Monday 20 September 2010

Elpiji dan Petronas Goyang Pertamina

Oleh : Freddy Ilhamsyah PA

Akhir-akhir ini tanker Pertamina telah diterjang gelombang arus balik LPG (elpiji) sebagai ekses munculnya elpiji kemasan 3 kilogram ketika diberlakukannya program konversi minyak tanah ke bahan bakar ramah lingkungan dan murah, yaitu LPG yang masih awam bagi konsumennya yang sebagian besar adalah warga masyarakat ekonomi lemah.

Pada awal digulirkan elpiji dalam kemasan tabung ukuran 3 kilogram, laut masih lenang, dan tanker Pertamina masih dapat berlayar dengan smooth membelah permukaan samuder. Tetapi ketika puluhan jutaan elpiji kemasan tabung 3 kilogram mulai dimanfaatkan masyarakat bawah, terjadilah arus balik gelombang elpiji yang mengantam kiri kanan lambung tanker Pertamina sehingga bergetar dan membuat sang nakhoda dan awak kapal jadi kaget. Kenapa ini bisa terjadi ?! Gumam sang nakhoda.

Masyarakat yang tadinya bergembiraria saat menerima hadiah gratis satu set kompor lengkap dengan elpiji kemasan tabung 3 kilogram jadi terhentak dan kaget ketika hadiah gratis dari pemerintah telah menimbulkan korban. Konsumen hadiah gratis itupun jadi geger dan bertambah panik ketika menonton televisi dan membaca berbagai berita koran dengan aneka judul. “Kompor elpiji meledak” atau “ Rumah hangus terbakar akibat tabung LPG meledak. 1 tewas, 2 luka parah”

Niat baik pemerintah untuk menyelamatkan kocek masyarakat bawah dan mengurangi subsidi BBM khususnya minyak tanah berbalik menjadi bumerang. Sebagian masyarakat pemakaian elpiji kemasan 3 kilogram justeru jadi korban kebakaran. Rumah sudah tidak dapat lagi dihuni, masuk rumah sakit pula, dan bahkan ada yang sampai masuk ke liang lahat. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…….

Blantika media massa mulai ramai mengisi kolomnya dengan peristiwa kebakaran akibat “meledaknya” tabung elpiji 3 kilogram yang menelan korban luka bakar dan juga korban yang meninggal dunia. Media elektronik menayangkan gambar TKP (tempat Kejadian Perkara) yang berantakan, juga tidak luput disorot tabung bulat hijau yang hangus di dapur. Tabung elpiji 3 kilogram itu masih utuh ! Tetapi diberitakan kebakaran akibat ledakan tabung elpiji ! Aneh bukan ? Pada hal kebakaran terjadi akibat ada kebocoran pada regulator tabung elpiji 3 kilogram. Informasi beritapun jadi ngaur alias tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

Ironisnya, para pembicarapun ikut angkat bicara di media massa, dan kebanyakan di antara mereka yang menyalahi Pertamina. Sementara adalah pula yang berupaya mencari “kambing hitam” bukan "angsa hitam" (black swan).

Menyadari bahwa musibah itu bukan sebuah kebetulan, tetapi faktor human error dan adanya aksesoris yang tidak memenuhi persyaratan beredar di pasaran, maka Pertamina-pun mencari pembenaran dengan menurunkan “tim pencari fakta” untuk mengetahui apakah benar bahwa kebakaran yang terjadi akibat ledakan tabung elpiji kemasan 3 kilogram ? Ternyata tidak benar !

Kepala Divisi Humas Markas Besar POLRI, Irjen Pol Edward Aritonang angkat bicara disela-sela acara Syukuran HUT Bhayangkara ke-64 di Surabaya, Kamis (1/7’10) bahwa berdasarkan hasil uji laboratorium forensik POLRI, penyebab kecelakaan elpiji bukan diakibatkan oleh tabung, tapi karena kebocoran gas yang terjadi pada aksesoris tabung elpiji seperti rubber seal, selang dan regulator. Sementara pihak PT Pertamina (Persero) melalui Vice President Communications Korporat Pertamina, B. Trikora Putra menjamin bahwa semua tabung elpiji kemasan 3 kilogram yang sudah diisi, 100 persen bebas dari kebocoran. Tegasnya, semua tabung elpiji isi 3 kilogram sudah terjamin keberadaannya karena sebelum keluar dari depot pengisian, kondisi tabung berada dalam keadaan baik.

