Thursday 26 July 2018

Ada Apa Di WTP Pertamina EP Lapangan Pangkalan Susu ?

[caption id="attachment_1163" align="aligncenter" width="600"] Kawasan Kompleks Water Treatment Plant Pertamina EP Asset I Pangkalan Susu Field. Foto : fipa[/caption]

Oleh: Freddy Ilhamsyah PA

Pendahuluan

Seperti diketahui bahwa pimpinan Pertamina DSBU (Daerah Sumatera Bagian Utara) ketika itu sangat peduli untuk memenuhi kebutuhan air bersih yang layak minum sesuai hasil uji laboratorium, artinya bebas bakteri/microba dan zat yang dapat mengganggu kesehatan manusia (karyawan Pertamina), sehingga Perusahaan Migas pelat merah itu merasa perlu untuk membangun WTP (Water Treatment Plant) di Bukit Kunci Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

WTP yang dibangunan dengan biaya besar mencapai milyaran rupiah ketika itu bukan hanya menyediakan air untuk keperluan MCK (Mandi, Cuci dan Kakus) saja tapi juga untuk menyediakan air minum yang bersih dan sehat bagi karyawan Pertamina UEP 1 Pangkalan Susu yang menempati 380 pintu rumah di Perumahan Karyawan Pertamina yang berada di 4 (empat) Puraka yaitu Puraka I (68 pintu), Puraka II Cemara (49 pintu), Puraka III A  (137 pintu) dan Puraka III B (36 pintu) di Bukit Kunci, dan di Puraka IV Paluh Tabuhan (41 pintu).

Membangun WTP

Pada kesempatan kali ini penulis coba menyampaikan pengalaman penulis saat melaksanakan pembangunan proyek WTP yang dilaksanakan oleh maincontractor PT Nasio-Jakarta bekerjasama dengan PT Bina Sarana Putra (BSP)-Medan pada tahun 1975. Lokasi  proyek di jalan dekat tanjakan ke arah Bukit Kunci.

Sejak awal pembangunannya memang sudah penuh dengan berbagai lika-liku dan hambatan yang sedikit mengganggu kelancaran pelaksanaan proyek tersebut. Hal ini penulis ketahui karena kebetulan penulis terlibat langsung dalam pelaksanaan pembangunan WTP yang berada di samping kanan jalan tanjakan ke arah Bukit Kunci dari pusat kota Pangkalan Susu.

Survei awal rencana pembangun Water Treatment Plant dilakukan sekitar pertengahan tahun 1974 penulis dan beberapa rekan dari PT Nasio dan PT BSP. Kondisi di lapangan yang berada di kaki bukit kecil dan kondisi tanahnya miring (tidak ada tanah datar) serta di belakangnya ada semak belukar dan di samping kanannya ada semacam rawa-rawa.

Setelah kembali ke Medan, maka diputuskan, pada tahap awal pembangunannya harus memakai traktor D6 untuk meratakan tanah perbukitan kecil itu dan tanahnya didorong ke kanan menutup rawa-rawa yang banyak dihuni oleh ikan lele dan ikan limbat (sejenis ikan lele plus sembilang warna kuning tua kecoklat-coklatan).

Ketika perataan lokasi sudah selesai maka dilanjutkan membangun pondasi bangunan gedung segi empat memanjang yang di dalamnya ada ruangan tempat mesin dan di sebelahnya (2 lantai) digunakan untuk kantor Utilitis. Sedangkan di lahan kosong di belakang samping kanan digali lubang besar berdiameter 6 meter dengan kedalaman 3 meter yang nantinya akan digunakan sebagai tempat penampungan air bersih (cold storage) yang terbuat dari beton cor sebelum air layak minum yang sejuk itu disalurkan ke kompleks perumahan di Bukit Kunci dan sekitarnya. Bak itu ditanam di bawah tanah dan ditimbun hingga mirip bukit kecil.

Diganggu Oknum dan Orang Bunian

Kisah menarik tapi menjengkelkan terjadi ketika saat melaksanakan pengecoran “Klarifier” (tempat penjernihan air) yang tidak boleh berhenti, jadi terganggu karena tiba-tiba air untuk campuran cor berhenti mengalir. Ketika dicek di bawah bak air (segi 4 memanjang) yang tidak jauh dari proyek, ternyata kran airnya ditutup oleh OTK yang belakangan diketahui pelakukan adalah salah seorang tenaga kerja kontrak di Utilitis. Kran (krangan) itu saya buka, air mengalir dengan deras dan pengecoranpun berlanjut.

Keesokan harinya, air kran mengalir kecil, padahal kran sudah penulis buka secara maksimal tapi alirannya masih tetap kecil. Penulis jadi curiga, pasti kran itu sudah “ditukangi” oleh tenaga kerja kontrak atas suruhan atasannya (tidak entis menyebut kedua nama mereka). Langsung penulis perintahkan kepada salah seorang anggota tenaga kerja untuk membongkar kran tersebut.

Setelah dibongkar ternyata kran itu telah disumbat dengan kayu sehingga posisi lubang pipa jadi sempit. Kemudian penulis pemerintahkan kepada anggota penulis untuk mengambil dua ember semen cor, dan setelah kayu penymbat dibuang, kerangan itu penulis cor.

Merasa tidak senang atas kelakuan penulis, pengawas/petugas Utilitis itu melaporkan hasil pengecoran kran air ke atasannya di Pangkalan Brandan (karena kantor Pertamina Sumbagut ketika itu di sana). Lalu penulis dipanggil menghadap ke kantor atasannya yang kebetulan dari suku Manado.

