusi

No comments:

Post a Comment