Sunday 22 April 2012

Pengadaan Tanah Hambat Operasional Migas


Yogyakarta – Sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) menghadapi persoalan pengadaan lahan/tanah yang menyangkut aspek teknis dan non teknis di lapangan. Hal ini berdampak terhadap kegiatan operasi yang menghambat upaya pencapaian produksi migas.

“Pengadaan tanah menjadi persoalan yang harus segera diselesaikan,” kata Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS), R. Priyono saat membuka Rapat Koordinasi Pertanahan BPMIGAS-KKKS 2012 di Yogyakarta, Selasa (17/4).

Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas menyatakan, pemegang hak atas tanah dan pihak yang menguasai wajib mengijinkan bidang tanahnya digunakan untuk kegiatan hulu migas.

Perundangan tersebut membutuhkan aturan yang lebih detail sebab di lapangan kerap ditemui pemilik yang tidak merelakan tanahnya. Atau, pemilik yang meminta ganti rugi yang kurang rasional.

“Mereka tidak menyadari, ganti rugi tersebut akan menjadi komponen biaya operasi yang akan mengurangi penerimaan negara,” kata Priyono.

Dia menjelaskan, UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum diharapkan memperlancar kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. UU Migas dan UU Pengadaan Tanah merupakan peraturan yang saling mendukung dan memanyungi. Harmonisasi yang lebih detail dapat dilakukan mengingat saat ini pemerintah tengah menyusun peraturan presiden yang merupakan turunan UU Pengadaan Tanah. “Sektor migas mesti memberikan rumusan yang lebih implementatif agas tidak terjadi disharmoni,” katanya.

Deputi Umum, BPMIGAS, Widjonarko menjelaskan, saat ini aset tanah di sektor hulu migas tercatat sebesar 404.000 hektar atau nilainya sekitar Rp 2 triliun. Dia mengatakan, pembebasan tanah yang dilakukan kontraktor kontrak kerja sama (KKS) menjadi aset negara, meski kegiatan eksplorasi kontraktor tersebut gagal menemukan cadangan migas yang ekonomis. “Sebagai aset negara semestinya pengadaan tanahnya didukung semua pihak, tidak dipersulit,” kata Widjonarko.

Apalagi, kata dia, pembebasan di sektor migas tidak membutuhkan lahan yang luas, ketimbang proyek-proyek infrastruktur. Saat eksplorasi, lahan yang dibutuhkan tidak lebih dari lima hektar. Lahan lebih besar dibutuhkan ketika kontraktor mulai berproduksi karena membutuhkan infrastruktur seperti pembangunan fasilitas produksi, pipa, dan lainnya. (bpmigas)

No comments:

Post a Comment