Thursday 12 July 2018

Jaminan Kesehatan Semesta Sudah di Depan Mata Tapi Puskesmas Sering Kehabisan Obat

[caption id="attachment_1159" align="aligncenter" width="590"] Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan, Andayani Budi Lestari, dalam Public Expose dengan tema ”Jaminan Kesehatan Semesta Sudah Di Depan Mata” Selasa, (02/01/2018). Foto Humas BPJS[/caption]

Jaminan Kesehatan Semesta Sudah di Depan Mata Tapi Puskesmas Sering Kehabisan Obat

Oleh Freddy Ilhamsyah PA

Pendahuluan

Program Jaminan Kesehatan Semesta digagas dengan tujuan agar masyarakat atau rakyat Indonesia terjamin kesehatannya kini sudah berada di depan mata, begitu dikabarkan dalam situs web resmi BPJS https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/post/read/2018/639/Jaminan-Kesehatan-Semesta-sudah-di-Depan-Mata  oleh Humas BPJS.

Alangkah terhibur dan tersentuhnya hati penulis dan mungkin juga masyarakat Indonesia lainnya saat membaca berita yang dipublikasikan oleh pihak BPJS pada 02 Januari2018, apalagi ketika Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu juga sudah mengeluarkan instruksi khusus yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Inpres ini menginstruksikan kepada 11 pimpinan lembaga negara untuk mengambil langkah sesuai kewenangannya dalam rangka menjamin keberlangsungan dan peningkatan kualitas Program JKN-KIS. Dari 11 pimpinan lembaga negara itu terdiri dari Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, Menteri BUMN, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Direksi BPJS Kesehatan, Gubernur, Bupati dan Walikota.

Lebih lanjut ditulis, Presiden menekankan kepada Gubernur untuk meningkatkan pembinaan dan pengawasan kepada Bupati dan Walikota dalam melaksanakan JKN; mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan JKN; memastikan Bupati dan Walikota mengalokasikan anggaran serupa, dan mendaftarkan seluruh penduduknya sebagai peserta JKN; menyediakan sarana dan prasarana, serta SDM kesehatan di wilayahnya; memastikan BUMD mendaftarkan pengurus dan pekerja serta anggota keluarganya dalam program JKN sekaligus pembayaran iurannya. Selain itu Gubernur diinstruksikan untuk memberikan sanksi administratif berupa tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu kepada pemberi kerja yang tidak patuh dalam pendaftaran dan pembayaran iuran JKN.

Setelah membaca tulisan tersebut di atas termasuk artikel berjudul “Jumlah Lansia Sehat Harus Meningkat” di situs web resmi  Kementerian Kesehatan yang dipublikasikan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan, hati penulis jadi “berbunga-bunga” karena di dalam tulisan itu disebutkan, keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia berdampak terhadap terjadinya penurunan angka kelahiran, angka kesakitan, dan angka kematian serta peningkatan umur harapan hidup (UHH). Salah satu konsekuensinya, sejak tahun 2010 terjadi peningkatan jumlah penduduk lanjut usia (lansia).

Tepatnya, data Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan UHH saat lahir dari 69,8 tahun pada tahun 2010 menjadi 70,9 tahun pada tahun 2017 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 72,4 pada tahun 2035 mendatang. Inilah yang disebut transisi menuju struktur penduduk tua (ageing population).

Selain itu di dalam tulisan itu juga disebutkan bahwa hingga tahun 2017, terdapat sekitar 37,1% Puskesmas (3.654 Puskesmas dari 9.754 Puskesmas) yang telah menyelenggarakan pelayanan kesehatan Santun Lansia dan sudah mempunyai 80.353 Posyandu Lansia/Posbindu.

Kepedulian terhadap kesehatan lansia, menurut Menkes Prof. dr.Nila Moeloek,Sp.M(K), merupakan perwujudan memberikan jangkauan pelayanan lebih luas serta mewujudkan hak atas kesehatan bagi semua; sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Tujuannya supaya lansia tetap sehat, bugar, dan berdaya melalui pendekatan Siklus Kehidupan (continuum of care) yang dimulai sejak masa prahamil, hamil, bersalin dan nifas, bayi, balita, remaja, usia produktif, pra lansia, dan lansia.

