Friday 30 July 2010

Penjelasan atas gugatan PT Delila Petro Mengenai Kasus Buluh Telang

PENJELASAN ATAS GUGATAN

PT. DELILA MENGENAI KASUS BULUH TELANG



Sehubungan dengan adanya pengaduan Nurwahi (PT. Delila Petro) kepada pihak Polsek Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, dan adanya Surat Panggilan Polsek Padang Tualang No.Pol.S.Pgl/285/IX/2003 tanggal 11 September 2003 tentang pencurian minyak mentah (crude oil) di Buluh Telang oleh pihak Pertamina, maka untuk itu perlu dijelaskan bahwa sejak awal kemerdekaan NKRI, bangsa Indonesia telah menetapkan landasan kebijaksanaan nasional yang antara lain menggariskan falsafah dan tujuan pengelolaan bumi, air dan seluruh kekayaan alamnya termasuk minyak dan gas bumi.

Landasan kebijaksanaan nasional tersebut dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan berlakunya pada tanggal 18 Agustus 1945. Berbunyi ketentuan tersebut sebagai berikut :

Pasal 33

 Ayat (2) : Cabang - cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajad hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.

 Ayat (3) : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sementara itu, sejak tahun 1960 dasar hukum yang berlaku untuk seluruh kegiatan perminyakan adalah Undang - undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 yang juga disebut sebagai Undang - undang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Undang - undang ini telah merombak secara mendasar prinsip-prinsip pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi yang sebelumnya diatur dalam perundang - undangan Hindia Belanda, yaitu Indische Mijn Wet (IMW) 1899.

Latar belakang lahirnya IMW

Keberhasilan A.J. Zijlker mendapatkan sumber minyak di Telaga Said pada tanggal 15 Juni 1885 telah membuat pemerintah Belanda mendirikan perusahaan tambang minyak di Hindia Belanda (Indonesia, pen.), yaitu De Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Exploitatie van Petroleumbronnen in Nederlandsche Indie (De KONINKLIJKE) pada tahun 1890 yang sekaligus mengambil-alih konsesi lahan milik Zijlker.

Pengambil-alihan lahan konsesi Zijlker dilakukan atas dasar Koninklijke Besluit ( 24 Oktober 1850). Peraturan Pertambangan yang kemudian disusul dengan peraturan pelaksanaannya, yaitu Ordonansi Pertambangan Tahun 1866 yang diberlakukan dengan Koninklijke Besluit tanggal 26 Januari 1866.

Sejak itu wewenang Penguasa Zelfbestuur dibatasi. Mereka hanya dapat memberikan konsesi kepada warga negara Belanda perorangan atau perusahaan swasta untuk mengusahakan bahan galian tertentu (minyak, pen.) pada sebidang tanah dengan membayar loyalty. Konsesionaris atau pemegang konsesi mempunyai hak untuk melaksanakan penambangan dalam wilayah konsesinya selama 75 tahun.

Dengan ketentuan tersebut ROYAL DUTCH SHELL dengan BPM sebagai operatornya memperoleh peluang untuk memonopoli usaha pertambangan minyak dan gas bumi di Hindia Belanda. Sejak itu, perusahaan minyak dari negara lain jadi terhalang untuk mendapatkan izin usaha / berusaha di Hindia Belanda.

Sebagai tindaklanjut dari dikeluarkannya IMW, Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan beberapa peraturan pelaksanaan antara lain Mijn Ordonnantie 1930, Mijn Politic Reglement 1930 dan Petroleum Opslag Ordonnantie 1927.

Pembatalan Hak-hak Pertambangan

Sejak Negara Kesatuan Repulik Indonesia memperoleh kedaulatan penuh, Dewan Perwakilan Rakyat Sementara ( DPR - S ) pada tanggal 2 Agustus 1951 menyampaikan mosi agar Pemerintah dalam waktu singkat meninjau kembali keberadaan Indische Mijn Wet (IMW) 1899 yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan azas-azas pokok pemikiran Bangsa Indonesia. Mosi ini menimbulkan pro dan kontra yang berkepanjangan dan dapat mengganggu stabilitas nasional. Akhirnya pada tanggal 26 Desember 1956 Pemerintah melalui PP No.34 Tahun 1956 mengambil keputusan untuk tidak mengembalikan hak - hak konsesi yang ada di bumi Nusantara (Indonesia).

Dengan dikeluarkan PP tersebut, maka Pemerintah mulai melakukan penertiban hak - hak konsesi yang sebagian besar sudah tidak dilaksanakan oleh pemiliknya sejak perang kemerdekaan.Tindakan penertiban tersebut berupa pembatalan hak-hak pertambangan dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1959 pada tanggal 28 Maret 1959.

