[caption id="attachment_887" align="aligncenter" width="600"] Inilah Jalan Simpang Tiga Sei Siur - Teluk Kerang yang dipersengketakan PT KAI dan PT Pertamina EP Pangkalansusu. Foto Fipa[/caption]
Oleh Freddy Ilhamsyah PA
Pendahaluan
Akhir-akhir ini muncul kabar di media massa mengenai “perseteruan” antara PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan PT Pertamina EP Pangkalansusu terkait “rebutan” atas hak milik jalan utama Simpang Tiga Sei Siur-Teluk Kerang menuju ke kawasan mega proyek PLTU di Desa Tanjungpasir, Kecamatan Pangkalansusu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara yang ada jalur pipa lifting 20 inci (dulu 30 inci) di sisi kiri badan jalan.
Perseteruan tersebut mulai mencuat ketika adanya wacana dari pihak PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk melaksanakan pengaspalan hotmix mulai dari kawasan mega projek PLTU Tanjungpasir sampai Simpang Tiga Sei Siur - Teluk Kerang, Pangkalansusu “diganjal” oleh pihak PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang mengaku bahwa lahan jalan tersebut adalah milik mereka dengan cara memasang 2 plang (marka/rambu) dekat Simpang Tiga Sei Siur-Teluk Kerang (nomor ruas 000005 titik pengenal pangkal sebagai jalan negara).
Akibatnya, pihak PT PLN terpaksa menunda rencana pengaspalan hotmix di badan jalan yang dipersengketakan oleh PLN. Setahu mereka (PLN) jalan tersebut adalah milik PT Pertamina EP Pangkalansusu. Oleh sebab itu sejak awal rencana pembangunan Projek PLTU di Desa Tanjungpasir pihak PLN selalu berkoordinasi dengan Pertamina EP Pangkalansusu (selaku pemilik atas lahan jalan itu selebar 50 meter) terkait izin lintas dan renovasi jembatan lintas pipa penyalur minyak mentah berdiameter 30 inci (sekarang sudah diganti dengan pipa 20 inci, pen.) termasuk koordinasi dengan instansi terkait (Dinas Perhubungan Kabupaten Langkat).
Sebagai informasi dapat dijelaskan bahwa Pertamina membuat jalur pipa penyalur (transmisi) minyak mentah sepanjang sekitar 31.200 km dari Terminal Loading/PPP= Pusat Pengumpulan Produksi) sampai ke SBM (Single Bouy Mooring) yang berada di koordinat 4ᵒ13ˈ05 ̎Lintang Utara dan 98ᵒ24ˈ30 ̎Bujur Timur di perairan lepas pantai Teluk Aru, Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara dekat perairan Selat Malaka.
[caption id="attachment_889" align="aligncenter" width="600"] Kegiatan lifting/pengapalan minyak mentah di perairan lepas pantai Teluk Aru. Foto Fipa[/caption]
Dari SBM (sekarang sudah digantikan dengan SPM/Single Point Mooring pen.) selanjutnya minyak mentah itu dimuat ke kapal tanker untuk diangkut ke kilang BBM di Lawe-Lawe, Balikpapan Kalimantan Timur. Minyak mentah itu milik PT Pertamina EP Field Pangkalansusu dan PT Pertamina EP Field Rantau – Aceh Tamiang, termasuk crude oil milik JOB Pertamina – Costa serta condensate milik PT Maruta Bumi Prima.
Jalur pipa penyalur minyak mentah (crude oil) itu dibangun pada tahun 1969 di era Manajer Lapangannya dijabat oleh Ir. Soekadir (1965-1973) saat Pertamina masih bernama PN Permina (1961-1971) di era Bupati Langkat masih dijabat oleh T. Ismail Aswhin (1967-1974), dan untuk membangun jalur transmisi minyak mentah itu Pertamina telah membeli atau membebaskan lahan yang diakui sebagai milik masyarakat (sesuai bukti surat kepemilikan) yang terkena lintasan pipa 30 inci sesuai peraturan yang berlaku.
Muncul permasalahan dengan PLTU/PLN
Kehadiran proyek pembangunan Instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) – 2, kapasitas terpasang 2 x 200 megawatt milik PLN di Desa Tanjungpasir, Kecamatan Pangkalansusu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara sejak medio 2008 pada prinsipnya didukung oleh semua pihak termasuk PT Pertamina EP Pangkalansusu. Sebab kehadiran PLTU-2 di Kecamatan Pangkalansusu diharapkan dapat meningkatkan gerak roda perekonomian di daerah itu.