“Di setiap tahapan siklus kehidupan, ada intervensi kesehatan yang harus diberikan untuk mewujudkan lansia yang berkualitas,” urai Menkes.

Sementara itu Dimas Surya Madala selaku perwakilan dari BPJS Kesehatan ketika menggelar sosialisasi tentang kesehatan dan pelayanan BPJS saat pelaksanaan Reses II Tahun 2018 DPRD Medan di jalan Air Bersih, Kelurahan Sudirejo I, Kecamatan Medan Kota pada Sabtu (7/7-2018) antara lain menyatakan, pihak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menjamin akan membiayai perawatan pasien sampai sehat. Karena itu, pasien diimbau jangan mau bila diminta pihak Rumah Sakit (RS) untuk pulang sebelum penyakitnya sembuh. (Waspada 9/7-2018).

Hal tersebut di atas diakui oleh Dimas bahwa pihaknya sangat sering mendengar keluhan dari masyarakat tentang pelayanan di RS, diantaranya pihak RS memulangkan pasien yang sudah dirawat tiga hari, sementara penyakitnya belum sembuh. Kemudian pasien diminta kembali lagi dua hari atau tiga kemudian. Tidak ada peraturan seperti itu, masih menurut Dimas, artinya tidak ada batasan waktu perawatan di RS.

Ke depan, kata Dimas, bila masyarakat mengalami peristiwa seperti itu disarankan untuk menghubungi petugas BPJS yang ada di RS tersebut. Bila tidak ada, pasien bisa menghubungi call center untuk meminta penjelasan. “Memang kita akui ada saja RS yang nakal. Dan kita (BPJS) sudah pernah memutus kerjasama dengan beberapa RS,” tambahnya.

Demikian sekilas penggalan berita berjudul “Jangan Mau Diminta RS Pulang – BPJS Jamin Biayai Pasien Sampai Sehat” yang terbit di harian Waspada Medan (9/7-2018) head line halaman A4.

Menurut pendapat penulis, jangan hanya RS yang nakal saja yang ditindak, tapi kepala Puskesmas yang tidak becus dan hanya mengedepan pencitraan semu juga harus dicopot dari jabatannya.

Hanya Mimpi (?)

Kata dalam artikel berjudul “Jumlah Lansia Sehat Harus Meningkat” di situs web resmi  Kementerian Kesehatan yang dipublikasikan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan, menyebut Menteri Kesehatan Republik Indonesia Prof. dr.Nila Moeloek,Sp.M(K) berharap, kerja lintas sektor terkait dapat membangun pemahaman publik akan pentingnya hidup sehat. Hal tersebut sekaligus langkah persiapan mencapai lansia yang sehat, mandiri, aktif, dan produktif sejak beberapa generasi sebelumnya. Dan juga berita berjudul “Jaminan Kesehatan Semesta sudah di Depan Mata” cukup menyenyukkan hati penulis.

Menurut pendapat penulis, dipastikan tidak ada seorangpun dari warga masyarakat/publik yang menginginkan dirinya sakit atau menderita suatu penyakit apalagi yang berkepanjangan. Sebenarnya pemahaman publik tentang pentingnya hidup sehat sudah terbukti dengan banyaknya jumlah perserta BPJS Kesehatan termasuk BPJS Tenaga Kerja di seluruh wilayah Indonesia. Tetapi kalau obat-obatan tertentu di Puskesmas sering kosong alias tidak tersedia untuk peserta BPJS Kesehatan ataupun BPJS Tenaga Kerja, apakah mungkin program Jaminan Kesehatan Semesta dapat terwujud sesuai peruntukkannya ? Ini merupakan tanda tanya besar bagi penulis dan juga mungkin bagi rakyat Indonesia pada umumnya.