Sementara menurut Menteri Energi & Sumber Daya Mineral, Darwin Z. Saleh, kasus kecelakaan elpiji 3 kilogram pada tahun 2010 ini, disebabkan karena komponen aksesoris elpiji yang sudah seharusnya diganti. Selain itu banyak disebabkan kurang bagusnya komponen aksesoris tabung elpiji. (MP no.25/Thn XLVI 21 Juni 2010) Akibat dari musibah terjadinya kebakaran yang telah merenggut korban luka bakar serius dan korban jiwa karena kecelakaan gas elpiji, sejak tahun 2007 sampai 2010 Pertamina telah mengeluarkan dana klaim gantikerugian sekitar 2,5 miliar rupiah. Dan sebagai rasa kepedulian terhadap korban kecelakaan elpiji 3 kilogram, Pertamina akan memberi santunan sebesar Rp 25 juta untuk korban meninggal dunia, ditambah biaya pemakaman Rp 2 juta. Sedangkan jika mengalami luka-luka, Pertamina akan menanggung biaya penggantian pengobatan selama di rumah sakit. (MP no.25/Thn XLVI 21 Juni 2010)

Kebijakan tersebut di atas pantas kita acungkan jempol untuk Pertamina, karena walaupun Pertamina merugi ketika menangani penjualan elpiji 3 kilogram, tetapi perusahaan plat merah itu masih mau mengeluarkan dana untuk para korban kecelakaan elpiji 3 kilogram.

Salah satu hal yang membanggakan, yaitu mengenai kepedulian Pertamina kepada para korban kecelakaan elpiji kemasan 3 kilogram, walaupun secara langsung maupun tidak langsung, musibah tersebut bukan mutlak kesalahan Pertamina, tetapi orang nomor satu di perusahaan plat merah itu dengan segala kerendahan hati bahkan menyampaikan permohonan maaf kepada para korban insiden elpiji 3 kilogram. “Saya menyampaikan rasa duka yang mendalam atas kejadian yang menimpa keluarga korban baik meninggal maupun luka, serta keprihatinan yang mendalam atas insiden pada pengguna tabung elpiji 3 kg yang akhir-akhir ini terjadi,” kata Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan dalam acara penyerahan santunan dan asuransi korban insiden elpiji 3 kg di Kemayoran, Jakarta Pusat, (17/6). MP No.26/Thn XLVI/28 Juni 2010.

Sebagai warga masyarakat yang peduli dengan Pertamina dan para konsumen elpiji kemasan tabung 3 kilogram, maka penulis melalui Freddyilhamsyah’s Blog merasa perlu untuk ikut mensosialisasikan kembali mengenai keberadaan Tim Nasional LPG yang terdiri atas sejumlah tenaga ahli dari Kementerian Koordinator Kesra, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kepolisian Republik Indonesia, Badan Standarisasi Nasional, Pemerintah Daerah, dan Pertamina yang masing-masing anggota tim memiliki tugas dan tanggungjawab sesuai kewenangannya sebagai berikut : 1. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat adalah sebagai Koordinator Tim Nasional Koordinasi Pengawasan dan Pembinaan Masyarakat. 2. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bertanggungjawab terhadap penyediaan dan Pendistribusian komoditi elpiji. 3. Kementerian Perindustrian bersama Pertamina bertanggungjawab terhadap pengawasan produk pendukung program (tabung, kompor, selang, katub dan regulator) termasuk untuk melakukan kontrol kualitas terutama terhadap perangkat paket perdana pada saat pengadaan. 4. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi bertanggungjawab dalam pengawasan terhadap produk tabung elpiji. 5. Kementerian Perdagangan bertanggungjawab untuk melakukan pengawasan barang yang beredar di pasaran khususnya produk konversi minyak tanah ke elpiji mulai dari tabung, kompor, selang, katub, dan regulator. 6. Badan Standarisasi Nasional bertanggungjawab dalam perumusan dan penetapan SNI untuk rubber seal. 7. Pemda Provinsi, Kabupaten/Kota bertanggungjawab untuk mensosialisasikan cara penggunaan elpiji yang aman di daerahnya masing-masing. 8. Pertamina bersama dengan Kementerian Perindustrian melakukan kontrol kualitas terutama terhadap perangkat paket perdana pada saat pengadaan dan tetap melanjutkan usaha sosialisasi bekerjasama dengan semua pihak.

