Oleh: Freddy Ilhamsyah PA
Empat dari 14 terpidana mati sudah dieksekusi mati di kawasan Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Indonesia pada Jumat, 29 Juli 2016 dini hari sekitar pukul 00.46 WIB.
Menurut Sindonews.com dalam berita berjudul “Empat Terpidana Mati Sudah Dieksekusi, Termasuk Freddy Budiman” (Jum'at, 29 Juli 2016 − 02:17 WIB) menulis, mereka yang telah dieksekusi mati itu adalah Freddy Budiman, Michael Titus, Humprey Ejike dan Cajetan Uchena Onyeworo Seck. Eksekusi dilakukan di lapangan tembak Limus Buntu, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Dalam berita itu juga ditulis, belum ada keterangan resmi dari pihak Kejaksaan Agung dan pihak berwenang terkait pelaksanaan eksekusi mati ini.
Yang jadi pertanyaan publik, kenapa hanya almarhum Freddy Budiman (40) saja yang digadang-gadang oleh media nasional sehingga menjadi top news? Kenapa pers “meninggalkan” tiga tereksekusi mati lainnya ?
Menurut prakiraan penulis, almarhum Freddy Budiman (lahir di Surabaya, Jawa Timur 19 Juli 1976) yang dieksekusi mati pada Jumat, 29 Juli 2016 atau 10 hari menjelang Ulang Tahunnya yang ke 40 telah menjadi semacam “Mr. Blower” atas pengakuannya kepada Kontras Haris Azhar.
Penulis jadi teringat dengan kasus Nazaruddin yang juga jadi Mr.Blower terkuaknya kasus Hambalang dan beberapa kasus lainnya sehingga menyeret beberapa penyangkal masuk ke jaring KPK dan dijebloskan ke penjara.
Kisah “misteri” pengakuan si pemilik 1.412.476 butir ekstasi itu juga bukan hanya menyedot perhatian pers tapi juga jadi perhatian Kapolri dan beberapa anggota Komisi III DPR RI termasuk jadi perhatian publik setelah dipublikasikan oleh media (elektronik dan cetak) mengenai pengakuan Freddy Budiman, terpidana mati karena menjadi gembong narkoba atau pebisnis narkoba yang berawal dari hasil perbincangan antara Haris Azhar (Koordinator Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dengan Freddy Budiman yang diposting di dinding akun Facebook dan Twitter Kontras pada Kamis, 28 Juli 2016 yang kemudian disebarluaskan oleh Sindonews.com melalui berita berjudul “Diusut, Curhat Freddy Budiman Beri Rp90 M kepada Pejabat Polri” pada Jum'at, 29 Juli 2016 pukul 21:22 WIB dan beberapa media nasional lainnya.
Buntutnya, publik dibuat kaget dengan adanya pernyataan Freddy kepada Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar bahwa dia mengaku kerap menjadi 'perahan' oknum aparat hukum. Pernyataan itu disampaikan kepada Haris saat berkunjung ke Lapas Nusakambangan pada medio 2014.
Walaupun belum ada bukti otentik dengan apa yang dicurhatkan oleh mantan model majalah dewasa itu, testimoninya melalui Haris bisa dimanfaatkan pemerintah terutama aparat penegak hukum untuk menyelidiki kebenaran hal itu. Kalau ternyata benar, sikat yang terbukti dengan hukuman seberat-beratnya karena yang bersangkutan sudah ikut andil dalam memarakkan peredaran narkoba di Tanah Air.
Dikabarkan oleh Sindonews: Kepada Kontras Haris Azhar, Freddy buka-bukaan soal oknum Polri, BNN, hingga Bea Cukai yang ikut menikmati gurihnya bisnis narkoba."Cerita itu confirm (benar) dituturkan saat 2014 lalu," kata Haris saat dihubungi Sindonews, Jumat (29/7/2016).
