Wednesday 6 October 2010

Apa itu Fabel Tiongkok Kuno ?

Oleh Freddy Ilhamsyah PA

Mungkin ada diantara pembaca yang bertanya, apa itu Fabel ? Menurut buku Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi-III bahwa Fabel itu adalah cerita yang mengambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang (berisikan pendidikan moral dan budipekerti), misalnya kancil merupakan tokoh utama di Indonesia yang berperan sebagai manusia cerdik. Tegasnya, Fabel adalah bentuk tertinggi dari kesusastraan perumpamaan yang sudah berkembang sekitar abad ke 4 dan ke 3 sebelum masehi negeri Tirai Bambu (Tiongkok), dan pada abad ke 17 sebelum masehi Fabel digunakan sebagai salah satu kesusastraan yang khas dan banyak pujangga di era Tiongkok Kuno yang mengarang atau mengumpulkan Fabel.

Fabel yang baik atau bagus bukan hanya mengisahkan cerita-cerita yang amat menarik, tapi juga mengandung ajaran-ajaran yang sangat dalam. Oleh karena itu Fabel mudah diterima dan digandrungi oleh masyarakat Tiongkok Kuno secara turun-temurun. Pada masa itu, sesuai dengan era pancarobah, berbagai aliran pujangga saling berlomba menyampaikan pemikiran mereka, sehingga tercapailah perkembangan yang sangat signifikan dalam kesusastraan dan idiologi.

Banyak diantara kebudayaan lama yang tertimbun telah ditata rapi menjadi catatan-catatan yang bersifat kesimpulan, sehingga kebudayaan itu dapat terpelihara dan menjadi pusaka bagi generasi berikutnya. Dan di dalam catatan-catatan itulah terkandung Fabel-Fabel Tiongkok tertua yang bermutu tinggi.

Di abad ke 4 sebelum masehi, dalam sejarah Tiongkok dikenal sebagai Jaman Negara-Negara Perang, banyak terdapat karangan yang mengandung unsur fabel, misalnya buku Lie Ce, Cuang Ce, Meng Ce, Yin Wen Ce, Han Fei Ce, Li Se Cun Ciu, Cerita Negara-negara Perang dan lain sebagainya. Pada masa itu Fabel merupakan semacam sarana perjuangan yang sangat tajam.

Orang yang mahir menggunakan sarana itu, bila bukan filsuf yang unggul, pasti ahli politik yang ulung. Mereka adalah orator ulung yang mengharapkan agar ajaran dan teorinya dapat dapat diterima di kalangan masyarakat serta dapat berjalan mulus di arena perpolitikan.

Menyadari bahwa dengan perkataan yang muluk-muluk tidak mungkin mengalahkan lawannya, maka mereka menggunakan fabel untuk mewujudkan pemikirannya yang kiasan-kiasan yang konkrit untuk membuktikan kebenaran teori mereka. Oleh sebab itu, Fabel yang lahir pada era tersebut, baik berupa keterangan atas suatu teori maupun yang bersifat pujian ataupun kritikan terhadap suatu kejadian yang konkrit, semua mengandung maksud dan tujuan yang tertentu, dan diarahkan kepada sasaran yang tertentu pula.

Walaupun demikian, ide, tokoh dan kisah-kisah dalam Fabel bersifat umum dan mengandung arti yang tipikal. Misalnya, Fabel berjudul “ Pencuri Ayam “ dalam buku Meng Ce karangan filsuf Meng Ko selengkapnya sbb.: Menurut alkisah di ceritakan bahwa di suatu desa ada seorang yang mempunyai kebiasaan mencuri ayam milik tetangganya setiap hari satu ekor. Pada suatu hari dia ditegur dan dinasehati oleh salah seorang tetangganya, “ Mencuri itu tidak baik.” Lalu sang pencuri menjawab, “ Betul, kalau biasanya saya mencuri ayam setiap hari seekor, maka mulai hari ini saya akan menguranginya menjadi setiap bulan seekor ayam yang saya curi, dan tahun depan saya akan menghentikan kebiasaan mencuri ayam.” Jika sudah tahu perbuatannya itu tidak baik, seharusnya segera dihentikan. Mengapa pula harus menunggu sampai tahun depan ?

Dalam kisah tersebut, filsuf Meng Ko mengiaskan seorang menteri negeri Sung yang bersikukuh tidak mau mengapus sistem penarikan pajak yang tidak adil; selain itu fabel tersebut juga merupakan kritikan kepada orang yang sudah mengaku salah, tapi tidak bersedia untuk segera memperbaiki kesalahannya.

Selain kisah di atas masih ada satu fabel yang penulis anggap masih relevan di masa ini, yaitu fabel berjudul “ Rubah dengan Keperkasaan Harimau.” Dalam fabel itu diceritakan ada seekor harimau berhasil menangkap seekor rubah di dalam semak belukar hutan belantara. Rubah yang licik itu lalu berkata kepada sang harimau, “ Kau tidak boleh memakan aku ! Aku diutus oleh Maha Dewa untuk menjadi raja bagi segala binatang yang ada di hutan belantara ini. Jika kau memangsa aku, berarti kau melanggar perintah Maha Dewa.”

