Tuesday 10 August 2010

Mengenang 125 Tahun (15 Juni 1885 – 2010) kegiatan Perminyakan di Langkat :

DARI PUING-PUING BESI TUA DI PANGKALAN BRANDAN MENJADI GEDUNG PENCAKAR LANGIT DI JAKARTA

Oleh Freddy Ilhamsyah PA

Tanpa terasa sudah 125 tahun lamanya kegiatan industri dan pertambangan minyak berkiprah di Indonesia yang bedug oleh A.J. Zijlker dkk dari sumur Telaga Tunggal I di struktur Telaga Said, Langkat Sumatera Utara pada 15 Juni 1885 yang kemudian dilanjutkan oleh Permina (baca Pertamina) hingga saat ini. Untuk mengetahui kondisi kegiatan perminyakan di Sumatera Utara dewasa ini, baca terus tulisan ini.

Pertamina yang kini memiliki gedung pencakar langit di jalan Perwira No. 1 Jakarta Pusat, dan sudah pula mampu berlalangbuana ke manca Negara untuk melakukan kegiatan hulu migas seperti di Malaysia, Vietnam, Irak, Qatar, Libya dan Sudan serta melakukan perdagangan/pemasaran BBM dan Oil Zipex di Timor Leste, Papua New Guinea, Singapura, Pakistan dan Uni Emirat Arab, sehingga Pertamina tercatat sebagai BUMN handalan dalam hal mengumpul devisa untuk kelangsungan pembangunan nasional dan kemakmuran bangsa serta rakyat Indonesia, berawal dari embrio puing-puing besi tua sisa Perang Dunia II di Pangkalan Brandan.

Adalah dokter Ibnu Sutowo, putra kelahiran Grobogan, Jawa Timur pada 23 September 1913 yang membidani lahirnya Pertamina dari rongsokan puing-puing besi tua yang berserakan di Pangkalan Brandan, Pangkalansusu di Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara, dan material eks kilang BBM di Pangkalan Brandan yang sudah “dilarikan” ke Medan sebagai besi tua oleh orang-orang yang ingin mengeruk keuntungan untuk diri pribadinya.

Dengan berbekal rasa percaya diri, nekad dan berkemauan keras untuk belajar sambil kerja dan bekerja sambil belajar, dokter medicine yang berpangkat Kolonel mendapat perintah dari KASAD ( Kepala Staf Angkatan Darat ) Jenderal Abdul Haris Nasution untuk merehabilitasi lapangan minyak berikut kilang BBM di Pangkalan Brandan dan Pangkalansusu.

“ Saya tidak tahu harus bagaimana. Saya inikan militer. Disuruh bikin perusahaan minyak, itukan gila,” kata founding father Pertamina kepada pewawancara dari majalah Warta Pertamina, Muhammad Gurila Tan dan Nandang Suherlan pada 23 September 2000 lalu.

Sementara menurut pengakuan Ibnu Sutowo ketika menyampaikan ceramah di IKIP ( Institut Keguruan dan Ilmu Pengetahuan ), Bandung, 14 Maret 1972, pada saat melaksanakan rehabilitasi industri perminyakan di Pangkalan Brandan, Ibnu Sutowo dan rekan-rekannya termasuk Letkol J.M. Pattiasina dengan beberapa anggota pasukan DEN X Sriwijaya, sama sekali “buta huruf” tentang ukuran minyak. Apa lagi ketika itu tidak ada satupun insinyur di Pertamina (1957). Akan tetapi berkat adanya dukungan dari beberapa pekerja mantan pegawai BPM/Shell dan Sayutai, akhirnya Ibnu Sutowo dkk berhasil mendirikan Pertamina dari rongsokan puing-puing besi tua sisa Perang Dunia II.

Dengan modal dari hasil penjualan 3000 ton minyak mentah ke Jepang dengan nilai US$ 42.000,- ditambah kredit dari Kobayashi Group Jepang sebesar US$ 53 juta dalam bentuk peralatan, mesin, material, dan bantuan teknik kepada Permina dalam jangka waktu sepuluh tahun, dan Permina akan membayarnya dalam bentuk minyak.