Artinya, apabila proyek PLTU-2 dapat diselesaikan pembangunannya sesuai jadwal yang telah ditentunya, maka kemungkinan ada investor yang akan membangun pabrik dan sebagainya di wilayah Teluk Haru. Listrik tidak hidup-mati karena energi listrik yang tersedia sudah mencukupi untuk tujuan dimaksud. Itulah impian dan harapan para pengusaha dan warga masyarakat di wilayah Teluk Haru (Kecamatan Pangkalan Susu, Brandan Barat, Sei Lepan, Babalan, Gebang, Besitang dan Kecamatan Pematang Jaya).
Namun dalam pelaksanaan proyek pembangunan PLTU-2 yang dilakukan oleh konsorsium/kontraktor PT Nincec Multi Dimensi telah mengusik keselamatan dan keamanan jalur pipa lifting crude oil (minyak mentah) utama dari Aceh dan Sumatera Utara yang berdiameter 30 inci karena sebagian badan pipa tersebut sudah ditimbun oleh pihak Nincec dengan tanah timbun untuk pelebaran badan jalan hingga berem (tepi badan jalan).
Tertimbunnya pipa loading 30 inci dipastikan dapat mempercepat pipa itu dimakan karat (corrde) karena pipa tersebut tidak dirancang untuk under ground line. Sehingga badan pipa tersebut tidak dilapis seperti pada pipa yang memang dirancang untuk pemakaian di dalam tanah.
Pelebaran badan jalan hingga “memakan” berem mungkin dimaksudkan oleh pihak PLN agar mobilisasi dump truck interkuler dan kendaraan angkutan berat proyek PLTU lainnya dapat berselisih secara leluasa. Namun sayangnya pihak pelaksana proyek lupa memikirkan kemungkinan kedudukan pipa berdiameter 30 inci itu akan tergeser oleh desakan tanah yang setiap hari dilintasi oleh ratusan dump truck berbagai ukuran tonasenya.
Namun sangat disesalkan oleh pihak Pertamina, dump truck bertonase besar (interkuler) yang mengangkut tanah timbun berlalulalang pas di pinggir pipa transmisi berdiameter 30 inci bahkan ada beberapa dump truck yang melindas punggung pipa.
Untuk menghindarkan hal yang tidak diinginkan, jauh sebelumnya Pertamina EP Pangkalansusu sudah minta kepada pihak PLTU/PLN untuk membuat pembatas jalan jarak 5 meter dari sisi pipa dan membuat rest area setiap 100 meter agar lalulalang kendaraan milik proyek tidak terhambat operasionalnya.
Pada awalnya, niat baik Pertamina ditanggapi positif oleh pihak PLN melalui surat nomor 045/121/PLJ1/2008 tanggal 16 Juli 2008 yang ditujukan kepada PT Pertamina EP Region Sumatera dan pihaknya berjanji akan membuat rest area setiap 100 meter, tapi hal tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
[caption id="attachment_890" align="aligncenter" width="600"] Angkutan berat berbobot ratusan ton yang dilarang melintas dekat jalur pipa 30 inci. Foto Fipa[/caption]
Tindakan yang dilakukan oleh pihak PT Pertamina EP Pangkalansusu seperti tersebut di atas adalah bertujuan untuk mengamankan keselamatan jalur pipa minyak berukuran 30 inci, sejalan dengan kebijakan pemerintah melalui Menteri Pertambangan dan Energi telah menerbitkan SK Mentamben No. 300.K/38/M.PE/1997 tentang Keselamatan Kerja Pipa Penyalur Minyak dan Gas Bumi, yang dalam tabel Lampiran II ada tertera bahwa untuk keamanan pipa berdiameter 30 inci ditentukan harus berjarak minimum 5 meter dari badan pipa (tekanan antara 16 s.d 50 BAR). Sedangkan yang bertekanan antara 50 s.d 100 BAR jarak amannya adalah 6 meter dari sisi luar badan pipa.
Hal itu disampaikan oleh pihak Pertamina mengingat bahwa keberadaan pipa transmisi crude oil berdiameter 30 inci yang berada di tepi badan jalan mulai dari Simpang Sei Siur sampai ke Teluk Kerang kondisi sebagian besar pipa tersebut sudah tua (anno 1969), dan pipa tersebut masih digunakan untuk pengiriman <em>crude oil</em> melalui SBM di perairan lepas pantai Teluk Aru, Pangkalansusu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.