Selain para pihak tersebut di atas, POLRI sebagaimana tanggungjawabnya dalam pengawasan terhadap perilaku pidana/kriminal akan mengawasi perilaku pidana/kriminal terkait dengan pemanfaatan elpiji. Sumber MP no.29/Thn XLVI/19 Juli 2010.

Dengan adanya tugas dan tanggungjawab antar kementerian dan lembaga yang kini sedang bekerja secara serempat di berbagai sektor, maka diharapkan tidak ada lagi upaya mencari “kambing hitam” untuk dipersalahkan apabila dikemudian hari masih marak terjadi insiden akibat pemanfaatan elpiji kemasan tabung 3 kilogram. Semua pihak harus bertanggungjawab, tetapi kadar tanggungjawabnya berbeda-beda. Namun yang pasti paling berat tanggungjawabnya adalah Kementerian Perdangangan karena instansi ini yang paling bertanggungjawab untuk melakukan pengawasan barang yang beredar di pasaran khususnya produk konversi minyak tanah ke elpiji.

Sedangkan Pertamina dan Kementerian Perindustrian hanya bertanggungjawab terhadap perangkat paket perdana. Artinya, sebelum beredar di pasaran adalah tanggungjawab Pertamina dan Kementerian Perindusterian, tetapi begitu ke luar dan beredar di pasaran adalah merupakan tanggungjawab Kementerian Perdagangan.

Terkait dengan program konversi minyak tanah ke elpiji 3 kilogram hendaknya pihak Badan Standarisasi Nasional diharapkan jangan sembarangan membubuhi label SNI terhadap perangkat elpiji 3 kilogram.

Dengan terbentuknya Tim Nasional LPG, maka diharapkan kepada seluruh elemen masyarakat, termasuk media massa, LSM, DPR/DPRD dan para pihak yang selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat sudah tahu siapa yang akan dijadi “sasaran tembak” bila suatu ketika masih terjadi musibah akibat pemanfaatan elpiji khususnya elpiji kemasan tabung 3 kilogram. Sementara secara internal, Pertamina juga telah melakukan pemasangan striker tanda bahaya yang ditempelkan di tabung elpiji 3 kilogram, mengganti dengan memberikan secara gratis 6 juta rubber seal sesuai standar SNI.

Selain itu Pertamina juga telah melakukan antisipasi dalam penggunaan kompor dan tabung elpiji 3 kilogram dengan tindakan meningkatkan quality control terhadap material konvensi, mulai penerimaan dari pabrik sampai ke saat pembagian termasuk mekanisme penukaran material rusak yang diterima selama masa garansi. Meningkatkan kontrol terhadap tabung elpiji di seluruh jalur distribusi di tingkat agen dan SPPBE, serta melakukan inspeksi dan pemberian sanksi pada jalur distribusi yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap tataniaga elpiji 3 kilogram. Realisasi dan implementasinya ditunggu.

Petronas

Masalah elpiji 3 kilogram belum sepenuhnya tuntas, kini muncul pula kasus SPBU DODO (Dealer Own, Dealer Operate) yang merupakan milik swasta, yaitu Petronas yang berada di depan gerbang pintu masuk Bandara Polonia Medan yang dikabarkan ada menjual BBM bersubsidi dengan oktan tinggi (oktan 92 ?) sehingga bensin Petronas terasa lebih unggul dan laris manis karena konsumen merasa lebih nyaman dengan bensin Petronas yang cepat pembakarannya.

