Saturday 18 December 2010

PERTAMINA EP BERPACU DENGAN PERUSAHAAN ASING

Oleh : Freddy Ilhamsyah PA

Dalam rangka untuk menyambut Hari Jadi Pertamina yang ke 53 tahun, penulis coba mengulas sekilas tentang kinerja Pertamina EP yang kini sedang berpacu dengan perusahaan migas asing untuk menjadi produsen migas teratas di Indonesia. Kini Pertamina berada di urutan kedua dalam hal memproduksi minyak dan gas bumi di negeri sendiri.

Pertamina yang dilahirkan dari bumi Langkat 53 tahun lalu, kini sudah tumbuh-berkembang menjadi Perusahaan migas terbesar milik Negara, dan bahkan sudah menjadi induk dari 21 anak perusahaannya serta mempunyai mitra kerja dengan puluhan perusahaan asing dan swasta nasional dalam ikatan kerja Joint Venture (marketing, operasi kilang LNG, Asuransi, Teknologi & Konstruksi, dll), Joint Operating Body, dan Technical Assistance Contract.

PT Pertamina EP yang merupakan salah satu dari tiga anak perusahaan PT Pertamina (Persero) yang bergerak dibidang ekplorasi & produksi migas, kini memikul tugas teramat berat yang dibebankan oleh induknya dan negera untuk meningkatkan produksi minyak dan gas bumi. Kenapa penulis katakan berat ? Karena kini Pertamina bukan lagi pemain tunggal dalam kegiatan usaha hulu migas di dalam negeri. Ladang-ladang migas di bumi nusantara tercinta ini sudah dibagi-bagikan kepada perusahaan migas asing seperti Chevron, Total E&P, ConocoPhillips, Exxon Mobil, Petro China, British Petroleum, Inpex Corp, Petronas, dan lain sebagainya, sejalan dengan diberlakukannya UU Migas No.22 tahun 2001.

Begitu diberlakukannya UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, “jantung” Pertamina EP mulai dag dig dug untuk bersaing dengan perusahaan migas manca negara di dalam negeri sendiri. Pasalnya, selain rivalnya memiliki segudang ilmu permigasan yang mutakhir, Pertamina sendiri hanya kebagian “kue basi” alias ladang-ladang migas tua (brown field) peninggalan WKP induk semangnya yang sudah dikuras habis-habisan oleh agresor Belanda (BPM/SHELL) dan Jepang. Pertamina EP kini dipaksakan atau terpaksa hanya mengais-gais di areal brown field di negeri sendiri. Ironis memang. Tetapi itulah konsekuensi dari lahirnya UU Migas No.22 Tahun 2001 yang dibuat oleh bangsa sendiri yang telah mengebiri Pertamina, entah atas penekanan siapa dan negara mana.

Dengan kondisi demikian, bagaimana Pertamina EP dapat menjadi produsen minyak terbesar di dalam negeri sendiri kalau BUMN itu hanya mengais-gais di ladang-ladang tua yang sudah tidak subur. Mau beroperasi di ladang baru, saingan cukup berat dari perusahaan migas manca negara yang diproteksi oleh negara adidaya. Lahan-lahan sumbur yang belum tersentuh oleh Belanda dan Jepang di masa lalu, kini sudah digarap oleh perusahaan asing.

Pertamina EP kini hanya mengintai, kapan ladang-ladang sumur migas yang dikelola perusahaan asing itu berakhir masa kontraknya. Kalau kontrak itu berakhir, Pertamina EP bermasud hendak mengais-gais ladang migas bekas perusahaan asing tersebut.

Mengingat bahwa sumber migas di dalam negeri sudah tidak dapat diharapkan lagi oleh Pertamina, maka perusahaan plat merah itu mulai melakukan ekspansi kegiatan hulu migas ke luar negeri seperti Australia, Malaysia, Vietnam, Irak, Sudan, Qatar dan Libya. Apa boleh buat ! Sebab Pertamina sejak awal dibentuk pada 10 Desember 1957 telah mengemban tugas mulia dari negara untuk memenuhi kebutuh energi fosil (BBM dan Gas) bagi rakyat dan bangsa Indonesia yang telah ditargetkan produksinya harus mencapai 1 juta boepd (barrel oil equivalent per day) pada tahun 2015. Apakah mungkin ? Itu terpulang kepada para tenaga ahli permigasan di Pertamina untuk membuktikan kepiawaiannya dalam hal mengangkat minyak dan gas dari kandungan perut bumi, baik di negara sendiri maupun di luar negeri.