Sejak diberlakukannya Undang - undang tersebut, IMW (Indische Mijn Wet) dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian sistem konsesi dan Kontrak 5A dihapus dari bumi Indonesia dan diganti dengan cara pengusahaan baru yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Sesuai Undang-undang tersebut, pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi diberikan dalam bentuk kuasa pertambangan kepada Perusahaan Negara cq PERTAMINA. Sedangkan perusahaan minyak asing bekas pemegang hak konsesi dan Kontrak 5A dapat meneruskan operasinya sampai berakhirnya tenggang waktu peralihan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Selanjutnya kepada Perusahaan tersebut diberikan prioritas untuk mengalihkan operasinya menjadi kontraktor Pertamina dalam Perjanjian Karya atau yang sekarang dikenal sebagai Kontrak Production Sharing (KPS), Joint Venture (JV), Technical Assistance Contract (TAC), dan Joint Operating Body (JOB).

Ketentuan pokok dalam Undang - undang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi antara lain menyangkut penguasaan Negara atas minyak dan gas bumi, penyelenggaraan usaha pertambangan minyak dan gas bumi oleh Negara dan Kuasa Pertambangan untuk Perusahaan Negara (Pertamina) meliputi usaha-usaha eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan dan penjualan.

Selanjutnya, pemegang Kuasa Pertambangan adalah pelaksanaan usaha pertambangan minyak dan gas bumi untuk Negara dan bukan penguasa wilayah perminyakan tertentu seperti halnya dalam sistem konsesi. Sesuai prinsip tersebut, maka ditetapkan kewajiban Pemegang Kuasa Pertambangan untuk mengembalikan sebagian atau seluruh Wilayah Kuasa Pertambangan apabila tidak diusahakan lagi. Semua data, peta dan gambar yang bersangkutan dengan Wilayah Kuasa Pertambangan minyak dan gas bumi adalah milik Negara, oleh karenanya harus dikembalikan kepada Pemerintah pada saat pengembalian Wilayah Kuasa Pertambangan yang bersangkutan. Contoh kasus sudah berlaku pada Caltex di Riau beberapa waktu lalu.

Setelah melihat uraian tersebut di atas, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya yang menyangkut dengan adanya UU Migas No.22 Tahun 2001 yang telah menggugurkan UU No.44 Prp Tahun 1960 , UU No.15 Tahun 1962 dan UU No.8 Tahun 1971, secara tegas dan gamblang dinyatakan bahwa Hak-hak konsesi pertambangan minyak dan gas bumi yang pernah berlaku di masa penjajahan Belanda (era pemerintahan kolonial Hindia Belanda) dinyatakan BATAL demi hukum, termasuk apa yang diakui oleh PT. Delila Petro sebagai "penerus" Mijn Consessie BRITISH SUBJECT 1894.

Dalam Pasal 4 ayat (1) secara tegas dinyatakan : Minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. Sedangkan dalam Pasal yang sama ayat (2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.

Sementara dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152 pada penjelasan atas UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas lebih memperjelas makna yang tersirat di dalam Pasal 4 ayat (1) yang selengkapnya sbb.: Berdasarkan jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis yang terkandung di dalam bumi Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud di atas adalah agar kekayaan nasional tersebut dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, baik perorangan, masyarakat maupun pelaku usaha, sekalipun memilik hak atas sebidang tanah di permukaan, tidak mempunyai hak menguasai ataupun memiliki minyak dan gas bumi yang terkandung di bawahnya. Jadi tidak ada alasan lagi bagi pihak PT. Delila untuk mengakui atau menggugat bahwa rembesan minyak mentah di Desa Bulu Telang adalah milik perusahaannya (PT. Delila, pen).

Sedangkan mengenai surat-surat rekomendasi yang pernah diterima oleh pihak PT. Delila Petro baik dari Gubsu maupun Bupati Langkat beberapa tahun lalu, sudah dicabut atau dibatalkan oleh Gubsu dan Bupati Langkat. Jadi jelas sudah bahwa PT. Delila Petro tidak mempunyai hak penguasaan ataupun kepemilikannya atas rembesan minyak mentah (crude oil) di Desa Buluh Telang (Struktur Telaga Darat), Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Nah, apabila pihak PT. Delila tetap ngotot ingin menguasai ladang minyak yang terdapat di Desa Bulu Telang secara ilegal, maka yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi pidana seperti yang diatur dalam Pasal 52 dan Pasal 53 dari UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas.

Pangkalan Susu, 15 September 2003
Penulis,
Freddy Ilhamsyah PA
Penulis adalah staf Humas Pertamina Area Operasi Pangkalan Susu

No comments:

Post a Comment