Isu bahwa BBM bersubsidi Petronas memakai oktan yang lebih tinggi dari ketentuan yang berlaku telah membuat gerah Pertamina dan berbagai kalangan di Sumatera Utara, misalnya Hiswana Migas, DRPD dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sangat menyesalkan persaingan yang tidak sehat tersebut.

Yang jadi tanda tanya besar, kenapa perusahaan asing diberi kesempatan untuk menjual BBM bersubsidi. Ini artinya sama dengan bahwa pihak-pihak tertentu yang sengaja ingin menggoyang Pertamina. Media Pertamina (Tabloit internal Pertamina) ikut angkat bicara dalam editorialnya “ Saat Medan Diserbu”, (mengutip judul berita harian Medan Bisnis “ Sumut Kehilangan Rp 60 miliar Beli BBM Subsidi dari Petronas”) menyebutkan,….Apakah serbuan perusahaan asing akan dibiarkan dengan mudah merampas market share SPBU pribumi di daerah “basah” sementara daerah-daerah “kering”, sulit dan terpencil tetap tugas Pertamina ? Adilkah ? (MP edisi no. 25/Thn XLVI/21 Juni 2010)

Dari pemilihan isi/materi editorial tersebut terkesan bahwa Pertamina juga ikut gerah terhadap SPBU Petronas yang dipermasalahkan. Kalau tidak “gerah” dan “berang”, tentu kasus tersebut tidak diangkat sampai 4 (empat) kali dalam editorial Media Pertamina yaitu di MP no. 25/Thn XLVI/21 Juni 2010, MP no.26/Thn XLVI/28 Juni 2010, MP no.29/Thn XLVI/19 Juli 2010, dan MP no.34/Thn XLVI/23 Agustus 2010. Dalam editorial MP no.29/Thn XLVI/19 Juli 2010 ditulis, ” Kenapa BBM bersubsidi diberikan kepada perusahaan asing. Apakah SPBU Pertamina ini tidak sanggup mendistribusikan ? ”

Selanjutnya juga ditulis : Perdagangan bebas yang kita hormati adalah perdagangan bebas yang menjunjung persaingan murni dengan mengukur kekuatan, kemampuan, kelebihan, kelemahan, bukan privilege bentuk baru yang merusak fairness dan mengesankan justeru keistimewaan itu diberikan kepada badan usaha yang bukan milik pemerintah. Yang jadi pertanyaan, siapa yang memberikan izin penjualan BBM bersubsidi kepada perusahaan asing, dan siapa pula yang terkesan memberi keistimewaan kepada SPBU DODO Petronas, Pemerintah Malaysia atau Pemerintah Indonesia (instansi terkait) ?

Seharusnya kita tetap berlapang dada dalam menyikapi permasalahan tersebut dan jangan terseret emosional, karena semua ada mekanisme pengaturannya. Penulis yakin bahwa Petronas menjual BBM bersubsidi setelah perusahaan tersebut mengikuti mekanisme lelang. Bukankah pada alinea awal editorial MP no.29/Thn XLVI/19 Juli 2010 telah memberi sinyal bahwa pengadaan dan pendistribusian BBM PSO dilakukan melalui sistem tender. Artinya, siapa menang tender, go ahead dan yang kalah tender mundur.

Pelaksanaan pengadaan dan pendistribusian BBM bersubsudi atau dikenal sebagai BBM PSO untuk jenis Premium dan Solar, tahun 2011, siap diperebutkan. Sudah ada lima badan usaha yang sudah terseleksi untuk diseleksi lebih lanjut. Kelima badan usaha adalah PT Aneka Kimia Raya Corporindo, Tbk (AKR), PT Elnusa, Tbk. PT Petronas Niaga Indonesia, PT Shell Indonesia dan PT Total Oil Indonesia, (editorial MP no.29/Thn XLVI/19 Juli 2010) tanpa menyebutkan, Pertamina juga telah berkomitmen untuk mengikuti tender distribusi BBM bersubsidi di seluruh Indonesia untuk tahun 2011. Kini tinggal bagaimana kita mengatur strategi agar Petronas terjungkal dalam arena lelang.