Di bagian lain berita itu juga ditulis pengakuan Freddy kepada Haris sbb.: Freddy melanjutkan lagi. “Dan kenapa hanya saya yang dibongkar? Kemana orang-orang itu. Dalam hitungan saya selama beberapa tahun kerja menyelundupkan narkoba, saya sudah memberi uang Rp450 miliar ke BNN. Saya sudah kasih Rp90 miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jendral duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun.”
Pertemuan antara Haris Azhar dan Freddy di Lapas Nusakambangan terjadi pada medio 2014 lalu. Di tengah-tengah masa kampanye Pilpres 2014, Haris memperoleh undangan dari sebuah organisasi gereja yang aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusakambangan.
Kata-kata yang disampaikan Freddy kepada Haris seperti tersebut di atas tentu saja menimbulkan semacam tandatanya besar bagi sementara kalangan, apakah benar cerita Freddy seperti yang disampaikan Haris kepada Sindonews ? Ini perlu penyelidikan lebih mendalam baik oleh aparat penegak hukum terkait atau wartawan Sindonews untuk menggali lebih dalam lagi melalui indeep investigation reporting agar cerita Freddy kepada Haris bisa jadi terang-benderang.
Tandatanya besar di sementara kalangan harus segera terjawab dengan cara mengungkapkan siapakah ”mistery guest” di bawah ini
- Saya sudah memberi uang Rp450 miliar ke BNN.
- Saya sudah kasih Rp90 miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri.
- Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jendral duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun.
- Ketika ditanya Haris, dimana saya bisa dapat cerita ini ? Kenapa anda tidak bongkar cerita ini ? Freddy menjawab: “Saya sudah cerita ke lawyer saya, kalau saya mau bongkar, ke siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak Haris bisa menceritakan ke publik luas, saya siap dihukum mati, tapi saya prihatin dengan kondisi penegak hukum saat ini. Coba Pak Haris baca saja di pleidoi saya di pengadilan, seperti saya sampaikan di sana.”
Lalu Haris mengaku mencari pleidoi Freddy Budiman di internet yang kaya data, tetapi pledoi tersebut tidak ada di website Mahkamah Agung, yang ada hanya putusan yang tercantum di website tersebut. Dalam putusan tersebut juga tidak mencantumkan informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan aparat negara dalam kasusnya.
Kami di Kontras mencoba mencari kontak pengacara Freddy, tetapi menariknya, dengan begitu kayanya informasi di internet, tidak ada satu pun informasi yang mencantumkan di mana dan siapa pengacara Freddy. Dan kami gagal menemui pengacara Freddy untuk mencari informasi yang disampaikan, apakah masuk ke berkas Freddy Budiman sehingga bisa kami mintakan informasi perkembangan kasus tersebut.
Yang penulis anggap masih “misterius” yaitu:
- Siapakah oknum petugas BNN yang menerima uang sebesar Rp450 miliar dari Freddy Budiman?
- Siapakah oknum pejabat tertentu di Mabes Polri yang menerima uang Rp90 miliar dari Freddy Budiman ?
- Siapakah oknum Jenderal TNI bintang 2 yang memberi fasilitas mobil kepada Freddy Budiman ?
- Selain itu perlu digali, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman ? Bukankah status Freddy Budiman sebagai penjahat kelas “kakap” justru harus diawasi secara ketat ? (seperti diungkapkan Haris kepada Sindonews).
- Siapakah Hakim dan Jaksa yang menangani kasus Freddy Budiman ?
- Siapakah ketika itu sebagai pengacaranya Freddy Budiman ?
- Kenapa pengakuan Freddy Budiman kepada Haris Azhar yang diperoleh pada medio 2014 baru di-posting di dinding akun Facebook dan Twitter Kontras, pada Kamis, 28 Juli 2016 sehari menjelang eksekusi dilaksanakan ?
- Kenapa ada oknum pejabat BNN yang sering berkunjung ke Nusakambangan minta kepada Sitinjak (Kepala Lapas Nusa Kambangan (NK) saat itu, agar mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman tersebut ?
Seharusnya pada tahun 2014 pengakuan Freddy Budiman diungkapkan ke media dan kalau kawatir mengungkapkannya ke aparat penegak hukum terkait (karena diduga ada yang terlibat), paling tidak dikoordinasikan atau disampaikan kepada presiden secara terang-benderang bahwa ada oknum-oknum tertentu (nama-namanya ini – kalau memang ada disebutkan nama) yang “main-mata” dengan terpidana mati Freddy Budiman agar kegiatan operasinya (Freddy) bisa berjalan lancar.
Terkait mengenai pledoi Freddy Budiman, kenapa tidak dimuat di website Mahkamah Agung, kecuali hasil keputusan Mahkamah Agung. Dalam putusan tersebut juga tidak mencantumkan informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan aparat negara dalam kasusnya. Ungkap Haris.
Menurut Haris (seperti yang diberitakan Sindonews) Kami di Kontras mencoba mencari kontak pengacara Freddy, tetapi menariknya, dengan begitu kayanya informasi di internet, tidak ada satu pun informasi yang mencantumkan dimana dan siapa pengacara Freddy. Dan kami gagal menemui pengacara Freddy untuk mencari informasi yang disampaikan, apakah masuk ke berkas Freddy Budiman sehingga bisa kami mintakan informasi perkembangan kasus tersebut.
Permasalahannya menurut pendapat penulis, kalau sekiranya pengakuan Freddy Budiman segera ditindaklanjuti, paling tidak, dan atau mungkin presiden bisa mempertimbangkan pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana (Freddy) agar dapat ditunda untuk membongkar jaringan narkoba yang boleh dikatakan sudah “menggurita” di Indonesia. Contohnya, 10 orang terpidana eksekusi mati lainnya bisa ditunda dengan berbagai alasan. Kenapa ada yang sudah divonis hukum mati lebih lama dari Freddy Budiman bisa ditunda pelaksanaan eksekusinya ?
Sementara Freddy Budiman yang divonis hukuman mati pada tahun 2013 karena menjadi gembong narkoba atau pebisnis narkoba sudah dieksekusi mati pada 29 Juli 2016 padahal waktu vonis hukuman mati itu baru berjalan 3 tahun. Ini tentu menimbulkan tandatanya besar di sementara kalangan. Ada apa ini ?
Pertanyaan lain muncul atas pernyataan Jampidum Kejaksaan Agung Noor Rachmad yang mengatakan, rencana awal jumlah terpidana mati yang akan dieksekusi berjumlah 14 orang. Namun dengan berbagai pertimbangan, hanya 4 terpidana yang akhirnya dieksekusi.
"Sementara ada 4 terpidana yang dieksekusi. Pertimbangannya keempat-keempatnya sudah mengajukan PK dua kali dan ditolak," kata Noor di dermaga Wijaya Pura, Jumat (29/7/2016).
Menurutnya, pertimbangan lain eksekusi hanya dilakukan pada empat terpidana adalah karena keempatnya merupakan pemasok. Sedangkan 10 terpidana lainnya tidak seluruhnya pemasok.
Kalau menurut penulis, yang namanya sudah terpidana mati ya....harus dihukum mati. Apalagi sudah dipublikasikan bahwa pelaksanaan eksekusi mati pada Jum’at, 29 Juli 2016 ada sebanyak 14 orang. Kalau tidak ya....jangan diumumkan. Kalau pertimbangannya adalah itu, kenapa tidak diumumkan saja bahwa yang bakal dieksekusi mati pada hari itu adalah 4 orang ?
[caption id="attachment_989" align="aligncenter" width="600"] Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu[/caption]
Anggota Komisi III DPR RI juga bertanya
Alasan Kejaksaan Agung (Kejagung) menunda eksekusi 10 terpidana mati kasus narkotika juga dipertanyakan anggota Komisi III DPR Nasir Djamil.
