Monday 4 April 2011

Kumpulan Fabel Tiongkok Kuno Abad ke XVI (seri IV)

Gubahan : Freddy Ilhamsyah PA

Pengantar

Dalam pertemuan kita kali ini, anda akan menikmati kumpulan Fabel yang terdapat di dalam buku “Cerita Negara-negara Perang” yang disusun oleh Liu Siang pada tahun 78-6 Sebelum Masehi. Selamat membaca dan silahkan menafsirkan sendiri makna yang tersirat di dalam kisah-kisah yang terdapat di dalam Fabel Tiongkok Kuno.

Burung Berkik Dan Kerang

Seekor kerang yang sedang membuka kulitnya berjemur di tepi sungai, tiba-tiba datang seekor burung berkik mematuk kerang itu. Kerang itu terkejut dan segera mengatupkan kulitnya kuat-kuat sehingga paruh burung berkik terjepit.

“Kalau hari ini dan besok tidak hujan, niscaya di sini akan ada kerang yang mati terlentang,” kata burung berkik.

Tidak mau kalah gengsi, kerang itupun balas berkata, “Kalau sampai besok engkau tidak dapat mencabut paruhmu, maka di sini akan ada burung berkik mati terlentang.”

Burung berkik dan kerang tidak mau saling mengalah, dua-duanya sama keras kepalanya. Akibatnya, keduanya berhasil ditangkap oleh seorang nelayan yang kebetulan lewat di situ.

Meminjam Cahaya

Gadis-gadis yang tinggal di tepi sungai mempunyai kebiasaan beramai-ramai membeli minyak pelita (lampu) untuk dipakai bersama-sama dalam suatu ruang kerja.

Diantaranya ada seorang gadis miskin yang tidak mampu membeli minyak. Melihat gadis tersebut setiap datang tidak membawa minyak, maka gadis itupun diusir.

Tatkala hendak meninggalkan tempat itu, gadis miskin tersebut berkata, “Karena tidak mempunyai minyak, maka setiap hari aku datang lebih dahulu untuk membersihkan ruangan dan mengatur tempat duduk agar kalian dapat bekerja dengan nyaman. Nyala pelita terang-benderang memenuhi ruangan, mengapa kalian begitu kikir dan tidak membolehkan aku menggunakannya barang sedikit ? Padahal ini tidak merugikan kalian, tetapi sangat bermanfaat bagiku. Jadi mengapa kalian mengusir aku?”

Pendapat itu cukup beralasan dan dapat diterima akal oleh para gadis lainnya, maka gadis miskin itupun diajak bekerja bersama-sama di ruangan itu.


Siapa Yang Lebih Tampan

Cou Ci adalah orang negeri Ci, badannya tinggi kekar dan tampan. Pada suatu pagi, setelah berpakaian rapi, dia bercermin berulang-ulang, lalu bertanya pada isterinya, “Siapa yang lebih tampan antara aku dengan Adipati Si yang bertempat tinggal di Ibukota sebelah utara?”

“Tentu saja engkau jauh lebih tampan. Tidak mungkin Adipati Si dapat menandingi engkau!” jawab isterinya.

Adipati Si memang terkenal di seluruh negeri sebagai seorang pria yang tampan, maka Cou Ci sendiripun tidak percaya bahwa dirinya lebih tampan daripada Adipati Si. Oleh sebab itu, ia mengajukan pula pertanyaan kepada isteri mudanya. Jawab isteri mudanya sama dengan isteri tuanya.

Tidak berapa kemudian, seorang tamu datang mengunjungi Cou Ci. Dalam percakapan, Cou Ci bertanya kepada tamunya, “Siapa yang lebih tampan antara saya dengan Adipati Si?”

“Saudara yang lebih tampan!” jawab tamunya.

Keesokan harinya, Adipati Si datang ke rumahnya. Cou Ci memandanginya dengan sangat teliti, dan dia merasa bahwa dirinya masih kalah tampan dengan Adipati Si. Kemudian ia pergi bercermin, dan makin terasa olehnya bahwa Adipati Si jauh lebih tampan daripada dirinya.

Pada malam harinya, saat berbaring di ranjangnya, Cou Ci merenung kejadian itu, dan akhirnya dia menemukan jawabannya.

“Isteri tuaku mengatakan aku tampan karena dia cinta padaku. Isteri mudaku mengatakan aku paling tampan karena dia takut padaku. Sedangkan sang tamu, karena dia ingin minta sesuatu kepadaku.”



Menggambar Ular Berkaki

Seorang bangsawan di negeri Cu mempersembahkan korban kepada arwah nenek moyangnya. Bangsawan itu berniat memberikan secerek arak bekas upacara tadi kepada seluruh pegawainya. Tetapi bagaimana mereka dapat membaginya, araknya hanya satu cerek, sedangkan orangnya banyak. Lama dia berpikir untuk memecahkan persoalan itu, tetapi tidak ditemukan jalan keluarnya.

Akhirnya ada seorang yang mengusulkan supaya adil, setiap orang haurs menggambar ular di tanah, dan siapa yang lebih dahulu selesai, maka arak itu menjadi miliknya. Usul ini diterima oleh semua orang.

Dari para peserta itu ada seorang yang cepat menyelesaikan gambar yang diperlombakan, dan pikir dia, arak itu akan menjadi miliknya. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, dilihatnya orang lain masih belum selesai menggabar.

Dengan ceret di tangan kiri dan sebatang ranting di tangan kanan, berkatalah dia dengan sombong, “Alangkah perlahannya kalian menggambar, aku masih sempat menambahkan beberapa kaki pada gambar ular ini!”

Pada waktu ia sedang menambahkan kaki pada gambar ular itu, ada seorang peserta yang sudah selesai menggambar, dan dia merebut cerek arak itu dari tangan orang itu sambil berkata, “Ular tidak berkaki, mengapa gambar ular itu kau beri kaki? Akulah orang pertama yang menyelesaikan gambar itu. Bukan engkau!” Selesai bicara, orang itu lalu minum arak dengan nikmatnya.

Dengan demikian, orang yang membubuhkan kaki pada gambar ular itu jadi kehilangan arak yang seharusnya sudah jadi miliknya.

Note : Kumpulan Fabel Tiongkok kuno masih akan berlanjut ke seri V.

No comments:

Post a Comment