Apakah gencarnya pemberitaan mengenai “pembukaan borok” Petronas akhir-akhir ini termasuk dalam trik tersebut ? Hanya pihak terkaitlah yang tahu.

Seharusnya Pertamina tidak perlu terlampau merasa “gerah” dan “berang”, bukankah Direktur Utama Pertamina Retail, Giri Santoso pernah mengatakan, “ Jangan takut kita dengan pesaing, pesaing belum tentu punya standar seperti kita yang sudah world class. Tetapi sebetulnya bisnis seperti ini kan bisnis generik, kayaknya nanti pasar yang akan menentukan. Dimana mereka puas di SPBU A akan tetap di A, atau ketika mereka puas di SPBU B, ya tetap di B……..,” ketika diwawancarai oleh Nandang Suherlan, anggota Tim Redaksi Media Pertamina seperti tertuang dalam rubrik Pojok Manajemen dalam tulisan berjudul “ Siap Bersaing, Hilangkan Kesan “Disuapi” (MP no. 25/Thn XLVI/21 Juni 2010).

Apakah dengan berdirinya 54 SPBU COCO (Company Own, Company Operate) milik Pertamina yang serba lengkap dengan konsep one stop service itu tidak “menghantam” ribuan SPBU DODO milik bangsa sendiri yang belum mampu bersaing dan kalah “kinclong” dengan SPBU COCO milik Pertamina ?

Satu hal lagi yang perlu jadi catatan, kalau memang benar bahwa masyarakat Indonesia memiliki rasa nasionalisme yang kental, pasti SPBU DODO Petronas akan ambruk sendiri. Sebab para konsumen pasti tidak akan membeli BBM di SPBU DODO milik perusahaan asing itu. Bukankah kalau Pertamina untung kita juga untung ? Kemana larinya, aku cinta produk Indonesia ? Apakah di sini pasti pas, di situ justeru lebih pasti pasnya ? Di sini tidak ada BBM jenis “premium” berkualitas Pertamax, tetapi di situ ada dijual bensin jenis “premium” yang menghasilkan pembakaran secepat bensin berjenis Pertamax dengan RON 92. Konsumenpun menyerbu SPBU DODO Petronas untuk membeli “premium” berkualitas Pertamax karena harganya subsidi. Mekanisme pasarpun terjadi. Masalah Fuel Pump akan rusak akibat pemakaian bahan bakar yang tidak sesuai peruntukannya, urusan nanti.

Kabarnya, berdasarkan standar internasional, Premium itu RON-nya 88, dan apakah premium yang dijual SPBU DODO Petronas berada di atas RON 88 ? Kalau memang benar, segel SPBU-nya, dan tangkap pemiliknya karena telah melakukan “subversi ekonomi Indonesia”. Siapa berani !? Terkait dengan hal ini, hendaknya jangan sampai muncul istilah, “Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”. Kita ngomel ngalor ngidul, SPBU DODO Petronas tetap eksis dengan praktek persaingan dagang yang kotor.

Memang harus kita sadari bahwa munculnya semua permasalahan itu sebagai dampak hadirnya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang telah mempreteli monopoli Pertamina di sektor hulu dan hilir, sehingga Pertamina terkesan “dikebiri”. UU itu kita sendiri yang buat. Apa yang mau dikatakan lagi, lakoni saja sesuai aturan mainnya.

Untuk menjadi perhatian, kalau memang benar SPBU DODO Petronas (PT Petronas Niaga Indonesia) sudah menyalahi aturan main, dan katanya Hiswana Migas, DPRD dan Pemprov Sumatera Utara juga sudah tahu, kenapa tidak ditindak oleh pihak yang berkompeten padahal sudah ada Undang-undang No. 5 Tahun 1999 yang mengantur tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ?

Pangkalansusu, 20 September 2010

No comments:

Post a Comment