Wednesday 30 March 2011

Kumpulan Fabel Tiongkok Kuno Abad Ke XVI (seri II)

Gubahan : Freddy Ilhamsyah PA

Pengantar :

Terima kasih anda telah membaca tulisan berjudul : “Apa Itu Fabel Tiongkok Kuno?”, dan Kumpulan Fabel Tiongkok Kuno Abad ke XVI (seri I) yang merupakan kesusasteraan perumpamaan ciptaan sasterawan Tiongkok Kuno, di antaranya, Li Pu Wei (?-235sM), Cuang Cou (abad ke 3-4sM), Lie Yi-Kou (abad ke 7-5sM), Yin Wen (abad ke 4-3sM), Meng Ko (372-289 sM), Yen Ying (abad ke 7-5sM) dan Pan Ku (32-92sM) yang disusun dalam buku Lie Ce, Cuang Ce, Meng Ce, Yin Wen Ce, Han Fei Ce, Han Fei Ce, Li Se Cun Ciu dan lain-lain.

Buku Fabel Tiongkok Kuno kini merupakan barang langka yang sulit ditemukan di pasaran bebas, dan secara kebetulan penulis temukan buku berjudul “Fabel Tiongkok Kuno” pada tahun 1983 di rumah teman yang berprofesi sebagai penampung kardus/karton, koran dan buku bekas di kawasan Jelambar, Jakarta Barat.

Katak Di Dalam Sumur

Di dalam sebuah sumur yang sudah tidak terpakai terdapat seekor katak yang menempati sumur itu sebagai istananya.

Pada suatu hari, katak itu bertemu dengan seekor bulus besar dari Samudera Timur. Berkatalah sang katak kepada bulus, “Alangkah senangnya aku hidup di tempat ini. Bila saat aku gembira, maka aku berlompat-lompat di tepi sumur ini. Kalau sudah penat kecapaian bermain, aku pulang ke dalam sumur an tidur di dalam sela batu bata. Kadang-kadang aku berendam dengan tenang di dalam air, atau berjalan-jalan kian kemari di atas lumpur yang empuk. Betapa nyaman rasanya! Baik yuyu maupun berudu, bukanlah baninganku! Apalagi sebagai pemilik sumur ini, aku dapat bergerak bebas sesuka hatiku di sini. Mengapa saudara tidak sering main-main ke dalam sumur?

Setelah mendengar perkataan sang katak, timbullah keinginan bulus masuk ke dalam sumur untuk melihat-lihat. Tetapi, baru saja kakinya yang sebelah itu dilangkahkan ke dalam sumur, kakinya yang sebelah kanan tersangkut, maka mundurlah sang bulus satu dua langkah, lalu bercerita kepada sang katak tentang keadaan Samudera Raja.

“ Pernahkah saudara melihat samudera? Samudera itu lebih dari seribu li* luasnya dan lebih dari selaksa kaki dalamnya. Pada jaman dahulu, sembilan tahun dari sepuluh tahun datanglah bencana banjir, tetapi tak seberapa air samudera itu bertambah. Kemudian, terjadi pula bencana kemarau tujuh tahun dalam delapan tahun, tetapi tak seberapa juga air samudera itu berkurang. Ternyata, baik bencana kemarau maupun banjir tidak berpengaruh atas samudera yang luas itu. Hidup di dalam samudera yang luas itulah baru boleh dikatakan senang!”

Mendengar ceritera sang bulus, sang katak jadi terdiam seribu bahasa. (Cuang Ce)

* Satu li sama dengan 500 meter. ** Selaksa sama dengan 10 ribu.

Burung Hantu Pindah Tempat

Pada suatu hari, seekor burung hantu bertemu dengan seekor burung perkutut, dan mereka saling bersapa.

“ Kau mau pergi ke mana?,” tanya burung Perkutut.

“Aku hendak pindah ke daerah timur,” jawab burung Hantu.

“Apa sebabnya?” burung Perkutut kembali bertanya.

“Semua orang di sini tidak senang mendengar suaraku,” kata burung Hantu. “Itulah sebabnya mengapa aku ingin pindah tempat.”

“Baiklah kalau kau dapat mengubah suaramu. Kalau tidak, meskipun kau pindah ke daerah timur, orang-orang disanapun akan tetap benci padamu.” (Suo Yuén)


Kiasan Tentang Belajar Giat

“Usiaku sudah tujuhpuluh tahun, walaupun aku ingin belajar dan membaca buku, tetapi selalu terasa olehku agaknya sudah terlambat,” kata Adipati Ping dari negeri Cin kepada Se Kuang, seorang pemain musik buta.

“Sudah terlambat? Mengapa tidak pasang lilin?” Se Kuang menimpali.

“Aku berkata dengan sungguh-sungguh, mengapa kau berani berolok-olok?” kata Adipati Ping.

“Maaf, saya hanya seorang hamba yang buta, tidak mungkin saya berani bergurau dengan yang mulia,” kata Se Kuang.

Sesungguhnya, bila ada seseorang yang giat belajar pada masa muda, lanjut Se Kuang, maka masa depannya bagaikan sang surya terbit pada waktu fajar, gemilang dan cemerlang. Tetapi kalau dia giat belajar sesudah setengah umur, maka masih belajar seperti matahari pada tengah hari, dan jika dia giat belajar sesudah usia lanjut, bagaikan sinar lilin saja. Meskipun sinar lilin tidal begitu terang, tetapi dengan adanya sinar lilin toh lebih baik daripada meraba-raba di dalam kegelapan.

Adipati Ping menerung sejak memikirkan perkataan Se Kuang, dan berujar, “Benar perkataanmu itu.” (Suo Yuén)

Raja Naga Menjelma Menjadi Ikan

Pada suatu ketika, raja naga dari kayangan menjelma menjadi seekor ikan yang besar dan berenang di sungai.

Kebetulan seorang pengail menjumpainya. Tanpa buang waktu sang pengail melepaskan anak panahnya tepat mengenai salahsatu mata ikan sehingga menjadi buta.

Raja Naga itu kembali ke kayangan dan mengajukan tuntutan kepada Maha Dewa.

Maha Dewa bertanya kepada raja naga, “Ketika pengail itu memanah engkau, apakah dia tahu bahwa engkau adalah Raja Naga?”

“Waktu itu saya menjelma menjadi seekor ikan,” jawab Raja Naga.

“Kalau begitu, apa salahnya si pengail? Sudah tentu pengail akan menangkap ikan.” (Suo Yuén)

Sampai bertemu kembali di Kumpulan Fabel Tiongkok Kuno Abad ke XVI seri ke III.

Pangkalansusu, 30 Maret 2011

No comments:

Post a Comment