Kenapa Pertamina bersikeras untuk menghentikan operasional angkutan berat milik proyek PLTU/PLN ketika kegiatan lifting/pengapalan minyak mentah sedang berlangsung selama 3 hari? Permasalahannya apabila pipa 30 inci berisi minyak mentah yang sedang dipompa oleh dua unit mesin pompa Kubota, centrifugal pump type MVDM, head 226 meter, kapasitas 16,7 m3/menit, Rpm 1000 r/menit, P.S 1000 Sg 0,78 yang dioperasi secara bersamaan dengan kapasitas pemompaan ± 1300 KL/jam hingga 1600 KL/jam (untuk 2 pompa) sampai pecah karena digilas angkutan berat berkapasitas besar, apa yang terjadi ? Pasti ribuan barel minyak mentah itu berhamburan liar keluar sesuka hatinya.
[caption id="attachment_912" align="aligncenter" width="600"] Marka/rambu-rambu mengenai keberadaan pipa 30 inci. Foto Fipa[/caption]
Itulah sebabnya pihak Pertamina EP Pangkalansusu membuat papan pengumuman (marka/rambu) yang isinya antara lain adalah: “Awas pipa minyak dan gas bertekanan tinggi. “ Hal itu dilakukan Pertamina sesuai dengan SK Mentamben No. 300.K/38/M.PE/1997 tentang Keselamatan Kerja Pipa Penyalur Minyak dan Gas Bumi Pasal 24 ayat (4) : Marka atau rambu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa tulisan yang jelas dalam hurup capital dan berbunyi “DILARANG,PERINGATAN, AWAS, BERBAHAYA, LINTASAN SAALURAN PIPA GAS” dan memuat nama perusahaan dengan alamat dan nomor telepon, diletakkan pada ketinggian yang cukup dan mudah dilihat.
Kalau sudah demikian kejadiannya, kerugian besar sudah terbayang di pelupuk mata. Misalnya bencana tersebut terjadi pada Juli 2008 pasti Pertamina mengalami kehilangan ratusan barel minyak mentah, katakanlah 500 barel yang ketika itu harga minyak mentah Indonesia jenis NSC/Katapa/Arbei (hasil produksi Pertamina Rantau-Aceh, Pertamina Pangkalansusu-Sumut dan JOB Pertamina-Costa) adalah USD 139,56/barel x 500 barel = USD 69.780,00 Belum lagi kerugian biaya operasional 2 Tugboat dan 1 LC yang berada di atas angka Rp875 juta dan biaya operasional lainnya, dan juga biaya ganti kerugian lahan masyarakat yang tercemar tumpahan minyak mentah.
Permasalahan lainnya, jangankan untuk memperbaiki kerusakan pipa yang pecah, untuk membersihan tumpahan minyak mentah itu saja bisa memakan waktu berhari-hari. Selain itu, kerugian yang maha besar juga membayangi Pertamina EP Pangkalansusu, Pertamina EP Rantau dan JOB Pertamina-Costa. Kenapa ? Karena sumur minyak mereka pasti ditutup. Sebab semua tanki penimbun minyak mentah (crude oil) sudah penuh. Sebab kalau minyak mentah sudah siap dikirim, pasti tanki-tanki penimbun di Pangkalansusu sebagian besar sudah sarat muatan. Nah, minyak mentah yang terus-menerus keluar dari sumur mau ditampung di mana ? Jalan keluar satu-satunya ialah sumur-sumur minyak milik ketiga perusahaan itu ditutup, dan kalau sudah ditutup belum tentu minyaknya akan keluar lagi. Itulah dilemanya.
Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, saat Pertamina EP Pangkalansusu sedang melaksanakan kegiatan penyaluran minyak mentah melalui pipa berdiameter 30 inci untuk dimuat ke kapal tanker di perairan lepas pantai Teluk Aru, maka seluruh kendaraan proyek bertonase besar dilarang melintas dekat areal pipa 30 inci sejak dimulainya pengapalan sampai selesai selama 3 hari.