Pada waktu itu, persetujuan barter tersebut dianggap bertentangan dengan kebijakan Jepang yang hanya mengizinkan persetujuan secara terbuka. Untuk memperoleh persetujuan tersebut, A. Kobayashi, Industrialis senior Jepang, mendekati Perdana Menteri Jepang pada masa itu, N. Kishi, dan agar kontrak Kobayashi dengan Permina dapat berjalan dengan mulus, maka Kobayashi Grup mendirikan perusahaan baru bernama Nosodeco (North Sumatera Oil Development Cooperation Co., Ltd. yang berkantor di Jakarta.

Setelah kontrak yang ditandatangani pada tanggal 7 April 1960 berjalan mulus, Nosodeco mengirim kelompok penasehat teknis ke Pangkalan Brandan. Kontrak pertama kemudian diperpanjang dan pembayaran terakhir dilakukan pada akhr tahun 1970. Direktur Pelaksana Nosodeco, S. Nishijima yang merintis sehingga kontrak tersebut dapat membuahkan hasil.

Selain Ibnu Sutowo juga tercatat nama Mayor J.M. Pattiasina yang telah diangkat sebagai Direktur Teknik & Eksploitasi PT Permina (Perseroan Terbatas Perusahaan Minyak Nasional), dan beliau yang mendirikan kantor pusat PT Permina di Pangkalan Brandan bersama rekanan setempat, yaitu Hasan (Perak) Basri, ayah kandung H. Syamsul Arifin, SE yang kini menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara. Hasan Perak mempunyai andil besar dalam pelaksanaan pembangunan proyek rehabilitasi industri Perminyakan di Pangkalan Brandan.

Ketika Pattiasina diangkat sebagai Direktur Pelaksana, dia menyadari harus memecahkan beberapa masalah sebelum melaksanakan rehabilitasi kilang BBM dan segala fasilitas pendukungnya di Pangkalan Brandan dan Pangkalansusu untuk memperlancar kegiatan operasionalnya.

Masalah yang paling mendesak untuk diatasi pada masa itu ialah ketegangan situasi militer yang sedang berkecamuk di Sumatera Utara dan Aceh akibat adanya pergerakan pasukan DI dan PRRI yang punya pendukung di kalangan pekerja minyak.

Sejak kehadirannya di Pangkalan Brandan pada April 1958, selain menguji pengaruh DI dan PRRI dengan cara memotong garis suplainya yang ketika itu masih mendapat jatah minyak, Pattiasina juga melakukan strategi pendekatan langsung dengan pasukan DI dan PRRI sebagai upaya meraih dukungan dari kedua pasukan tersebut agar usaha perbaikan dan pengembangan lapangan minyak serta perbaikan kilang BBM dapat berjalan lancar dan aman.

Masalah kedua, yaitu menyangkut perasaan bermusuhan yang telah tertanam di kalangan kelompok kaum buruh kiri (Perbum = Persatuan Buruh Minyak) yang tumbuh subur di era terbentuk TMSU (Tambang Minyak Sumatera Utara)  di Pangkalan Brandan. Pattiasina melarang organisasi serikat buruh onderbow PKI tersebut, dan mengambilalih kantor pusat Perbum yang dibangun di dalam kompleks Permina di Pangkalan Brandan yang merupakan fasilitas terbaik yang pernah dibangun di kompleks TSMU. Sejalan dengan itu Pattiasina juga menggusur anggota Perbum yang menduduki jabatan pimpinan, dan memecat orang yang diketahui menentang kebijakannya dengan tujuan untuk mempersempit pengaruh Perbum di Permina.

Tindakan tegas Pattiasina menyingkirkan orang-orang komunis ternyata membuahkan hasil. Pegawai Permina yang tadinya terpecahbelah telah menyatukan diri termasuk mantan pasukan DI dan PRRI yang anti komunis ke dalam tim yang dipimpin oleh Pattiasina dengan dukungan ratusan pasukan DEN X Sriwijaya.



Permina kesulitan material dan dana untuk bayar gaji

Pada masa merehabilitasi kilang BBM dan lapangan minyak, Pattiasina sedikit mengalami kesulitan karena tidak adanya peralatan dan material, sehingga mereka hanya meneruskan perbaikan saluran pipa minyak dari Rantau ke Pangkalansusu, rehabilitasi tangki penimbun dan fasilitas pelabuhan di Pangkalansusu.

Setelah pekerjaan tersebut dapat diselesaikan, maka Pattiasina dkk mulai kesulitan untuk membayar gaji pegawainya, maka dia ngebut untuk melakukan perbaikan kilang BBM di Pangkalan Brandan dari rongsokan besi tua yang berhasil diambil kembali dari tempat penyimpan besi tua yang ditimbun oleh pengusaha besi tua agar dapat menghasilkan bensin dan minyak tanah untuk dijual di pasaran lokal, dan hasilnya untuk membayar gaji pegawai.