Melihat sang harimau jadi bimbang lalu rubah berkata lagi, “ Jika kau tidak percaya, mari kita bukti dengan berjalan mengelilingi hutan ini, dan lihat apakah para binatang itu takut atau tidak padaku.”

Sang Harimau mmenyetujui usulan tersebut, maka merekapun berjalan berkeliling hutan. Sang rubah berjalan di depan harimau dengan congkaknya.

Melihat harimau datang, hewan-hewan berada di situ lantas lari tungganglanggang untuk menyelamatkan diri.

Dengan bangganya rubah berkata kepada sang harimau, “ Lihat, mereka ketakutan kepadaku ! ” Harimau menimpali ucapan sang rubah, “ Ya benar. Kau sangat perkasa, sehingga semua hewan berlarian ketika melihat kau datang.”

Dalam kisah fabel ini dimaksudkan untuk mengritik orang yang menindas rakyat dengan memakai kekuasaan orang lain. Kalau dijaman sekarang dapat diumpamakan, ada seseorang atau kerabat atau anak pejabat yang memanfaatkan jabatan ayahnya, abangnya, kerabatnya atau sahabatnya yang menjadi menjabat hanya untuk mempertebal kocek pribadinya.

Ada lagi cerita lain berjudul “ Pagi Tiga Buah, Malam Empat Buah “ gubahan Lie Yi Kou sekitar abad ke 5 sebelum masehi, yang mengisahkan bahwa pada jaman dahulu ada seorang di salah satu desa dekat pinggir hutan yang gemar memelihara monyet dalam jumlah besar.

Pada suatu ketika persediaan makanan untuk hewan peliharaannya sudah menipis, yaitu pisang kesukaan monyet. Orang itupun jadi bingung untuk memberi jatah pisang, dan dia mengenal betul semua tabiat monyet peliharaannya yang sudah mengerti perkataan tuannya, sehingga dia sangat sayang dengan monyet-monyet dan menghemat belanja untuk keluarganya sendiri.

Mengingat persediaan pisang sudah terbatas, maka dia berniat mengurangi jatah pisang untuk hewan peliharaannya itu, tetapi dia kawatir monyet-monyet itu tidak sepakat dengan rencananya. Lalu dia berkata, “ Wahai monyet-monyet kesayanganku, kalau setiap pagi aku berikan tiga buah pisang dan malam empat buah pisang, apakah kalian setuju ? ”

Monyet-monyet itupun menyerigai ketika mendengar ucapan tuannya, untuk mengungkapkan rasa kecewa karena makanan yang diberikan oleh tuannya terlalu sedikit.

Menyadari bahwa rencananya harus tetap berjalan, maka dia berkata lagi, “ Kalau pagi tiga buah dan malam empat buah kalian masih merasa kurang, bagaimana apabila pada pagi hari aku berikan pisang empat buah dan malam tiga buah. Puaskah kalian ? “

Mendengar bujukan yang manis itu hewan peliharaannya itupun setujuh karena tuannya telah memberi jatah lebih untuk santapan malam, yang tadinya hanya tiga buah telah ditambah menjadi menjadi empat buah.

Cerita dalam buku Lie Ce jelas berisi tipu muslihat kaum penguasa yang menjalankan politik untuk memperbodoh rakyat. Kata dalam buku itu, “ Sang nabi (baca kaum berkuasa) memerintah massa (rakyat) yang bebal (bodoh) dengan akal, seperti yang dicontohkan tuan pemelihara monyet memikat hati hewan peliharaannya dengan akal.

Maksud Lie Ce menulis fabel tersebut adalah bertujuan untuk mengingatkan setiap orang agar tidak mudah tertipu oleh rayuan gombal para penguasa yang katanya ingin menyejahterakan rakyat, tetapi justeru rakyat tetap tidak sejahtera. Di satu sisi dilebihkan, tapi di sisi lainnya terjadi pengurangan.

Contoh yang dikisahkan di atas masih relevan sampai hari ini, khususnya yang menyangkut dengan upah buruh (UMP/UMSP) yang digambarkan setiap tahun meningkat dengan tujuan untuk mensejahterakan kaum buruh. Tetapi pada intinya upah buruh tidak meningkat (kecuali angkanya) karena nilainya tetap sama dari tahun ke tahun. Lho, kenapa begitu ?

Menurut hemat penulis, upah/gaji buruh TIDAK NAIK setiap tahunnya. Sebab sebelum upah/gaji buruh naik, harga barang sudah duluan naik. “Kenaikan” upah/gaji buruh hanya untuk penyesuaian. Apabila harga barang tidak naik setiap tahunnya, baru boleh dikatakan upah buruh itu NAIK ! Kalau tidak, ya setalen tiga uang. Sama dengan “ Pagi Tiga Buah, Malam Empat Buah “ yang bila dibolak-balik angkanya tetap sama, yaitu tujuh, bukan delapan. Kalau angkanya menjadi delapan, baru dikatakan NAIK !

Refrensi : Buku “Fabel Tiongkok Kuno”/Pustaka Bahasa Asing Peking 1958 edisi bahasa Indonesia.

1 comment: