Friday 22 June 2018

Benarkah Asap Bakaran Batubara PLTU Berbahaya Bagi Kesehatan Manusia Dan Lingkungan Hidup ?

 

[caption id="attachment_1153" align="aligncenter" width="600"] Inilah cerobong asap (chimney) yang katanya ketinggiannya dirancang 160 meter (upper inner Ø 1,5 meter) dengan harapan agar gas buangnya akan berterbangan menjulang tinggi ke angkasa.[/caption]

Benarkah Asap Bakaran Batubara PLTU Berbahaya Bagi Kesehatan Manusia Dan Lingkungan Hidup ?

Oleh: Freddy Ilhamsyah PA

Pendahuluan

Sejak adanya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di berbagai daerah di Indonesia telah menimbulkan kekawatiran bagi pecinta lingkungan di Indonesia terkait dengan polusi asap bakaran batubara yang diproduksi dari chimney (cerobong asap) PLTU karena kalau salah kelola akan sangat berbahaya untuk kesehatan Manusia dan Makhluk hidup lainnya serta Lingkungan Hidup. Benarkah itu ?

Menurut Program Pemerintah dalam hal pemercepatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara adalah bertujuan agar energi listrik dapat tersalurkan sampai ke seluruh pelosok Tanah Air.

Sementara pihak PT PLN (Persero) selaku pemegang “mandat” PPRI No. 71 Tahun 2006 mendapat penugasan dari Pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan  Pembangkit Listrik yang menggunakan Batubara termasuk PLTU di wilayah Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Pangkalansusu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Lokasi PLTU 2 x 200 Mw itu berada di dekat koordinat 4° 7'10.56"Lintang Utara dan 98°15'30.03"Bujur Timur atau berjarak sekitar 120 km dari Medan (3 ½  jam dari bandara Kuala Namu International Airport Medan).

Sejalan dengan program Pemerintah pada awalnya ketika PLN bekerjasama dengan Universitas Sumatera Utara (USU) melakukan sosialisasi mengenai AMDAL di Aula Gedung Serbaguna jalan Kesatria Pangkalansusu pada tahun 2003 lalu, (sebelum berdirinya PLTU 2 Tanjung Pasir disebutkan bahwa tujuan dibangunnya PLTU New Sumbagut 2 x 200 Mw di  Paluh Merbau, Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara) dalam presentasinya antara lain menjelaskan, apabila proyek pembangunan PLTU Pangkalansusu ini selesai dikerjakan maka diharapkan dapat mengatasi krisis (kekurangan) energi listrik di Sistem Jaringan Transmisi Sumatera Utara dan NAD (Aceh) ; Mengurangi frekuensi padam listrik di Sumatera Utara dan NAD, terutama di beban puncak.

[caption id="attachment_1154" align="aligncenter" width="600"] Lokasi PLTU 2 x 200 Mw itu berada di dekat koordinat 4° 7'10.56"Lintang Utara dan 98°15'30.03"Bujur Timur atau berjarak sekitar 120 km dari Medan (3 ½ jam dari bandara Kuala Namu International Airport Medan). Foto Google Earth/Freddy Ilhamsyah PA[/caption]

Namun sangat disayangkan (pada kenyataannya) ketika energi listrik telah masuk ke Sistem Jaringan Transmisi Sumatera Utara dan NAD (Aceh) sampai tahun 2017 dan medio 2018 listrik PLN masih sering padam. Ketika ditanyakan oleh konsumen, pihak PLN menyampaikan berbagai alasan misalnya ada perbaikan jaringan, perawatan dan sebagainya. Konsumen jadi kesal karena bagaikan makan obat 1 atau 3 kali sehari listrik padam dengan jedah waktu terkadang cepat dan terkadang lama. Syukur sekarang sudah tidak separah itu lagi walaupun pemadaman listrik masih saja sering terjadi.

Mulai berdampak ?