Dari tempat penimbunan besi tua di jalan Binjai arah ke Medan, Pattiasina berhasil menyita beberapa peralatan seperti piston, pipa, kopling, plat baja dan mesin-mesin bekas lapangan minyak yang sebagian besar kondisinya masih baik. Sekalipun dasar hukum dari penyitaan tersebut dipertanyakan, tapi pada masa itu sedikit sekali orang di Sumatera Utara yang berani menentang Pattiasina yang berpendirian bahwa material tersebut adalah milik negara yang diserahkan kepada Permina dan tidak boleh diperjualbelikan.

Akhirnya kilang BBM di Pangkalan Brandan dapat berjalan dan menghasilkan bensin dan minyak tanah dalam jumlah terbatas. Untuk meningkatkan produksi BBM, Permina mengalami kesulitan dana karena uang yang diperoleh dari hasil penjualan minyak secara lokal tidak dapat diharapkan hasilnya untuk mengenjot tingkat produksi BBM. Mau tidak mau Permina harus mencari dana/pinjaman dari luar negeri karena pemerintah sendiri ketika itu masih membutuh rupiah untuk membangun Indonesia secara umum.

Atas dasar itu, maka terjadilah akad kredit berdasarkan ketentuan “pembagian hasil”, dan ini merupakan awal diberlakukannya Kontrak Bagi Hasil atau Kontrak Production Sharing (KPS) yang pertama di Indonesia, dan kemudian menjadi “proyek percontohan” bagi kegiatan usaha industri permigasan di manca negara.

Berkat kerja keras yang dilakukan oleh seorang dokter medicine dibantu Mayor Pattiasina dkk akhirnya produksi minyak mentah Permina terus meningkat dari tahun ke tahun. Contohnya, pada tahun 1966 produksinya tercatat sebesar 469.000 barrels/hari dapat ditingkatkan menjadi 510.000 barrels/hari di tahun 1967, dan terus meningkat menjadi 600.000 barrels di tahun 1968 sampai hampir 1,2 juta barrels/hari di tahun 1972.

Sedangkan kontribusi dari sektor minyak dan gas bumi untuk penerimaan dalam negeri pada APBN terus meningkat dari Pelita I sampai Pelita V. Contohnya, kontribusi migas pada Pelita I tercatat sebesar Rp, 0,775 triliun. Pada Pelita II naik menjadi Rp 8.002 triliun, dan naik lagi menjadi Rp 39.170 triliun di Pelita III, dan terus naik menjadi Rp 49.676 triliun di Pelita IV dan Rp 74.023 triliun di Pelita V.

Sementara laba bersih Pertamina pada masa itu - setelah menyisihkan untuk pemerintah - secara konsoldasi ( termasuk LHG dan anak perusahaan ) pada tahun akhir PJP-I  ( Pembangunan Jangka Panjang I ) mencapai Rp 540 miliar dan terus meningkat menjadi sebesar Rp 1,323 triliun dalam Tahun Fiskal 1996/1967.

Ketika reformasi digulirkan di lingkungan Pertamina, laba Pertamina sebelum bagian pemerintah tercatat sebesar Rp 10,55 triliun, naik 16,83% dibanding dengan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 9,03 triliun. Bagian pemerintah yang dapat disetorkan dari laba tersebut adalah sebesar Rp 6,03 triliun, naik 15,30% dari tahun lalu yang sebesar  Rp 5,23 triliun. Sedangkan laporan keuangan konsolidasi Pertamina Tahun Buku 2001 ditutup dengan total aset sebesar Rp 96,89 triliun.

Data  tersebut di atas disampaikan Ridwan Nyak Baik ketika itu berbicara atas nama Manajer Hupmas Pertamina Pusat saat menyampaikan bantahan atas pernyataan Koordinator Sektor Energi & Transportasi Bank Dunia, David M. Hawes yang menyatakan tentang tidak efisiennya operasi Pertamina dalam wawancaranya pada tahun 2003 lalu dengan salah satu tabloit terbitan Jakarta.