Menghadapi kenyataan itu tentu pihak pelaksana proyek PLTU (PT Nincec Multi Dimensi) jadi merasa “terusik” karena jadwal kerja (time schedule) jadi terganggu (kehilangan 3 hari kerja). Padahal kalau pihak pelaksana proyek maupun pihak PLN mematuhi isi suratnya bernomor 045/121/PLJ1/2008 tanggal 16 Juli 2008 yang ditujukan kepada PT Pertamina EP Region Sumatera dengan berjanji akan membuat rest area setiap 100 meter, pasti penghentian kegiatan operasional angkutan beratnya tidak terjadi.
Seperti diketahui bahwa minyak mentah yang dikirim ke Lawe-lawe Kalimantan Timur adalah milik PT Pertamina EP Field Pangkalansusu dan PT Pertamina EP Field Rantau – Aceh Tamiang, termasuk <em>crude oil</em> milik JOB Pertamina-Costa serta condensate milik PT Maruta Bumi Prima.
[caption id="attachment_892" align="aligncenter" width="600"] Patok beton pembatas jalan yang tidak boleh dilalui kendaraan bermuatan berat. Foto Fipa[/caption]
Akhirnya pihak PLTU/PLN menyadari dampak yang timbul apabila pipa 30 inci sampai pecah, dan kemudian mereka membuat pembatas jalan berjarak 5 meter dari sisi luar badan pipa. Persoalan dengan PLN dapat dikatakan sudah selesai. Namun persoalan baru muncul antara pihak Pertamina dengan pihak PT KAI yang mengklaim bahwa tanah yang dibuat jalan dan jalur pipa 30 inci adalah milik PT KAI, warisan dari para pendahulunya.
Kisruh Hak Milik Lahan Pertamina Dengan PT KAI
Ketika mencuat adanya wacana pelaksanaan pengaspalan hotmix mulai dari Simpang Tiga Sei Siur, jalan masuk utama menuju ke projek PLTU, sampai ke depan kawasan mega projek di Desa Tanjungpasir oleh pihat PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) kemudian muncul gugatan dari pihak PT KAI (Kereta Api Indonesia) yang mengaku bahwa lahan jalan tersebut adalah milik PT KAI.
[caption id="attachment_891" align="aligncenter" width="600"] Jalan Simpang Tiga Sei Siur - Teluk Kerang yang diakui sebagai milik PT KAI. Foto Fipa.[/caption]
Bila menelusuri jejak sejarah Kereta Api sejak jaman penjajahan Belanda, perintis jalur jalan kereta api di Indonesia khusus di Sumatera Utara yang membangun adalah perusahaan kereta api DSM (Deli Spoorweg Maatschappij) pada tahun 1886 dan J.T. Cremer, Manajer Deli Maatschappij selaku penginisiatif pengembangan jalur kereta api di Tanah Deli. Ia menyarankan agar pembangunan jalur kereta api dibuat sesegera mungkin untuk memperlancar perdagangan ekspor di lingkungan perkebunan Deli, serta mengembangkan jalan yang menghubungkan Medan-Berastagi. Selain itu, dilatarbelakangi pula dengan berlakunya Undang-Undang Agraria 1870 yang mengizinkan penguasa kolonial Belanda menyewa tanah dalam jangka waktu yang lama dan tidak hanya diprioritaskan pada sektor perkebunan. Adanya Belawan sebagai pelabuhan ekspor komoditas ke Eropa juga turut andil dalam percepatan pembangunan jaringan jalur kereta api di Sumatera Utara dan Timur. Karena pihak pengusaha menilai angkutan sungai cukup lambat dalam untuk kegiatan ekspor-impor.