Satu hal yang sangat disayangkan, ketika produksi migas Indonesia secara nasional mencapai puncak gemilangnya pada tahun 1977 dengan jumlah produksi sebesar 1,5 juta barel per hari, bangsa kita khususnya para orang minyak (Pertamina) terbuai dengan petro dollar yang mengalir deras dari “emas hitam” ke kocek negara. Mereka terkesan terlena dan tidak menggubriskan peringatan yang disampaikan oleh Profesor Johanes, bahwa minyak yang dikandung perut bumi Indonesia akan tekuras habis pada 50 tahun mendatang. Artinya, dia mengingatkan bahwa dalam kurun waktu itu Indonesia akan menjadi negara net oil importer, bukan lagi negara pengekspor minyak. Ungkap Profesor Johanes sekitar tahun 1980-an kini sudah terbukti. Indonesia akhirnya keluar dari OPEC !

Keputusan pemerintah Indonesia keluar dari OPEC seakan-akan sebuah penghematan luar biasa. Sebagaimana dikutip Antara (29/5’08), Meneg PPN/Kepala Bappenas, Paskah Suzeta menyatakan dengan keluarnya Indonesia dari OPEC maka negara dapat menghemat biaya sebesar US $2 juta. Bahkan katanya bayar iuran OPEC mahal.

Ungkapan tersebut terkesan mau mencari pembenaran tanpa mau mengakui bahwa Indonesia memang pantas keluar dari OPEC karena kini sudah tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak, maka iuran OPEC dianggap mahal, dulu tidak mahal.
Terus terang, penulis merasa bangga terhadap Pertamina karena dari ladang-ladang tua yang tersebar di seluruh Indonesia, Pertamina EP pada tahun 2009 masih mampu menggumpulkan minyak bumi sebesar 38.296.582 barrel dan gas 316.655,19 MMSCF atau 867,54 MMSCFD, walaupun angka tersebut melorot bila dibandingkan angka tahun 2008 yang berjumlah 42.683.177 barrel untuk minyak, dan 366.880,67 (WP no.11/2010) atau 1.005 MMSCFD untuk gas. Namun pada semester pertama tahun 2010, angka produksi gasnya melejit menjadi 1.050 MMSCFD. Kini Pertamina EP menjadi produsen gas terbesar kedua di Indonesia (MP no.47/2010) termasuk produksi minyak mentah sebesar 131 ribu BOPD status per Agustus 2010 (MP no.45/2010).

Sekarang apa kabar dengan kinerja lifting minyak dan gas bumi yang terdapat di wilayah kerja PT Pertamina EP Pangkalan Susu ? Bila dilihat dari angka lifting gas dari tahun 2008 sampai tahun 2010 jelas tergambar grafik kemerosotan yang cukup memprihatin, demikian juga dengan angka lifting minyak mentah.

Sebagai contoh, pada tahun 2008 walaupun angka liftingnya terjadi fluktuatif, tapi angka akhirnya masih mengembirakan, yaitu sekitar 11.700 MMSCF. Beda dengan tahun 2009, angka liftingnya terus merosot dari bulan ke bulan. Mulai kepala angka 8 di Januari melorot menjadi angka 6 di akhir tahun bertotal sekitar 8.915 MMSCF, dan pada tahun 2010 angka liftingnya menjadi sekitar 5.500 MMSCF (status per November).

Bagaimana pula dengan angka lifting minyak mentah (crude oil) ? Setalen tiga uang dengan angka lifting gas, melorot terus dari sekitar 212.288 barel di tahun 2008 menjadi 119.249 barel (own production) di tahun 2009. Namun bila ditambahkan dengan produksi yang dihasilkan oleh TAC Pertamina-Eksindo Telaga Said Darat dan PT Maruta Bumi Prima, maka angkanya menjadi 286.786 barel di tahun 2008. Sedangkan angka 119.249 di tahun 2009 menjadi 194.617 barel bila digabung dengan angka perolehan dari mitra usaha Pertamina EP Pangkalan Susu.

Sementara sampai November 2010, angkanya mulai membaik, dan sudah mencatat angka 139.799 barel untuk own production yang bila ditambah dengan hasil dari mitra usaha jumlahnya menjadi 176.542 barel. Diharapkan tangan dingin Sigit yang baru beberapa bulan menjabat sebagai Field Manager PT Pertamina EP Pangkalan Susu angka lifting minyak menjadi 200 ribuan barel sampai akhir tahun 2010. Semoga harapan tersebut dapat terwujud jadi kenyataan.

Dirgahayu Pertamina. Bhakti sucimu akan dikenang oleh anak bangsa.

NB.: Sudah terbit di Mingguan PRESTASI Medan edisi minggu ke-III

No comments:

Post a Comment