Di kantor atasannya itu, penulis ceritakan duduk persoalannya secara mendetail, hanya gara-gara uang bulanan terlambat (untuk biaya arus listrik dan air) lantas “dipermainkan” seperti itu. Padahal sebelumnya pembayaran tidak pernah terkendala, karena lagi ada pengecoran, penulis jadi tidak sempat ke Medan untuk mengambil uang operasional.

Setelah mengetahui duduk persoalnya langsung orang Manado itu menelpon ke Pangkalan Susu, dan penulis dengar dia memarahi bawahannya itu. Lalu dia mengatakan kepada penulis agar pengecoran terus dilanjutkan.

Sebelum penulis keluar dari ruang kerjanya, Surat Kunjungan Tamu penulis sodorkan ke dia untuk ditandatangani/diparap sebagai prosedur yang berlaku. Ketika dia melihat nama (Freddy Wowiling, sesuai KTP) yang tertulis di surat kunjungan tamu itu dia langsung bilang, orang Manado ya? Kenapa tidak bilang dari tadi, kata dia lagi. Penulis jawab, saya kawatir nanti dibilang nepotisme jawab penulis.

“Ya sudah, diteruskan kerjaannya dengan baik, dan kalau ada gangguan lagi langsung lapor ke saya,” kata dia menutup obralan kami ketika itu.

Akhirnya pengecoran Klalifier yang cukup ribet itu dapat berjalan lancar selama 3 hari 3 malam non stop dengan memakai sistem 3 shif (masing-masing shif 100 orang). Klalifier itu bentuknya seperti piring makan telungkup di atas mangkok, mirip UFO (Unidentificated Flying Object/Pesawat Terbang Machluk Angkasa Luar).

“Gangguan” oknum Utilitis dan air sudah teratasi, selanjutnya muncul pula gangguan machluk dari dunia astral (alam gaib). Cerita begini : Ketika dilakukan pengusuran/pengerukan bukit kencil dan saat melaksanakan pembangunan gedung kantor dan ruang mesin (peralatan instrumen), gangguan machluk astral (gaib) belum dirasakan. Tetapi ketika melakukan penggalian lobang seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sudah mulai terasa ada yang “tidak beres.” Galian itu selalu runtuh, pada hal lokasinya merupakan tanah keras walaupun sudah dibuat cerocok dari batang pohan bakau seukuran betis yang dilapis dengan tepas bambu.

Beberapa hari kemudian badan penulis (saya) terasa sangat sakit melebihi rasa pegal selama 2 hari, pada hal badan penulis telah dibalur dengan obat gosok (Afitson). Kemudian penulis minta tolong penjaga malam di proyek untuk mencarikan tukang kusuk/urut. Kesesokan harinya datanglah seorang pria setengah baya, penduduk Almer (Alur Merbau) yang rupanya adalah tukang kusut pesanan tukang jaga malam.

Ketika pengusukan sedang berlangsung, tukang kusut itu bahwa pegal-pegal berat yang penulis rasakan, bukan capek kerja, tapi ada gangguan dari machluk astral alias orang bunian. Mereka marah karena kami masuk ke daerah mereka tanpa permisi dan juga tempat kediaman mereka sudah penulis (selaku orang yang bertanggungjawab) rusak. Tukang kemudian minta maaf dan mengatakan bahwa mereka hanya melaksanakan tugas atas perintah perusahaan.

Lalu utusan orang bunian itu dapat menerima permintaan maaf itu, tapi ada syaratnya, kata orang bunian melalui kontak komunikasi secara gaib seperti yang disampaikan tukang kusuk itu kepada penulis. Ketika ditanyakan syaratnya apa ? Orang Bunian itu bilang, 1 ekor kambing remaja dan 2 ekor ayam betina (hitam dan putih). Kambing dan ayam disembelih di tengah titik lingkaran lobang, kemudian kepala ketiga hewan itu ditanam disitu dan dagingnya dimasak sesuai selera untuk kenduri bersama anak yatim.

Setelah semua persyaratan dilakukan dalam satu hari badan penulis telah sehat seperti sediakala, dan galian itupun tidak runtuh lagi. Akhirnya pelaksanaan pembangunan Proyek Water Treatment Plant (WTP) dapat diselesaikan dengan lancar.

Menurut penjelasan tukang kusuk yang rupanya juga seorang supranatural, kawasan WTP dan sekitarnya adalah semacam kerajaan Orang Bunian. Saat itu mereka bersedia memberikan sebagian wilayahnya kepada manusia asal digunakan untuk hal-hal yang positif.

Selain gangguan Orang Bunian, masih ada saja gangguan uji adrenalin dengan munculnya sosok “Gondoruwo” dan “Kepala Kuda Terbang” sehingga para pekerja harian tetap yang tinggal di barak jadi takut keluar ke belakang (kamar mandi) seorang diri, dan hanya beberapa orang saja yang bernyali kuat berani seorang diri ke belakang di malam hari.

Dulu di kiri-kanan jalan depan area Water Treatment Plant Pangkalan Susu adalah semacam kawasan hunian orang Bunian dan makhluk gaib lainnya seperti yang telah penulis jelaskan di atas.

Penutup

Akhirnya terjawablah sudah tulisan yang berjudul “Ada Apa Di WTP Pertamina EP Lapangan Pangkalan Susu ?”  Ternyata di kawasan WTP dan daerah di dekatnya ada banyak hantu dan Orang Bunian karena di kawasan itu merupakan tempat hunian makhluk astral. Mau percaya atau tidak, itu terpulang kepada pembaca. Tetapi itulah fakta yang penulis rasakan dan alami bersama beberapa teman penulis yang ketika itu sebagai saksi mata (sering diganggu penampakan makhluk astral) atas berbagai kejadian di Proyek Pembangunan Water Treatment Plant di Pangkalan Susu 43 tahun lalu. ***

Pangkalan Susu, medio Juli 2018

No comments:

Post a Comment