Sementara menurut Tuanku Luckman Sinar SH dalam tulisan berjudul “Kereta Api DSM & Tanah Konsesi” di Waspadamedan.com pada Selasa, 01 Juni 2010 menulis, pada tanggal 9-2-1897 DSM memohon izin kepada Gubernur Jendral dan tanah konsesi dari kerajaan untuk membuka lijn : Perbaungan – Rampah – Bamban - Rantau Laban – Tebingtinggi; Lubuk Pakam - Bangun Purba; Selesai – Tanjung Pura - Pangkalan Berandan - Pangkalan Susu – Kuala Simpang (Temiang). (₁)
Untuk mengatasi persaingan, maka pada tahun 1925, dibuat kesepakatan sebagai berikut : DSM mengangkut setengah jumlah berat bruto barang disepanjang lini yang ada ke arah Belawan; KPM hanya akan mengangkut barang trayek Langsa – Air Putih – Berandan – Pangkalan Susu – Tanjung Pura – Belawan – dan Batubara (Tg. Tiram) – Teluk Nibung – Belawan; KPM tidak ikut ambil bagian transportasi sungai Asahan dari Teluk Nibung ke Tanjung Balai arah ke hulu. (₁)
Pada Tanggal 21 Juli 1947 Belanda mengadakan Aksi Agresi-1 ke wilayah luar Medan sampai batas Sungai Asahan dan Danau Toba serta Sungai Batang Serangan. Maka sejak itu DSM kembali beroperasi. Ketika Belanda kembali melakukan Agresi-II Desember 1948, maka DSM sudah beroperasi ke Rantau Perapat. Tetapi ketika terbit konfrontasi RI dengan Belanda soal Irian Barat (TRIKORA) maka harta perusahaan Belanda diambil alih oleh RI. Perusahaan DSM diambil alih oleh T.T.–I Bukit Barisan (Penguasa Perang) 1957 dan pimpinan DSM di Medan diusir pada tanggal 10-2-1958. (₁)
Pada alinea lain Luckman Sinar, SH menjelaskan mengenai hubungan DSM dengan status konsesi tanah. “Tanah Konsesi” (Concessie-Consession=Grant/Charter/Licence) bukan “Erfpacht” (Hak Guna Usaha), bukan “Opstal” (Hak Guna Bangunan), atau “eigendom” atau “Vruchtgebruik” dan lain-lain. Dan tidak ada dalam kamus undang-undang kita karena istilah hanya dipakai mengenai tanah di wilayah Kerajaan di Sumatera Timur (bukan wilayah Langsung Gubernemen). (₁)
Tanah “konsesi” diserahkan kepada Perusahaan asing oleh Kerajaan, yang bertindak atas nama Masyarakat Hukum Adatnya dimana Institusi Kerajaan/Kesultanan itu merupakan kesatuan yang berhak atas Tanah Adat Ulayat itu. Tanah “Konsesi” yang dikelola oleh bekas Perkebunan asing dan DSM itu bukan kepunyaan Perusahaan Asing itu, tetapi kepunyaan rakyat asli/Masyarakat Hukum Adat bangsa Indonesia. (₁)
Luckman juga menjelaskan,” Dalam tahun 1917 disetujui oleh Gubernur Jendral masa berlakunya Konsesi DSM ialah 90 tahun dikira mulai tahun 1912. Jadi di tahun 2002 Konsesi tanah rel kereta api DSM itu sudah berakhir dan tanah yang dipakai berdasarkan konsesi itu harus dipulangkan oleh DSM kepada Kerajaan. Menurut teorinya terserahlah dengan perundingan apakah dibuat Perjanjian Baru memperpanjang konsesi tersebut, atau tanah dikembalikan kepada Kerajaan (tanah ulayat).” (₁)
Kalau memang apa yang diungkapkan oleh Tuanku Luckman Sinar SH seperti tersebut di atas adalah benar, maka timbul pertanyaan: Setelah batas konsesi tanah rel kereta api pada tahun 2002, apakah pihak PNKA ada memiliki surat dari T.T.–I Bukit Barisan (Penguasa Perang) 1957 selaku pihak yang mengambil-alih perusahaan DSM atau dari Pemerintah RI selaku pengambil alih harta perusahaan Belanda ? Kalau ada dan sebagai perusahaan perkeretaapian terbesar di Asean, seharusnya tertib administrasi khususnya soal data aset yang dikuasainya juga harus tercatat dengan baik dan benar.
Soalnya proses perjalanan perkeretapian di bumi Nusantara cukup panjang. Sepanjang jalan kereta api di Indonesia sejak adanya Staat Spoorwegen (SS) Verenigde Spoorwegenbedrifj (VS) Deli Spoorwegen Maatschappij (DSM) di era prakemerdekaan Republik Indonesia (1864-1945) yang kemudian setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, maka muncul/lahirlah Djawatan Kereta Api (DKA) yang kemudian beberapa kali mengganti nama yaitu Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA), Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA, Perjanka), Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka), kemudian PT Kereta Api (Persero) sampai akhirnya muncul nama PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) yang dibentuk melalui Akte Notaris Imas Fatimah pada Mei 2010 (Instruksi Direksi No. 16/OT.203/KA 2010), Khusus untuk wilayah Sumatera Utara dan Aceh dikelola oleh PT KAI Divisi Regional I Sumatera Utara dan Aceh.