Berdasarkan informasi dari dokter yang bertugas di Puskesmas Pangkalansusu beberapa hari lalu pada saat penulis berobat di situ secara tidak sengaja dia menyebutkan kebanyakan pasien yang berobat hari ini menyampaikan keluhan mual dan muntah. Apakah ini akibat terkena paparan asap hasil pembakaran batubara PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) atau karena makanan yang diasup sang pasien, penulis kurang tahu persis karena masih harus ada penelitian lebih lanjut oleh pihak yang berkompeten.

Sebagaimana dipublikasikan oleh media massa nasional, polusi udara, sebagian besar dari pembangkit listrik batubara, di China telah menyebabkan 1,6 juta kematian setiap tahunnya.  Partikel dari polutan batubara berkontribusi lima kali lebih besar dibanding polutan lain terkait risiko kematian dari penyakit jantung.

Menghirup udara yang tercemar tentu berdampak buruk bagi tubuh. Tetapi tidak semua polutan memiliki bahaya yang sama. Menurut studi, hasil bakaran batubara yang dipakai pembangkit listrik tenaga uap paling berbahaya apalagi kalau kualitas batubaranya tergolong kelas bawah.

Ketika arang atau batubara dibakar, konsentrasi karbon monoksida meningkat secara bertahap. Pembakaran karbon yang tak sempurna menghasilkan karbon monoksida yang mengikat kuat hemoglobin dan dengan cepat menurunkan kemampuan darah untuk mengantarkan oksigen ke tubuh.

Menurut asisten profesor kejiwaan di Uiversitas China Hong Kong mengatakan, ada beberapa gejala khas keracunan gas karbon monoksida akut seperti: Sakit kepala; Mual dan muntah; Kelelahan dan kebingungan; Sakit perut; Sesak dan susah bernapas.

Jadi apapun alasan dan penyebab hingga pasien mengalami mual dan muntah-muntah biarlah pihak terkait khususnya pihak Dinas Kesehatan setempat yang menganalisis kelanjutannya, penulis hanya berharap kepada warga Pangkalansusu dan sekitarnya (wilayah Teluk Haru) khusus bagi mereka yang bertempat tinggal di dekat lokasi PLTU Tanjungpasir agar meningkatkan kewaspadaan dini terhadap kesehatannya yang satu saat kemungkinan besar setiap hari akan terpapar polusi udara (gas buang) yang dihasilkan dari pembakaran batubara pada coal burner di PLTU-2 Tanjung Pasir melalui cerobong asap (chimney) yang katanya ketinggiannya dirancang 160 meter (upper inner Ø 1,5 meter) dengan harapan agar gas buangnya akan berterbangan menjulang tinggi ke angkasa.

Itu harapan para perancang chimney proyek PLTU-2 dan tentunya warga di wilayah Teluk Haru, tapi pada kenyataannya abu sisa pembakaran batubara berupa fly ash (abu terbang) berhamburan keluar dari puncak chimney. Debu dalam kemasan asap, terbang dan disebar-luaskan kemana-mana (sesuai arah angin berembus). Kalau lah benar gas buang bercampur debu (fly ash) terbang ke angkasa (secara vertikal), tapi kalau masih berada di dalam atmosfir bumi, maka cepat atau lambat akan terbawa lagi ke bumi ketika terjadi hujan, bahkan menjadi hujan asam.

Kabarnya PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) – 2 Paluh Merbau, Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Pangkalansusu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara memakai boiler tipe Pulverized Coal Boiler (PC Boiler) yang disebut kandungan NOₓ nya rendah dalam gas buangnya, tapi kalau warga masyarakat setiap hari disuguhkan NOₓ (nitrogen dioksida) walaupun dikatakan berkadar rendah tapi tetap saja dapat menjadi penyebab gangguan pernapasan (ISPA).

Bukan hanya itu saja, masyarakat juga rentan terjangkit penyakit dalam seperti penyakit Jantung Iskemik, Kanker Paru-paru, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit pernafasan, stroke dan kardiovaskular.

Nitrogen Oksida yang dihasilkan oleh pembakaran batubara biasa disebut dengan NOₓ. NOₓ meliputi semua jenis senyawa yang tersusun atas atom nitrogen dan oksigen. Nitrat oksida (NO) dan nitrogen dioksida (NOₓ) menjadi penyusun utama dari polutan ini. NO, yang paling banyak jumlahnya, terbentuk pada pembakaran bertemperatur tinggi hingga dapat mereaksikan nitrogen yang terkandung pada bahan bakar dan/atau udara, dengan oksigen. Jumlah dari NOₓ yang terbentuk tergantung atas jumlah dari nitrogen dan oksigen yang tersedia, temperatur pembakaran, intensitas pencampuran, serta waktu reaksinya.

Menurut data yang ada pada penulis dapat diketahui bahwa PLTU-2 Tanjung Pasir memakai superheater untuk melipatgandakan suhu dan tekanan uap hingga mencapai suhu 570°C dan tekanan sekitar 200 bar. Uap dengan tekanan dan suhu yang tinggi inilah yang menjadi sumber tenaga memutar turbin.

Memang harus diakui bahwa sejak awal rencana pembangunan Proyek PLTU New Sumbagut 2x200 Mw dekat Paluh Merbau di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Pangkalansusu, Kabupaten Langkat beberapa tahun lalu telah dirancang untuk menerapkan metode prakiraan dampak penting meliputi :

  1. Metode formal yaitu pemodelan matematis;

  2. Metode informal : analogi dan baku mutu yang mengacu pada kriteria penilaian Pasal 22 UU PPLH No 32 Tahun 2009 dengan mempertimbangkan :



  • Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak;

  • Luas wilayah persebaran dampak; Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

  • Banyaknya komponen lingkungan hidup lain terkena dampak;

  • Sifat kumulatif dampak;

  • Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak; serta

  • Kriteria lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


Sedangkan metode evaluasi dampak penting dilakukan dengan cara : Evaluasi parsial yaitu terkait dengan simpangan dari kondisi normal, terlampaui baku mutu, daerah sensitif terancam; Evaluasi menyeluruh terkait perilaku masing-masing dampak dan keterkaitan antar dampak.

Sementara mengenai Sistem Penanganan Limbah buangan berupa Gas SOx dan NOx ditangkap dengan Flue Gas Desulphurized (FGD); Debu ditangkap dengan ESP; Limbah padat hasil operasional kantor ke TPA sampah; Limbah cair ditampung di kolam penampungan limbah dan ada proses oksidasi, flocculation, sedimentasi, filtrasi dan netralisasi cairan hingga air buangan aman untuk dialirkan kembali ke laut.

Electrostatic Precipitator (ESP) adalah alat penangkap debu terbang (Fly ash) yang bekerja dengan prinsip perbedaan muatan listrik; dan Gas buang yang keluar dari cerobong asap (chimney) dinyatakan relatif bersih. Sedangkan terkait dengan konsentrasi debu terbang batubara pihak PLTU-2 Paluh Merbau Tangjung Pasir mengacu kepada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. Kep-13/MENLH/3/1995 yakni debu terbang batubara maksimum yang diperbolehkan 150 mg/m3.

Pertanyaannya adalah, apakah akurasi implementasi kebijakan itu sudah dilakukan dengan baik dan benar atau belum oleh pihak PLTU-2 Paluh Merbau Tanjung Pasir ? Apakah peralatan ESP tetap prima dan tidak sering rusak ? Tugas dan tanggungjawab monitoring terkait hal tersebut di atas berada ditangan pihak Dinas Lingkungan Hidup setempat dan/atau pihak PROPER Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.

Yang sudah jelas, menurut berita yang dipublikasikan kompas.com pada Rabu, 12 Agustus 2015 dikabarkan, adanya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara yang tersebar di Indonesia mengancam kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU batubara. Sejak adanya PLTU batubara yang beroperasi di suatu daerah, masyarakat akan terpapar polusi udara yang dihasilkan dari PLTU batubara setiap harinya.

Masih menurut kompas.com, berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan tim peneliti dari Universitas Harvard, polusi udara yang dihasilkan PLTU batubara di Indonesia dapat menyebabkan kematian dini sekitar 6500 jiwa per tahun.

“Emisi dari PLTU batubara itu membentuk partikel dan ozon yang berdampak buruk bagi kesehatan,” ujar peneliti dari Universitas Harvard Profesor Shannon Koplitz melalui video conference dalam jumpa pers yang dilakukan Greenpeace Indonesia di Jakarta, Rabu (12/8/2015).

“Kebanyakan dampaknya terjadi dekat PLTU. Di kota-kota yang dekat. Polusinya itu tinggal di udara selama beberapa hari,” lanjut ahli batubara dan polusi udara Greenpeace Lauri Myllyvirta.

Sementara menurut Badan Energi Internasional (IEA) mengungkapkan bahan bakar fosil Batubara menyumbang 44% dari total emisi CO₂ global. Pembakaran Batubara adalah sumber terbesar emisi gas GHG (green house gas), yang memicu perubahan iklim.

Batubara yang dibakar di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) memancarkan sejumlah polutan seperti NOₓ dan SO₃, kontributor utama dalam pembentukan hujan asam dan polusi PM2.5.

Masyarakat ilmiah dan medis telah mengungkap bahaya kesehatan akibat partikel halus (PM2.5) dari emisi udara tersebut. PLTU Batubara juga memancarkan bahan kimia berbahaya dan mematikan seperti merkuri dan arsen. Kalau ungkapan di atas adalah benar, maka sangat menyeramkan “si pembunuh darah dingin” (silent killer) yang mampu mematikan Anda secara perlahan dan pasti.

Terkait dengan hal tersebut di atas maka penulis merasa terpanggil untuk menyampaikan hal tersebut kepada masyarakat yang memang punya hak mendapatkan informasi ini agar dapat lebih meningkatkan kewaspadaan dini masyarakat tentang kesehatan dan lingkungan hidup di Kecamatan Pangkalansusu dan sekitarnya.

Atas dasar itu maka penulis coba mencari data di Google terkait dengan bahaya yang ditimbulkan akibat adanya pembakaran batubara beserta polutan lainnya yang disemburkan dari cerobong asap PLTU. Hasil yang ditemukan adalah sebagai berikut :

Menurut para peneliti partikel dari bahan bakar fosil, terutama batubara, diketahui yang paling besar dampaknya, bahkan mendekati kematian, dibanding polutan lainnya.

Batu bara diketahui berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi di negara industri. Sekitar 18 persen dari kebutuhan energi AS berasal dari pembangkit listrik batubara. Sementara itu di negara berkembang, hampir sebagian besar mengandalkan batubara untuk sumber energi.

Kesadaran akan kontribusi energi pada perubahan iklim dan dampaknya bagi kesehatan manusia membuat para penentu kebijakan menetapkan aturan-aturan baru.

Sementara menurut Onny di situs web Artikel Teknologi Indonesia yang berisikan kumpulan artikel sains dan teknologi dalam artikelnya berjudul “Polutan-polutan Hasil Pembakaran Batubara Pada Boiler” antara lain menulis : Bentuk polusi yang paling banyak diakibatkan oleh pembakaran batubara adalah polusi udara. Polusi udara adalah terkontaminasinya udara oleh bahan berbahaya yang karena jumlah ataupun karakteristiknya, dapat membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan sekitar. Selain menghasilkan gas-gas buang yang dapat mencemari udara, akumulasi dari debu-debu hasil pembakaran batubara dapat menempel di pipa-pipa boiler dan membentuk semacam kerak yang disebut slag. Melalui perlakuan khusus menggunakan sootblower, slag akan jatuh dalam bentuk padatan yang selanjutnya dikumpulkan untuk diperlakukan lebih lanjut.

Namun, masih menurut Onny dalam tulisannya itu,  polutan-polutan pencemar udara, yang dihasilkan oleh pembakaran batubara antara lain adalah SO₂, NOₓ, CO, dan material partikulat. Selain itu ada bahan polutan lain yang disebut udara beracun yaitu polutan yang sangat berbahaya meskipun jumlahnya hanya sedikit dihasilkan oleh pembakaran batubara. Namun udara beracun ini perlu kita bahas juga lebih lanjut karena sifatnya yang sangat membahayakan kesehatan manusia.

Berikut adalah penjelasan lebih detail mengenai polutan-polutan tersebut:

Sulfur Dioksida

Batubara memiliki kandungan sulfur yang dapat mencapai 10% dalam fraksi berat. Namun rata-rata kandungan sulfur di dalam batubara berada di kisaran 1-4% tergantung dari jenis batubara tersebut. Proses pembakaran batubara menyebabkan sulfur tersebut terbakar dan menghasilkan gas sulfur dioksida (SO₂) dan sebagian kecil menjadi sulfur trioksida (SO₂).

Secara langsung, sulfur oksida dapat menyebabkan iritasi pada alat pernapasan manusia, mengurangi jarak pandang kita, sekresi muskus berlebihan, sesak napas, dan lebih lanjut dapat menyebabkan kematian. Reaksi sulfur oksida dengan kelembaban ataupun hujan, dapat menimbulkan hujan asam yang sangat berbahaya bagi tanaman, hewan terutama hewan air, serta sifatnya yang korosif dapat merusak infrastruktur-infrastruktur yang ada.

Sulfur Trioksida

Sebagian kecil sulfur dioksida yang terbentuk pada pembakaran batubara, terkonversi menjadi sulfur trioksida (SO₃). Rata-rata SO₃ terbentuk sebanyak 1% dari total gas buang pembakaran. Satu sistem pada boiler yang berfungsi untuk mengontrol gas buang NOx, memiliki efek samping meningkatkan pembentukan SO₃ dari 0,5% sampai 2%. SO₃ sangat mudah bereaksi dengan air untuk membentuk asam sulfat (H₂SO₄) pada temperatur gas buang di bawah 260°C. Seperti yang Anda ketahui bahwa asam sulfat bersifat amat sangat korosif dan berbahaya.

SO₃ memiliki sifat higroskopis yang sangat agresif. Higroskopis adalah sebuah sifat untuk menyerap kelembaban dari lingkungan sekitarnya. Sebagai gambaran untuk Anda, SO₃ yang mengenai kayu ataupun bahan katun dapat menyebabkan api seketika itu juga. Kasus ini terjadi karena SO₃ mendehidrasikan karbohidrat yang ada pada benda-benda tersebut. Polutan ini juga sangat jelas berbahaya bagi manusia, karena apabila terkena kulit, kulit tersebut akan seketika mengalami luka bakar yang serius. Atas dasar inilah polutan SO₃ harus ditangani dengan sangat serius agar tidak mencemari lingkungan sekitar.

Nitrogen Oksida

Nitrogen Oksida yang dihasilkan oleh pembakaran batubara biasa disebut dengan NOₓ. NOₓ meliputi semua jenis senyawa yang tersusun atas atom nitrogen dan oksigen. Nitrat oksida (NO) dan nitrogen dioksida (NOₓ) menjadi penyusun utama dari polutan ini. NO, yang paling banyak jumlahnya, terbentuk pada pembakaran bertemperatur tinggi hingga dapat mereaksikan nitrogen yang terkandung pada bahan bakar dan/atau udara, dengan oksigen. Jumlah dari NOₓ yang terbentuk tergantung atas jumlah dari nitrogen dan oksigen yang tersedia, temperatur pembakaran, intensitas pencampuran, serta waktu reaksinya.

Bahaya polutan NOₓ yang paling besar berasal dari NO₂, yang terbentuk dari reaksi NO dengan oksigen. Gas NO₂ dapat menyerap sprektum cahaya sehingga dapat mengurangi jarak pandang manusia. Selain itu NOₓ dapat mengakibatkan hujan asam, gangguan pernapasan manusia, korosi pada material, pembentukan smog dan kerusakan tumbuhan.

Karbon Monoksida

Gas yang tidak berwarna dan juga tidak berbau ini terbentuk dari proses pembakaran yang tidak sempurna. Karbon monoksida (CO) dihasilkan dari proses pembakaran batubara di boiler dalam jumlah yang relatif sangat kecil. Bahaya paling besar yang diakibatkan oleh CO adalah pada kesehatan manusia dan juga hewan. Jika gas CO terhirup, ia akan lebih mudah terikat oleh hemoglobin darah daripada oksigen. Hal ini menyebabkan tubuh akan kekurangan gas O₂, dan jika jumlah CO terlalu banyak akan dapat menyebabkan penurunan kemampuan motorik tubuh, kondisi psikologis menjadi stress, dan paling parah adalah kematian.

Abu (Fly Ash)

Hasil pembakaran batubara di boiler juga menghasilkan partikel-partikel abu dengan ukuran antara 1 hingga 100 μm. Abu tersebut mudah terlihat oleh mata kita, bahkan dapat mengganggu jarak pandang jika tersebar di udara bebas. Selain itu fly ash sangat berbahaya jika sampai terhirup oleh manusia, karena ia dapat melukai bagian-bagian penting sistem pernapasan kita.

Fly ash tersusun atas beberapa senyawa padat, diantaranya adalah SiO₂, Al2O₃, Fe₂O₃, dan CaO. Di samping itu, fly ash juga mengandung logam-logam berat dan partikel-partikel lain yang sangat beracun bagi manusia jika berada dalam jumlah yang cukup. Racun-racun tersebut berasal dari batubara, diantaranya adalah arsenik, berilium, cadmium, barium, chromium, tembaga, timbal, mercury, molybdenum, nikel, radium, selenium, thorium, uranium, vanadium, dan seng.

Karbon Dioksida

Sejak tahun 1980-an, efek dari meningkatnya jumlah emisi CO₂ akibat ulah manusia semakin diperhatikan. CO₂ yang dikenal dengan sebutan gas rumah kaca, menjadi satu dari beberapa gas buang yang mengakibatkan terjadinya global warming (pemanasan global). CO₂ selalu dihasilkan oleh semua jenis proses pembakaran yang menggunakan bahan bakar fosil berbasis hidrokarbon.

Menangani emisi CO₂ tidak semudah menangani emisi gas buang lainnya, seperti SO₂ misalnya. Karena jumlah produksi CO₂ dari proses pembakaran yang secara alamiah selalu berjumlah banyak. Salah satu metode paling efektif untuk mengurangi pembentukan CO₂ adalah dengan memperbaiki tingkat efisiensi dari proses pembakaran (energi yang lebih banyak dari bahan bakar yang lebih sedikit). Saat ini metode-metode untuk mengurangi jumlah penggunaan bahan bakar karbon untuk menghasilkan energi yang lebih besar terus dikembangkan.

Penutup

Beberapa uraian tersebut sudah sepantasnya bagi pemerintah daerah setempat yang wilayahnya berdekatan dengan PLTU-2 Alur Merbau, Tanjung Pasir untuk segera melakukan pengkajian ulang dan/atau melakukan monitoring terhadap emisi gas buang yang ditimbulkan oleh cerobong asap PLTU-2 (sesuai UUPLH No.23 tahun 1997 Pasal 10). Tindakan preventif yang efektip yaitu dengan mengambil keterangan kepada Puskesmas di wilayah Teluk Haru dan sekitarnya mengenai medical record (catatan medis) para pasien yang berobat di Puskesmas apakah mereka (pasien) telah terpapar oleh dampak adanya asap bermuatan abu terbang (fly ash) yang mengandung gas sulfur dioksida (SO₂), SiO₂, Al2O₃, Fe₂O₃, dan CaO yang mengandung racun-racun yang berasal dari pembakaran batubara, diantaranya adalah arsenik, berilium, cadmium, barium, chromium, tembaga, timbal, mercury, molybdenum, nikel, radium, selenium, thorium, uranium, vanadium, dan seng.

Selain itu perlu juga dipantau mengenai penyebaran karbon monoksida (CO) yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara di boiler dalam jumlah yang relatif sangat kecil. Bahaya paling besar yang diakibatkan oleh CO adalah pada kesehatan manusia dan juga hewan. Jika gas CO terhirup, ia akan lebih mudah terikat oleh hemoglobin darah daripada oksigen. Hal ini menyebabkan tubuh akan kekurangan gas O₂, dan jika jumlah CO terlalu banyak akan dapat menyebabkan penurunan kemampuan motorik tubuh, kondisi psikologis menjadi stress, dan paling parah adalah kematian.

Itulah beberapa jenis polutan yang berbahaya bagi keselamatan manusia dan alam akibat dampak yang ditimbulkan oleh asap yang keluar dari cerobong asap hasil pembakaran batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap.

Sasaran penulis membuat tulisan ini hanya sebagai informasi sekaligus imbauan agar para pihak terkait untuk berupaya keras memantau dan mengurangi emisi akibat pembakaran batubara supaya tercapai keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara kesehatan manusia dan lingkungan hidup.

Di dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) antara lain menyatakan: Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan cara (e) menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan sebagaimana penulis lakukan dengan tulisan ini.

Teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mungkin boleh dibilang sudah cukup modern (canggih) apalagi peralatan dan teknisinya berasal dari Tiongkok. Kalau memang benar teknologi PLTU asal negeri tirai bambu itu canggih dan dampak yang ditimbulkannya aman bagi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan hidup, mengapa media massa mempublikasikan, polusi udara, sebagian besar dari pembangkit listrik batubara, di China telah menyebabkan 1,6 juta kematian setiap tahunnya.

Sementara menurut kompas.com, berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan tim peneliti dari Universitas Harvard, polusi udara yang dihasilkan PLTU batubara di Indonesia dapat menyebabkan kematian dini sekitar 6500 jiwa per tahun. Apakah benar demikian ? Ini perlu dilakukan penelitian ulang yang lebih mendalam dari para pihak terkait.

Beberapa hal tersebut di atas perlu dikaji ulang dan/atau dimonitoring secara berkala khususnya mengenai dampak negatif yang ditimbulkan oleh kelebihan baku mutu emisi dari Chemniy PLTU demi keselamatan generasi sekarang dan seterusnnya. ***

NB.: Tulisan tersebut di atas merupakan rangkuman yang diolah dari berbagai sumber yaitu dari situs web artikel-teknologi.com, rona.metrotvnews.com, sains.kompas.com, dan dari data sosialisasi AMDAL terkait rencana pembangunan proyek PLTU-2 Paluh Merbau Tanjung Pasir, serta sumber terpercaya lainnya.

  1. https://artikel-teknologi.com/polutan-polutan-hasil-pembakaran-batubara-pada-boiler/

  2. https://sains.kompas.com/read/2015/12/05/100000823/Polusi.Hasil.Pembakaran.Batu.Bara.Paling.Berbahaya.

  3. http://rona.metrotvnews.com/kesehatan/4ba7ajrK-kenali-bahaya-racun-briket-batubara-yang-diduga-tewaskan-jonghyun-shinee


Pangkalansusu, akhir Mei 2018

Penulis adalah mantan wartawan Harian Bukit Barisan, Medan Unit Departemen Pertambangan & Energi Jakarta (sekarang dikenal sebagai Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral), dan juga mantan staf Humas PT Pertamina EP Region Sumatera (Prabumulih) Field Pangkalan Susu (pesiun akhir tahun 2009).

No comments:

Post a Comment