Sedangkan pada tahun 2003 laba bersih Pertamina tercatat sebesar Rp 4,5 triliun, dan naik lagi menjadi Rp 8,9 triliun di tahun 2004. Angka kenaikan tersebut terjadi peningkatan dari Rp 11,3 triliun di tahun 2005 berubah menjadi Rp 19,2 triliun di tahun 2006, dan terus meroket hingga menebus angka spektakuler Rp 30,2 triliun di tahun 2008 mengalahkan laba bersih di tahun 2007 yang hanya tercatat sebesar Rp 24,4 triliun. Sumber : Media Pertamina edisi No.31 Tahun XLV/3/8/2009.

Sementara kinerja Pertamina Baru telah bangkit kembali dari keterpurukan akibat terimbas krisis global sehingga Pertamina “tersingkir” dari keanggotaan OPEC. Untuk sektor hulu dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini telah mengalami peningkatan produksi yang signifikan. Produksi minyak Pertamina mengalami peningkatan dari sebesar 143 ribu barrels per hari di tahun 2007 meningkat menjadi 150 ribu barrels per hari pada tahun 2008, dan terus terus menanjak ke angka 176 ribu barrels per hari di tahun 2009. Sedangkan produksi gas juga mengalami peningkatan dari 1.114 juta kaki kubik per hari di tahun 2007 naik menjadi sebesar 1.166 juta kaki kubik per hari di tahun 2008, dan naik lagi menjadi menjadi 1.378 juta kaki kubik per hari di tahun 2009. Sumber data : Keterangan Direktur Hulu, Bagus Setiadja - Media Pertamina edisi No.10/XLVI/8 Maret 2010 hal. 11.

Untuk tahun 2010, Dirut Pertamina Karen Agustiawan merasa optimis bahwa Pertamina dapat meraup laba sebesar Rp 25 triliun sesuai target dengan investasi sebesar 44 triliun rupiah pada tahun 2010. Hal ini disampaikan Karen saat Town Hall Meeting Direktorat Hulu di Kantor Pusat Pertamina EP Jakarta, Rabu (24/2). Dia juga mengatakan, hingga saat ini, tulang punggung Pertamina masih berada di sektor hulu (Pertamina EP, pen.).



Masa gemilang Pertamina EP Pangkalan Susu mulai pudar

Berbicara secara nasional memang harus diakui bahwa produksi minyak mentah Pertamina terus meningkat dari tahun ke tahun. Akan tetapi bagaimana dengan tingkat produksi minyak yang dihasilkan oleh PT Pertamina EP Field Pangkalan Susu yang melakukan kegiatan operasionalnya di Provinsi Sumatera Utara ?

Pada awal berdirinya perusahaan Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU) di Pangkalan Brandan pasca Indonesia menerima sepenuhnya kedaulatan berdirinya Negara Republik Indonesia, dan lepas dari cengkeraman penjajahan Belanda, produksi minyak bumi di Sumatera Utara masih terseok-seok seperti yang sudah dijelaskan pada tulisan terdahulu.

Dengan modal nekad dan berkemauan untuk kerja sambil belajar, Kolonel dr. Ibnu Sutowo dan kawan-kawannya yang tidak paham dengan dunia perminyakan mendapat perintah dari KASAD Jenderal Abdul Haris Nasution untuk merehabilitasi kilang BBM di Pangkalan Brandan dan ladang-ladang minyak yang terdapat di wilayah Teluk Haru.

Dari empat wilayah operasionalnya, yaitu Medan, Binjai, Deli Serdang dan Langkat, Medan sudah tersingkir sebagai daerah penghasil migas karena struktur Polonia-I dan Polonia-II tidak mampu lagi untuk menghasilkan migas.

Dewasa ini produksi minyak bumi Pertamina EP Pangkalansusu sudah anjlok sampai ke titik rawan di bawah angka produksi pada tahun 1958 yang tercatat sebesar 467,4 BOPD.  Kini (2009) produksi Pertamina EP (own production) hanya tinggal sekitar 326,7 BOPD. Angka ini masih jauh berada di bawah angka produksi tahun 2005 (1.324,8 BOPD).

Bila kita melihat angka produksi minyak di Sumatera Utara sejak tahun 1958 sampai 2009 atau selama 52 tahun pasca berdirinya Permina (baca Pertamina) di tahun 1957, dan bila dibagi tiga, maka produksi puncak minyak bumi dari tahun 1958 sampai tahun 1974 terjadi pada tahun 1962 dengan angka 5.032,2 BOPD.