Sementara terkait dengan pemanfaatan dan pengawasan jalur kereta api untuk jalan rel bila mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Perkeretaapian Pasal 58 ayat (3) secara jelas ada disebutkan: Batas ruang milik jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak di atas permukaan tanah diukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan ruang manfaat jalur kereta api, yang lebarnya paling sedikit 6 (enam) meter. Dan di Pasal 61 ayat (2) disebutkan: Batas ruang pengawasan jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak pada permukaan tanah diukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan ruang milik jalur kereta api, masing-masing selebar 9 (sembilan) meter.
Kalau dilihat dari data di atas patut diduga keras bahwa lahan badan jalan yang ada jalur pipa penyalur minyak mentah berukuran 20 inci (dulu 30 inci) milik Pertamina ke SPM (dulu SBM) adalah lahan hak milik PT KAI warisan DSM dan atau PNKA.
Akan tetapi yang jadi pertanyaan, apakah memang benar bahwa dulu di atas badan jalan mulai dari Simpang Tiga Sei Siur - Teluk Kerang ada jalur kereta api yang dikuasai oleh DSM ataupun PNKA yang mengaku sebagai pemilik atas lahan itu yang kini diwariskan kepada PT KAI ?
Kalau jawabannya ADA, maka kenapa Pemerintah Kabupaten Langkat yang ketika itu dijabat oleh T. Ismail Aswhin (1967-1974) berani merestui pembebasan lahan milik PNKA untuk dijadikan jalur pipa berdiameter 30 inci ? Dan, apakah pembebasan lahan tersebut juga melibatkan Gubernur Sumatera Utara yang ketika itu dijabat oleh Marah Halim (31 Maret 1967-12 Juni 1978) ?
Persoalannya, proses survei lapangan dan gantirugi ketika itu ada melibatkan Tim 9 yang beranggotakan berbagai pihak terkait termasuk dari lingkungan Pemerintahan Kabupaten Langkat. Atas dasar itu, maka Pertamina melaksanakan pembayaran atas lahan/tanah. Persoalanpun selesai untuk kemudian dilanjutkan dengan menggelar pipa penyalur (loading pipe) minyak mentah berdiameter 30 inci di atas lahan yang sudah dibayar oleh pihak Pertamina.
Pertanyaan lainpun mucul setelah melihat pengumuman di 2 plang yang dibuat oleh pihak PT KAI lengkap dengan segala atributnya di tepi kiri kanan Simpang Tiga Sei Siur – Teluk Kerang di situ ditulis “Tanah Milik PT Kereta Api Indonesia (Persero) Nomor Aset ........ Dilarang mendirikan bangunan tanpa seizin PT Kerata Api Indonesia (Persero) Melanggar KUHP Pasal 167 Jo Pasal 389 dan UUD No.23/2007 Pasal 13.” Kenapa Nomor Aset nya tidak dicantumkan ? Persoalan jadi remang-remang dan menimbulkan kesan pihak PT KAI tidak transparan dalam menyampaikan informasi yang patut diketahui oleh publik. Misalnya ukuran lebar lahan/tanah jalur rel dan ukuran lahan tanah. Kalau memang tidak punya data nomor aset, sebaiknya jangan ditampilkan dalam plang itu. (lihat foto terlampir).
Penutup dan Solusi
Terpulang siapa pemilik yang sah atas lahan tersebut, tapi yang jelas “kemelut” antara kedua perusahaan plat merah itu yang masing-masing pihak mengaku sebagai pemilik yang sah atas lahan tanah tempat jalur pipa penyalur minyak mentah milik Pertamina mulai Simpang Tiga Sei Siur sampai batas gugatan, seharusnya tidak terjadi apabila tidak ada surat hak milik yang tumpang tindih. PT KAI mengaku bahwa lahan tersebut adalah aset miliknya sesuai bukti surat kepemilikkan (eks konsensi DSM ?) yang ada di pihak PT KAI. Sedang pihak Pertamina juga mengaku sebagai pemilik yang sah atas lahan yang sudah mereka beli dari masyarakat setempat sesuai bukti surat pelepasan hak atas tanah tersebut oleh masyarakat.
