JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan kewenangannya dalam memeriksa dan
memutus sengketa pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). Hal ini tertuang
dalam Putusan No. 97/PUU-XI/2013 yang dibacakan oleh Ketua MK Hamdan Zoelva
pada Senin (19/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
\\\"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Pasal
236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844) dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945,\\\" ucap Hamdan membacakan permohonan yang diajukan oleh Forum
Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), BEM Universitas Esa Unggul, dan Gerakan
Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ).
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi
Wahiddudin Adams, Mahkamah berpendapat, dalam memahami kewenangan MK yang
ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, harus kembali melihat makna teks,
original intent, makna gramatika yang komprehensif terhadap UUD 1945. Oleh
karena itu, sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas, pemilihan umum menurut Pasal 22E UUD
1945 harus dimaknai secara limitatif, yaitu pemilihan umum yang diselenggarakan
untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dan
dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Berdasarkan putusan tersebut, lanjut
Wahiddudin, yang dimaksud pemilihan umum setiap lima tahun sekali pada Pasal
22E UUD 1945 adalah pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan
Wakil Presiden secara bersamaan setiap lima tahun sekali atau pemilihan lima
kotak suara.
“Dengan demikian, jika memasukkan pemilihan kepala daerah menjadi
bagian dari pemilihan umum sehingga menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi
untuk menyelesaikan perselisihan hasilnya, bukan saja tidak sesuai dengan makna
original intent dari pemilihan umum sebagaimana telah diuraikan di atas, tetapi
juga akan menjadikan Pemilu tidak saja setiap lima tahun sekali, tetapi
berkali-kali, karena pemilihan kepala daerah sangat banyak dilakukan dalam
setiap lima tahun dengan waktu yang berbeda-beda,” ujarnya.
Di samping itu, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menambahkan sebagaimana
telah menjadi pendirian Mahkamah dalam pertimbangan putusannya Nomor
1-2/PUU-XII/2014, tanggal 13 Februari 2014 sebagaimana telah dikutip di atas,
kewenangan lembaga negara yang secara limitatif ditentukan oleh UUD 1945 tidak
dapat ditambah atau dikurangi oleh Undang-Undang maupun putusan Mahkamah karena
akan mengambil peran sebagai pembentuk UUD 1945. “Dengan demikian, menurut
Mahkamah, penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan memperluas makna pemilihan
umum yang diatur Pasal 22E UUD 1945 adalah inkonstitusional,” paparnya.
Kemudian, mencegah adanya kekosongan hukum terkait dengan adanyan
putusan ini, lanjut Patrialis, meski MK tidak berwenang mengadili dan memutus
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, namun tidaklah berarti bahwa segala
putusan Mahkamah mengenai perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah sejak
tahun 2008 yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang diatur dalam UU 12/2008
serta UU 48/2009, menjadi batal dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
“Berdasarkan Pasal 47 UU MK yang menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno
terbuka untuk umum”, sehingga semua putusan Mahkamah mengenai sengketa pemilihan
umum kepala daerah adalah tetap sah,” tuturnya.
Patrialis menjelaskan untuk menghindari keragu-raguan, ketidakpastian
hukum serta kevakuman lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil
pemilihan umum kepala daerah karena belum adanya Undang-Undang yang mengatur
mengenai hal tersebut maka penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum
kepala daerah tetap menjadi kewenangan Mahkamah.
Pendapat Berbeda
Dalam putusan tersebut, tiga hakim konstitusi memiliki pendapat
berbeda, yakni Wakil Ketua MK Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil
Sumadi, dan Anwar Usman, Arief mengungkapkan tugas dan kewenangan Mahkamah,
seharusnya bukan hanya berusaha menemukan maksud dari pembentuk konstitusi,
tetapi berusaha pula untuk menemukan makna yang dikehendaki oleh teks norma
konstitusi itu sendiri untuk menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapi di
masa kini dan masa depan. Selain itu, Mahkamah juga mempunyai kewenangan untuk
bisa menghidupkan konstitusi dari masa ke masa (the living constitution) untuk
menghadapi berbagai tantangan yang
tentunya akan berbeda pada tiap zamannya.
Sementara Anwar berpendapat apabila Mahkamah menyatakan diri tidak
berwenang mengadili sengketa Pemilu Kada dengan pertimbangan tidak diatur dalam
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, seharusnya hal tersebut dinyatakan sejak pertama
kali menerima permohonan penyelesaian sengketa Pemilu Kada pada tahun 2008.
“Sebab hal tersebut menyangkut kewenangan mutlak yang dapat membawa akibat
hukum tersendiri,” imbuhnya.
Sedangkan Fadlil menjelaskan Oleh karena sistem dan mekanisme rekrutmen
pengisian kepala daerah adalah pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E maka
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah berdasarkan uraian di atas adalah
perselisihan hasil pemilu (PHPU). Perselisihan hasil merupakan bagian daripada
sistem. Perselisihan hasil sebagai
sesuatu permasalahan sistem harus dapat diselesaikan. Untuk itu haruslah
ada forum yang menyelesaikannya. PHPU adalah perselisihan hukum konstitusi
terkait dengan pemilu sebagai mekanisme dalam pelaksanaan hak konstitusional di
bidang politik, khusunya hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk
dipilih (right to be voted or to be candidate). Mahkamah Konstitusi merupakan
penyelenggara peradilan sebagai forum penyelesaian perselisihan dengan
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan konstitusi. “Oleh karena itu
berdasarkan Pasal 24C ayat (1) maka Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
PHPU kepala daerah dan dengan demikian maka permohonan Pemohon seharusnya
ditolak,” tandas Fadlil.
Sebagaimana diketahui, Pasal 236C UU 12/2008 menyatakan:
Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah
Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Adapun Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 menyebut:
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final
untuk:
e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. (MK)
No comments:
Post a Comment