Sedangkan dalam kurun waktu tahun 1975 sampai 1991 puncak produksinya terjadi pada tahun 1978 yaitu sebesar 7.543,8 BOPD. Selanjutnya dari tahun 1992 sampai tahun 2009 tercatat tahun 2005 sebagai jagoannya yang masih mampu memproduksikan minyak sebesar 1.324 BOPD (Barrels Oil Per Day = barel/hari).

Bagaimana nasib kegiatan perminyakan di Sumatera Utara yang sudah dikelola sejak tahun 1885 sampai tahun 1942 oleh Belanda (BPM/SHELL), dan dari tahun 1942 sampai tahun 1945 oleh Jepang, serta dari pasca kekalahan Jepang sampai era PT Pertamina (Persero) dipimpin oleh Karen Agustiawan, apakah para generasi mudanya PT Pertamina EP Field Pangkalansusu mampu untuk mendongkrak atau paling tidak tetap mempertahankan angka produksi migas pada kisaran 500 sd 600 BOPD ?

Bila ditinjau dari segi teknis, lapangan-lapangan tua migas (brown field/mature field) yang berada di daratan Provinsi Sumatera Utara sangat sulit untuk dikembangkan, walaupun memakai system EOR (Enhanced Oil Recovery).



Permasalahannya

Walaupun beberapa upaya telah dilaksanakan sejak tahun 2005 sampai saat ini perusahaan plat merah itu belum mampu mendongkrak tingkat produksinya karena ada selisih sasaran produksi awal tahun 2008 terhadap realisasi produksi minyak pada bulan Desember 2007 cukup besar (320 barrels) akibat gagalnya hasil bor sumur GBG-OZ1/57 dan mundurnya jadwal bor sumur PTB-GC3 (RK-2007).-   Decline produksi eksisting yang cukup tajam (18 – 20 %). Penurunan alamiah sumur-sumur eksisting handalan GBG-52 (50 - 60 bbl),  GBG-53 (30 – 50 bbl), WMP-07 (10 – 20 bbl)  GBG-52 dan GBG-53.

-   Penurunan alamiah secara merata dari sumur-sumur eksisting low pressure di struktur Gebang dan Paluh Tabuhan Timur.

-   Meningkatnya kadar air sumur-sumur gas di struktur PPT (Pantai Pakam Timur) dan struktur Gebang.

-   Sumur dengan karakteristik HPHT dan dalam (Wampu dan PPT) membutuhkan rig yang berkapasitas besar untuk pekerjaan perawatan.

-   Terjadi well problem (fish) akibat scale di struktur Wampu dan PPT (Pantai Pakam Timur) sehingga sumur tidak berhasil diproduksikan (WMP-06 dan PPT-02).

-   Tekanan injeksi gas lift yang terus menurun, dan belum stabilnya penerimaan minyak yang dikirim/dialirkan melalui pipa 6” dari SP Gebang ke PPP (Terdapat net oil mengisi pipa). Penerimaan kondensat Maruta yang cenderung menurun (karena feeding gas turun).

Upaya yang telah dilakukan untuk pencapaian produksi antara lain :

  • Diproduksikan kembali ke SP-III melalui flow line karena ada pekerjaan reparasi sumur GBG 54, di lokasi Test Unit (terjadi penurunan produksi karena back pressure).



  • Melakukan redesign katub gas lift di sumur-sumur yang low melalui perencanaan alternative lifting sbb.:


-   ESP untuk sumur di struktur Pulau Panjang.

-   SRP untuk di PT-05, PT-10 dan GBG-53.

-   Relokasi SRP ke sumur yang lebih potensial (ARB-02).

-   Ujicoba teknologi Cappillary String untuk sumur gas kadar tinggi.

-  Ujicoba teknologi Clear Well untuk sumur gas dengan scale  problem (pilot project WMP-07).

  • Pemboran pengembangan sumur Gas di Struktur PPT, Wampu, PTB yang memberikan hasil Gas dan Kondensat dan Pemboran Pengembangan Minyak di struktur Gebang yang tidak berhasil memberikan produksi akibat perubahan facies.



  • Pemboran Eksplorasi Gas di Prospek Sembilan Tenggara Dalam tidak berhasil memberikan Tambahan cadangan maupun produksi dan hanya memberikan indikasi gas lemah pada beberapa lapisan.