Nasir menilai Kejagung tidak menjelaskan tentang pertimbangan aspek yuridis dan non-yuridis alasan penundaan eksekusi 10 terpidana mati.
Dia khawatir penundaan eksekusi sepuluh terpidana mati itu lebih karena ada tekanan atau instruksi dari pihak tertentu. "Kalau empat orang yang sudah dieksekusi itu bisa bangun, mereka akan tanya, kok sepuluh orang itu enggak ditembak seperti aku, enggak adil dong, kenapa?" ujar Nasir saat dihubungi wartawan, Jumat (29/7/2016).
Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini berpendapat, seharusnya Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menjelaskan penundaan eksekusi sepuluh terpidana mati itu secara utuh termasuk menjelaskan aspek yuridis dan non-yuridis.
Sementara anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu menyatakan, tertundanya eksekusi mati ini menggambarkan sikap Kejagung yang dinilai plin-plan. "Ya itu berarti plin-plan," kata Masinton saat dihubungi Sindonews, Minggu (31/7/2016).
Politikus PDIP ini mengungkapkan, seharusnya eksekusi ini tidak boleh ditunda. Karena semua sudah mengetahui dan sudah diumumkan bahwa sejumlah 14 terpidana mati akan dieksekusi.
"Penundaan eksekusi terhadap 10 terpidana mati kasus narkoba menampakkan bahwa pelaksanaan eksekusi yang sudah memiliki putusan hukum tetap menjadi rapuh dan tidak jelas," ucap Masinton.
[caption id="attachment_990" align="aligncenter" width="600"] Jaksa Agung Muda Pidana Umum Noor Rachmad[/caption]
Jampidum Kejaksaan Agung menjawab
Sindonews dalam berita berjudul “10 Terpidana Mati Batal Menghadapi Regu Tembak” yang dipublikasi pada Jum'at, 29 Juli 2016 pukul 03:05 WIB menulis, Jampidum Kejaksaan Agung Noor Rachmad mengatakan, rencana awal jumlah terpidana mati yang akan dieksekusi berjumlah 14 orang. Namun dengan berbagai pertimbangan, hanya 4 terpidana yang akhirnya dieksekusi.
"Sementara ada 4 terpidana yang dieksekusi. Pertimbangannya keempat-keempatnya sudah mengajukan PK dua kali dan ditolak," kata Noor di dermaga Wijaya Pura, Jumat (29/7/2016).
Menurutnya, pertimbangan lain eksekusi hanya dilakukan pada empat terpidana adalah karena keempatnya merupakan pemasok. Sedangkan 10 terpidana lainnya tidak seluruhnya pemasok.
"Seck Osmani pemasok. Dia pemasok heroin. Humpret juga tampak kelicikannya, seolah-olah membuat warung," jelas Noor.
Terkait pelaksanaan eksekusi 10 terpidana mati lainnya, Noor menyebut eksekusi tetap akan dilakukan secara bertahap. Namun Noor tidak menyebut waktu pastinya. "Tentu untuk periode berikutnya," pungkasnya.
[caption id="attachment_987" align="aligncenter" width="600"] Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian (Sindophoto)[/caption]
Kapolri Telusuri Pengakuan Kontras Haris Azhar
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian memberikan mandat kepada Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Boy Rafli Amar untuk menemui Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar.
Boy diminta untuk meminta penjelasan Haris mengenai informasi yang menyebut Freddy Budiman, terpidana mati perkara narkoba yang mengaku pernah memberi uang Rp90 miliar kepada pejabat di Mabes Polri.
"Kalau kita lihat yang beredar viral itu informasinya kan enggak jelas, ada polisi, ada disebut-sebut nama BNN. Ingin tahu, apakah Pak Haris mendapat informasi itu, ada enggak nama-nama yang jelas berikut buktinya," kata Tito di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta, Jumat (29/7/2016).