Kalau memang benar setelah genap 4 tahun implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), tepat 31 Desember 2017 jumlah peserta JKN-KIS sudah mencapai 187.982.949, artinya jumlah masyarakat yang telah mengikuti Program JKN-KIS hampir mencapai 72,9% dari jumlah penduduk Indonesia, dengan kata lain masih terdapat sekitar 27,1% lagi masyarakat yang belum menjadi peserta JKN-KIS. Selaras dengan arah kebijakan dan strategi nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2019, disebutkan terdapat sasaran kuantitatif terkait Program Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yaitu meningkatnya persentase penduduk yang menjadi peserta Jaminan Kesehatan melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Bidang Kesehatan, minimal mencakup 95% pada tahun 2019. Ini memang hebat.

Menurut pendapat penulis strategi dan upaya akan dilakukan oleh pihak BPJS yaitu salah satunya melalui dukungan dan peran Pemerintah Daerah, ini cukup baik karena telah melibatkan Pemda setempat. Kata dalam berita itu, saat ini dukungan tersebut sudah terasa di sejumlah daerah khususnya dalam upaya memperluas cakupan kepesertaan dengan memastikan bahwa seluruh penduduk di wilayah daerah tersebut telah menjadi peserta JKN-KIS atau dengan kata lain tercapainya Universal Health Coverage (UHC). Di tahun 2017, 95% atau 489 Kabupaten/Kota dari 514 Kabupaten/Kota sudah terintegrasi dalam Program JKN-KIS melalui program JKN-KIS. Tercatat 3 Provinsi (Aceh, DKI Jakarta, Gorontalo), 67 Kabupaten, dan 24 Kota sudah lebih dulu UHC di Tahun 2018, dan yang berkomitmen akan menyusul UHC lebih awal yaitu 3 Provinsi (Jambi, Jawa Barat dan Jawa Tengah) serta 59 Kabupaten dan 15 Kota.

“Saat ini peran Pemda sudah sangat baik khususnya dari segi komitmen dalam mendaftarkan warganya menjadi peserta JKN-KIS melalui integrasi program Jamkesda. Kami juga sangat berterimakasih kepada Pemda yang sudah mendorong UHC di daerah masing-masing dan kami harapkan seluruh Pemda dapat melakukan hal serupa, mendukung dan merealisasikan rencana strategis nasional serta amanah UU Nomor 40 tahun 2004,” ujar Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan, Andayani Budi Lestari, dalam Public Expose dengan tema ”Jaminan Kesehatan Semesta Sudah Di Depan Mata” Selasa, (02/01/2018).

Andayani menambahkan, dukungan dan peran serta Pemda sangatlah strategis dan menentukan dalam mengoptimalkan Program JKN-KIS, setidaknya terdapat 3 peran penting diantaranya memperluas cakupan kepesertaan mendorong Universal Health Coverage (UHC), meningkatkan kualitas pelayanan, dan peningkatan kepatuhan.

Andayani juga menjelaskan bahwa Pemda juga dapat memperoleh manfaat apabila telah mendaftarkan seluruh warganya menjadi peserta JKN-KIS. Salah satunya sesuai dengan prinsip portabilitas peserta JKN-KIS dapat mengakses fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Keluasan akses fasilitas kesehatan ini mengingat sampai dengan 31 Desember 2017 BPJS Kesehatan sudah bekerja sama dengan 21.763 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama/FKTP (Puskesmas, Dokter Praktek Perorangan, Klinik Pratama, RS Kelas D dan Dokter Gigi), dan 2.292 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan/FKRTL (Rumah Sakit dan Klinik Utama) serta 2.937 fasilitas kesehatan penunjang seperti Apotik dan Optik  di seluruh Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, Andayani juga menyampaikan hasil survei dari PT Frontier Consulting Grup, di tahun 2017 angka kepuasan peserta JKN-KIS mencapai 79,5%, sementara indeks kepuasan fasilitas kesehatan yang melayani pasien JKN-KIS secara total 75,7%. Angka tersebut sampai saat ini masih sejalan angka yang ditetapkan pemerintah.

