Tuesday 9 November 2010

Politik Itu Asyik Tak Asyik

Oleh : Freddy Ilhamsyah PA

Meminjam istilah Iwan Fals yang pendapatnya mengenai politik di negeri ini bahwa politik itu asyik tak asyik (penulis jadikan judul tulisan ini). Ibarat main catur, kalau tak mengatur (arah bidak), tak menggertak, tak asyik. (Harian Global 11/2/’10)

Penulis sependapat dengan penyanyi kondang yang syair-syair lagunya sangat tajam dalam hal mengeritik pemerintah. Lihat saja akhir-akhir ini sudah banyak bermunculan obrolan di beberapa kelompok warga negara Indonesia mulai dari sementara kalangan politikus, pengamat politik, dan orgamisasi yang mengatasnamakan rakyat terkait dengan isu 100 hari kepemimpinan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid-II.

Ada yang pro dan ada pula yang kontra.Itu biasa Yang pro mengatakan sudah berjalan sebagaimana mestinya, dan berhasil, khususnya dalam hal menyikat kelompok terroris, dan membuikan koruptor walaupun belum sepenuhnya tuntas. Sedangkan yang kontra mengatakan SBY belum sepenuhnya berhasil mewujudkan janji-janji semasa kampanye, yaitu menyejahterakan rakyat.

Di dalam era reformasi dan transformasi demokrasi yang terasa mulai mengental sejak runtuhnya rezim Orde Baru, dan adalah Kyai Haji Abdur Rachman Wahid alias Gus Dur yang membuka gembok belenggu kebebasan sebagaimana yang telah diamanatkan di dalam kitab UUD 1945 Pasal 28, yaitu “ Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

Sejak itu, orang-orang yang tadinya dibelenggu kebebasannya, kini sudah mulai lantang bersuara bagaikan pakar yang maha tahu, terpandai untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat dari belenggu kemiskinan dan kebodohan.
Ada yang menyampaikan aspirasinya dengan aksi demonstrasi yang terkadang berbuntut anarkis, dan ada pula oknum penyelenggara Negara yang berbicara dalam forum resmi maupun tidak resmi untuk memakmurkan rakyat dan Negara Kesatuan Repuplik Indonesia.

Akan tetapi kenyataannya apa ? Rakyat masih banyak yang miskin dan bodoh atau dibodoh-bodohi seperti kisah dalam Fabel Tiongkok Kuno berjudul “Pagi Tiga Buah, Malam Empat Buah”. Untuk mengetahui kisah ini selengkapnya, silahkan berkunjung ke Freddyilhamsyah’s Blog.

Berbeda ketika sedang berlangsungnya “pesta demokrasi” atau “pesta rakyat” yang berkaitan dengan pemilihan anggota legislatif, pemilihan bupati, walikota, dan gubernur sampai presiden, rakyat dielu-elu dan dijanjikan ini dan itu melalui program itu dan ini. Ketika sudah menduduki jabatan, yang dikampanyekan mulai buram. Rakyat hanya menerima nol koma sekian persen dari yang dijanjikan. O….itu tidak betul !!! Apa iya….?

Lihat Jakarta, Ibukota Negara Republik Indonesia yang dijanjikan bebas macet dan banjir. Tetapi kenyataannya apa ? Kemacatan bertambah macet, dan banjirpun bertambah parah, hampir kesemua sudut kota. Apa komentar pejabat terkait ? Dijawab dengan enteng, itu bukan banjir tapi hanya luapan air. Anehkan ? Kalau air masuk ke daratan kota, itu namanya banjir, be !

Akan tetapi apa lagi yang mau dikatakan, nasi sudah menjadi bubur. Betullah kata-kata dalam satu syair lagu bahwa, lidah memang tidak bertulang, dan dunia itu hanya panggung sandiwara.

Lihatlah betapa politik belakangan ini menjadi tontonan mengasyikkan yang ratingnya bahkan mengalahkan sinetron-sinetron dan reality show. (Harian Global 11/2/10 hal.2)

Reshuffle cabinet

Publik ingin melihat perkembangan kasus Bank Century. Ingin melihat Ruhut Sitompul, yang entah karena sebab apa rela menggerus elisitas dirinya untuk tampil sebagai seorang pembela yang begitu mati-matian. Mereka juga ingin melihat bagaimana seorang kepala Negara, symbol pemerintahan tertinggi, curhat, bicara mulai soal sasaran tembak, kerbau, sampai “ancaman halus” reshuffle (perombakan kabinet). Detik - Viva - Antara - Global 11/2/10

Begitu isu reshuffle kabinet bergulir, suhu politikpun mulai bergetar seperti gunung Merapi yang mulai menggeliat. Banyak kalangan yang berkompeten mulai dag dig dug dan bertanya-tanya, siapa yang bakal dilengserkan, dan siapa pula yang bakal diangkat untuk menggantikan menteri yang dilengserkan. Loby politikpun mulai dirancang strateginya agar “orangnya” atau dirinya dapat menduduki kursi empuk di kementerian A ataupun kementerian B. Menteri yang dilengserkan pasti menteri yang dinilai tidak mampu melaksanakan program di kementeriannya.

Asyiknya, ketika sebagian politikus mengharap “politik balas budi” dari Kepala Negara dengan menyodorkan “jagoannya” atau dirinya sendiri, peristiwa mirip pencalonan Kapolri beberapa waktu lalu terulang kembali. Kecewa dan marah !? Sah-sah saja.

Akan tetapi harus diingat bahwa presiden tidak bekerja seorang diri dalam menjalankan roda pemerintahan. Ada Kepala Lingkungan, Kepala Desa, Lurah, Camat, Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri, Mahkamah Agung, TNI dan Polri serta DPR/ MPR.. Namun sayangnya, Apabila ada beberapa instansi yang “amburadul”, maka presiden jadi sasaran hujatan dari pihak-pihak tertentu dengan cara menggelar aksi demonstrasi

Presiden pilih sendiri wakilnya, orang ribut. Presiden menolak dua orang calon Kapolri pilihan orang-orang di luar istana, dan menunjuk satu nama calon tunggal Kapolri. DPR menyetujuinya dengan alasan pilihan SBY sudah tepat. Nah, misalnya, kalau Kapolri atau menteri pilihan presiden atau titipan dari luar istana ternyata tidak dapat bekerja sesuai harapan masyarakat (katanya), ribut lagi. Presiden SBY yang dipersalahkan, bukan oknum yang duduk di kursi Dewan Yang Terhormat. Pada hal keputusan terakhir berada dalam kewenangan DPR RI. Kalau memang tidak tetap pilihan presiden, tolak ! Bukan diaminkan dengan koor.

Memang betul Iwan Fals, politik itu asyik tak asyik, kalau tak mengatur tak asyik.

Pangkalansusu, 28 Oktober 2010

No comments:

Post a Comment