Tito menjelaskan, jika benar ada data yang menyatakan hal tersebut maka Polri akan menindaklanjutinya. "Tapi kalau hanya data seperti viral saja, ini bisa diterjemahkan," ujar mantan Kapolda Metro Jaya ini.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Boy Rafli Amar selaku penerima mandat dari Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian akan menemui Koordinator Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar.
Boy akan menanyakan kepada Haris terkait pernyataannya mengenai pengakuan terpidana mati Freddy Budiman yang pernah memberi uang kepada pejabat di Mabes Polri sebesar Rp90 miliar.
"Ada janji sama beliau (Haris), kita mau tahu seperti apa. Apa benar, agar tidak jadi fitnah," kata Boy Rafli di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta, Jumat (29/7/2016).
Cerita tentang pengakuan terpidana mati kasus narkoba Freddy Budiman soal banyaknya oknum pejabat negara dalam bisnis narkotika menjadi perhatian publik pasca eksekusi yang dilakukan Kejaksaan Agung pada Jumat, 29 Juli 2016, dini hari.
Pejabat BNN keberatan adanya dua kamera pengawas ?
Pada bagian lain (cerita Haris kepada Sindonews) disebutkan: Saya patut berterima kasih pada Bapak Sitinjak, Kepala Lapas Nusa Kambangan (NK) saat itu, yang memberikan kesempatan bisa berbicara dengannya dan bertukar pikiran soal kerja-kerjanya.
Menurut saya, Pak Sitinjak sangat tegas dan disiplin dalam mengelola penjara. Bersama stafnya beliau melakukan sweeping dan pemantauan terhadap penjara dan narapidana.
Pak Sitinjak hampir setiap hari memerintahkan jajarannya melakukan sweeping kepemilikan HP dan senjata tajam. Bahkan saya melihat sendiri hasil sweeping tersebut, ditemukan banyak sekali HP dan sejumlah senjata tajam.
Tetapi malang Pak Sitinjak, di tengah kerja kerasnya membangun integritas penjara yang dipimpinnya, termasuk memasang dua kamera selama 24 jam memonitor Freddy budiman. Beliau menceritakan sendiri, beliau pernah beberapa kali diminta pejabat BNN yang sering berkunjung ke Nusakambangan, agar mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman tersebut.
“Saya mengangap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman ? Bukankah status Freddy Budiman sebagai penjahat kelas “kakap” justru harus diawasi secara ketat ? Pertanyaan saya ini terjawab oleh cerita dan kesaksian Freddy Budiman sendiri,” kata Haris kepada Sindonews.
Sementara yang mengeluarkan pernyataan “aneh” juga muncul dari Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia (Jari 98) yang mensinyalir cerita Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengenai pengakuan terpidana mati Freddy Budiman menjelang eksekusi sebagai upaya pelemahan Badan Narkotika Nasional (BNN)
"Ini ada upaya melemahkan upaya pemberantasan narkoba oleh BNN," tegas Ketua Dewan Presidium Jari 98 Willy Prakarsa di Jakarta, Jumat (29/7/2016).
Willy mempertanyakan sikap Haris yang baru menceritakan tentang keterlibatan aparat penegak hukum menjelang eksekusi terpidana mati. Cerita itu diposting di media sosial.
"Kalau mau punya niat baik, harusnya Haris buka dari awal," ujarnya.
Dia juga mendesak Kontras untuk membuka nama oknum TNI yang disebut-sebut tersebut agar tidak menimbulkan saling curiga antara sesama bintang dua TNI.
"Kalau tidak membuka, berarti (Haris) menyebarkan berita bohong. Juga mencemarkan institusi TNI yang kita cintai. Itu buktikan jika tidak Haris perlu digugat oleh pihak TNI," tuturnya. ***
Sumber data: sindonews.com dan harianterbit.com
No comments:
Post a Comment