Itu hanya cerita dari hasil survei, buk Andayani, tapi kenyataan di lapangan sangat berbeda. Kenapa ? Meningkatkan kualitas pelayanan mungkin sudah OK, tapi bagaimana kalau obat-obatan tertentu yang tersedia di Puskesmas sering kosong.

Penutup

Apapun cerita mengenai mimpi-mimpi indah tersebut di atas bagi penulis saat ini selaku peserta BPJS Kesehatan Mandiri Tingkat 1 sering dikecewakan karena obat yang penulis butuhkan sudah beberapa bulan terakhir ini kosong, yaitu Amlodipine (obat penetral tekanan darah) termasuk vitamin dan juga selalu gagal ketika akan memeriksa kadar cholesterol penulis di Puskesmas Kelurahan Bukit Jengkol Pangkalan Susu. Cerita mengenai “hilangnya” Amlodipine di Puskesmas itu masih terjadi hingga saat ini (Juli 2018).

Ketika penulis tanyakan kepada pihak terkait di Puskesmas itu, diperoleh jawaban bahwa pihak mereka sudah sering menyampaikan hal tersebut kepada pihak terkait di Stabat, Kabupaten Langkat, tapi sampai saat ini belum terealisasi. Mungkin maksud petugas di Puskesmas itu, kenyataan obat-obatan tertentu tetap saja kosong seperti apa yang penulis alami.

Karena untuk kepentingan menjaga kesehatan diri sendiri (penulis selaku peserta BPJS Kesehatan Mandiri yang tidak terlayani), terpaksa membeli obat Amlodipine dan vitamin yang dibutuhkan di apotik/toko obat setempat termasuk memeriksa kadar cholesterol. Obat Amlodipine 10 mg dibeli seharga Rp10.000,-/strip isi 10 tablet, Atorvastatin Calcium Kaplet Salut Selaput 20 mg senilai Rp30.000,- (obat penurun lipid sintetik) dan cek cholesterol digital dengan biaya Rp25.000,-

Hal itu penulis lakukan karena penulis merasa ada kelainan terhadap cholesterol, mungkin kadarnya sudah meningkat. Pasalnya pada September 2017, berdasarkan hasil cek laboratorium Poliklinik Pertamina EP Pangkalan Susu, cholesterol penulis tercatat 220 mg/dI, dan betul ketika pada 27 Juni 2018 lalu penulis periksa secara digital di salah satu toko obat di Pangkalan Susu, ternyata ada peningkatan dari 220 mg/dI menjadi 257 mg/dI. Ini fakta yang penulis alami sendiri, selaku peserta BPJS Kesehatan Mandiri Perawatan Kelas I (bukan bantuan pemerintah) yang telah dirugikan atas kosongnya obat yang penulis perlukan.

Akhirnya jadi timbul pertanyaan, siapakah yang “memakan obat” di Puskesmas, pihak Puskesmas kah atau pihak Dinkes, Bupati atau Walikota. Soalnya Presiden pernah menekankan kepada Gubernur untuk meningkatkan pembinaan dan pengawasan kepada Bupati dan Walikota dalam melaksanakan JKN; mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan JKN; memastikan Bupati dan Walikota mengalokasikan anggaran serupa. Walahualam.

Harapan penulis yang terpenting adalah masalah “kelangkaan” obat-obatan untuk penyakit tertentu di Puskesmas perlu segera dilakukan audit oleh pihak terkait untuk mengusut lebih mendalam, apakah ada unsur penyimpangan/korupsi dalam hal pengadaan obat di Puskesmas yang melayani perawatan pasien BPJS. Program Jaminan Kesehatan Semesta memang sangat baik, tapi soal “kelangkaan” di Puskesmas perlu segera ditangani secara serius agar program Jaminan Kesehatan Semesta dapat terlaksana dengan baik dan benar, sebagaimana awal dicetuskannya program BPJS. ***

No comments:

Post a Comment