Kalau kita mau jujur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, biasanya pemegang surat bukti kepemilikkan yang usianya lebih tua (tahun rendah) adalah sebagai pemilik yang sah ketimbang surat bukti kepemilikkan yang berusia jauh lebih muda. Dan apabila memang benar bahwa untuk satu lahan ada dua surat bukti kepemilikkan, maka yang berusia muda sudah dapat dan patut diduga ada penyimpangan prosedur walaupun telah melibatkan Tim 9 saat proses pembebasan lahan. Lahan milik PNKA koq diakui sebagai lahan milik masyarakat terkait. Ini bisa dikriminalisasikan sebagai “penipuan” atau “pemalsuan” surat atas hak milik orang lain yang diakui sebagai miliknya. Kemudian muncul pertanyaan: “Apakah kepala desa, camat dan Tim 9 terlibat dalam kasus tersebut? Kalau tidak, jadi siapa yang bermain dan siapa pula yang dipermainkan?”
Sekarang terpulang kepada pihak PT KAI apakah kasus ini akan dilanjutkan ke rana hukum mengenai “surat tanah aspal (?)” atau melalui proses penyelesaian mengenai Hak Milik di Badan Pertanahan Nasional, dan atau penyelesaian secara adat ke timuran dengan PT Pertamina EP melalui “<em>win win solution.</em>” Dengan pengertian hak atas lahan tersebut tetap menjadi milik PT KAI (tentu Pertamina merasa sebagai pihak yang dirugikan. Lahan tanah sudah dibebaskan, tapi hak kepemilikkannya gugur), tapi pihak PT KAI tidak boleh mempersoalkan keberadaan jalur pipa 20 inci (dulu 30 inci).
Muncul lagi pertanyaan: Berapakah luas lahan rel kereta api yang diakui sebagai lahan tanah milik PT KAI di jalan Simpang Tiga Sei Siur-Teluk Kerang ? Kalau Pertamina sudah jelas bahwa lahan yang dikuasainya mulai titik sisi kanan kiri pipa 30 inci (sekarang sudah diganti dengan pipa berdiameter 20 inci) adalah adalah 50 meter (25 meter di sisi kanan dan 25 meter sisi kiri sebagai batas Right of Way (bebas hambatan).
Sementara menurut hasil pengukuran penulis di jalur rel kereta api lintas Pangalansusu – Besitang yang berbentuk tanggul adalah selebar 4 meter. Di situ sudah tidak ada lagi rel kereta api karena sudah dijadikan jalan umum beraspal hotmix.
Alasan penulis, toh keberadaan lahan yang ada jalur pipa penyaluran minyak mentah itu tidak dipakai lagi untuk lintasan kereta api atau tidak masuk dalam daftar rencana Pembangunan Kereta Api Antar Kota/Trans Sumatera ataupun program Reaktifasi (menghidupkan/mengaktifkan kembali) Jalur Kereta Api yang selama ini tidak aktif di Langkat, Sumatera Utara.
Kalaupun masuk dalam rencana Reaktifasi, maka sudah ada ketentuan dan aturan yang mengaturnya yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapan Pasal 59 ayat (1) menyebutkan : Ruang milik jalur kereta api dapat digunakan untuk keperluan lain atas izin pemilik prasarana perkeretaapian dengan ketentuan tidak membahayakan konstruksi jalan rel, fasilitas operasi kereta api, dan perjalanan kereta api. Sedangkan dalam pasal yang sama ayat (2) disebutkan : Keperluan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: ..... diantaranya butir a. Pipa gas dan b. Pipa minyak.
Kini masyarakat menunggu akhir ceritanya bagaimana. Yang perlu diingatkan bahwa Damai Itu Indah.
Pangkalansusu, 25 November 2015
Note:
Penulis adalah anggota Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat Kecamatan Pangkalansusu bidang Penanganan dan Penangkal Isu; mantan wartawan Harian Bukit Barisan unit Departemen Perhubungan; unit Departemen Pertambang dan Energi, dan unit Departemen Pekerjaan Umum dan juga pernah menjabat sebagai staf Humas Pertamina EP Pangkalansusu bidang Media/Pers.
Sumber data perkeretaapian :
https://id.wikipedia.org/wiki/Divisi_Regional_I_Sumatera_Utara_dan_Aceh
https://kereta-api.co.id/
(₁)http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1326:kereta-api-dsm-a-tanah-konsesi-i-&catid=59:opini&Itemid=215
No comments:
Post a Comment