  • Kerja Ulang Pindah Lapisan Minyak dan Gas di struktur Gebang , Pulau Panjang, Paluh Tabuhan Timur, Paluh Tabuhan Barat dan strukturArubay.



  • Reparasi pada beberapa sumur minyak dan gas di struktur PTT, Gebang, PPJ, PPT dan Wampu.



  • Melakukan redesign gas lift secara aktif dan kontinyu di sumur-sumur yang low production dan merencanakan konversi lifting.



  • Uji coba teknologi capillary string untuk sumur-sumur Gas dengan karakteristik ‘high water production’ .



  • Uji coba teknologi clear well untuk sumur gas dengan karakteristik ‘scale problem’ (pilot project sumur WMP-07).


Sementara dari data yang ada pada penulis, dapat diketahui, selain hal di atas masih ada beberapa permasalahan yang menghambat kenaikan tingkat produksi di WKP (Wilayah Kerja Pertambangan) PT Pertamina EP Field Pangkalansusu, yaitu masalah di sub-surface dan sumur, antara lain  :

Ssub-surface

  • Data sub-surface seperti peta, data log sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi reservoir.



  • Reservoir umumnya sudah depleted dengan kadar air tinggi dan problem kepasiran.



  • Hilangnya data produksi khususnya sumur-sumur yang berproduksi pada Periode pengelolaan Belanda.



  • High Pressure High Temperature , Scale Problem, Korosif dan ‘High water Production’ di Struktur Wampu dan Pantai Pakam Timur.



  • Water Block pada struktur Pantai Pakam Timur Dan Gebang.



  • Tight Reservoir di Struktur Paluh Tabuhan Barat, Pantai Pakam Timur dab Wampu.


Masalah sumur

  • Lokasi sumur saling berjauhan antara satu struktur dengan struktur lainnya, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pergerakan rig.



  • Lokasi sumur di struktur Paluh Tabuhan Barat berada di lingkungan rawa-rawa, sehingga membutuhkan angkutan laut untuk pergerakan rig.



  • Kondisi Sumur tua umumnya : ‘casing collapse’, ‘casing leak’ dan ‘fish’.



  • Lifting sumur minyak masih mengandalkan gas lift (tekanan jaringan dan supply gas injeksi semakin turun) sehingga tidak dapat berproduksi secara optimal.


Kondisi ini perlu disadari oleh generasi penerus Pertamina EP di daerah ini. Sebab apabila kondisi itu tidak dapat di atas, maka kemungkinan besar isu yang beredar akan jadi kenyataan.

Menurut prediksi penulis, kemungkinan besar Field Pangkalansusu akan berada di bawah naungan PT Pertamina EP Field Rantau - Aceh Tamiang yang saat ini sedang “booming” minyak. Jabatan Field Manager Pertamina EP Pangkalansusu dihapus, apalagi Ast. Manager dan jabatan Ka. Fungsi lainnya. Namun demikian penulis berharap kepada generasi Pertamina EP Field Pangkalansusu supaya jangan cepat berputus asa, Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang terhadap umatnya yang membutuhkan energi. Kalau tidak ada di darat, cari di laut. Laut Sumatera Utara masih luas. Orang luar (Salamander/Glagah Kambuna) bisa  mendapatkan migas di perairan laut Sumatera Utara, mengapa Pertamina tidak bisa ?

Ingat mimpi Dirut Pertamina (Persero), Karen Agustiawan yang ingin mengusung Pertamina menjadi perusahaan nomor satu di Indonesia pada tahun 2013. Waktunya tinggal 2½ tahun lagi. Apakah mungkin dapat terwujud ? Jawabannya terpulang pada orang Pertamina sendiri.

“ Saya yakin itu bisa dicapai, sebab di Pertamina banyak pekerja yang memiliki kemampuan tinggi, namun ibarat mutiara, masih tidak terlihat karena tertutup debu dan pasir. Saya ingin mereka muncul dan menjadi leader yang hebat ke depan,” kata Karen Agustiawan seperti yang dikutip majalah Warta Pertamina edisi No.8/Thn XCIV/8/2009.

Pangkalansusu, 05 Juni 2010

Keterangan singkatan :

Penulis adalah peminat masalah perminyakan, tinggal di Pangkalansusu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

1 comment:

  1. Pattiasina sejak thn 1935 sdh kerja di BPM perminyakan Belanda. Jadi beliau lah yg mengerti untuk membangun perminyakan di indonesia

    ReplyDelete