Wednesday, 21 May 2014

Bukan Rezim Pemilu, Kewenangan MK Memutus Sengketa Hasil Pemilukada Inkonstitusional


Ekspresi Para Pemohon dari FKHK,BEM Univ. Esa Unggul,dan GMHJ setelah mendengarkan putusan dari Ketua MK Hamdan Zoelva dalam Putusan No. 97/PUU-XI/2013 pada Senin (19/5) di Ruang Sidang Pleno MK. (Foto Humas MK/Ifa).

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan kewenangannya dalam memeriksa dan memutus sengketa pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). Hal ini tertuang dalam Putusan No. 97/PUU-XI/2013 yang dibacakan oleh Ketua MK Hamdan Zoelva pada Senin (19/5) di Ruang Sidang Pleno MK.

\\\"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,\\\" ucap Hamdan membacakan permohonan yang diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), BEM Universitas Esa Unggul, dan Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ).

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams, Mahkamah berpendapat, dalam memahami kewenangan MK yang ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, harus kembali melihat makna teks, original intent, makna gramatika yang komprehensif terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, sebagaimana telah diuraikan tersebut  di atas, pemilihan umum menurut Pasal 22E UUD 1945 harus dimaknai secara limitatif, yaitu pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dan dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Berdasarkan putusan tersebut, lanjut Wahiddudin, yang dimaksud pemilihan umum setiap lima tahun sekali pada Pasal 22E UUD 1945 adalah pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan setiap lima tahun sekali atau pemilihan lima kotak suara.

“Dengan demikian, jika memasukkan pemilihan kepala daerah menjadi bagian dari pemilihan umum sehingga menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan perselisihan hasilnya, bukan saja tidak sesuai dengan makna original intent dari pemilihan umum sebagaimana telah diuraikan di atas, tetapi juga akan menjadikan Pemilu tidak saja setiap lima tahun sekali, tetapi berkali-kali, karena pemilihan kepala daerah sangat banyak dilakukan dalam setiap lima tahun dengan waktu yang berbeda-beda,” ujarnya.

Di samping itu, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menambahkan sebagaimana telah menjadi pendirian Mahkamah dalam pertimbangan putusannya Nomor 1-2/PUU-XII/2014, tanggal 13 Februari 2014 sebagaimana telah dikutip di atas, kewenangan lembaga negara yang secara limitatif ditentukan oleh UUD 1945 tidak dapat ditambah atau dikurangi oleh Undang-Undang maupun putusan Mahkamah karena akan mengambil peran sebagai pembentuk UUD 1945. “Dengan demikian, menurut Mahkamah, penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan memperluas makna pemilihan umum yang diatur Pasal 22E UUD 1945 adalah inkonstitusional,” paparnya.

Kemudian, mencegah adanya kekosongan hukum terkait dengan adanyan putusan ini, lanjut Patrialis, meski MK tidak berwenang mengadili dan memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, namun tidaklah berarti bahwa segala putusan Mahkamah mengenai perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah sejak tahun 2008 yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang diatur dalam UU 12/2008 serta UU 48/2009, menjadi batal dan tidak berkekuatan hukum mengikat. “Berdasarkan Pasal 47 UU MK yang menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”, sehingga semua putusan Mahkamah mengenai sengketa pemilihan umum kepala daerah adalah tetap sah,” tuturnya.

Patrialis menjelaskan untuk menghindari keragu-raguan, ketidakpastian hukum serta kevakuman lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah karena belum adanya Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut maka penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah tetap menjadi kewenangan Mahkamah.

Pendapat Berbeda
Dalam putusan tersebut, tiga hakim konstitusi memiliki pendapat berbeda, yakni Wakil Ketua MK Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman, Arief mengungkapkan tugas dan kewenangan Mahkamah, seharusnya bukan hanya berusaha menemukan maksud dari pembentuk konstitusi, tetapi berusaha pula untuk menemukan makna yang dikehendaki oleh teks norma konstitusi itu sendiri untuk menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapi di masa kini dan masa depan. Selain itu, Mahkamah juga mempunyai kewenangan untuk bisa menghidupkan konstitusi dari masa ke masa (the living constitution) untuk menghadapi berbagai tantangan yang  tentunya akan berbeda pada tiap zamannya.

Sementara Anwar berpendapat apabila Mahkamah menyatakan diri tidak berwenang mengadili sengketa Pemilu Kada dengan pertimbangan tidak diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, seharusnya hal tersebut dinyatakan sejak pertama kali menerima permohonan penyelesaian sengketa Pemilu Kada pada tahun 2008. “Sebab hal tersebut menyangkut kewenangan mutlak yang dapat membawa akibat hukum tersendiri,” imbuhnya.

Sedangkan Fadlil menjelaskan Oleh karena sistem dan mekanisme rekrutmen pengisian kepala daerah adalah pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E maka perselisihan hasil pemilihan kepala daerah berdasarkan uraian di atas adalah perselisihan hasil pemilu (PHPU). Perselisihan hasil merupakan bagian daripada sistem. Perselisihan hasil sebagai  sesuatu permasalahan sistem harus dapat diselesaikan. Untuk itu haruslah ada forum yang menyelesaikannya. PHPU adalah perselisihan hukum konstitusi terkait dengan pemilu sebagai mekanisme dalam pelaksanaan hak konstitusional di bidang politik, khusunya hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be voted or to be candidate). Mahkamah Konstitusi merupakan penyelenggara peradilan sebagai forum penyelesaian perselisihan dengan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan konstitusi. “Oleh karena itu berdasarkan Pasal 24C ayat (1) maka Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili PHPU kepala daerah dan dengan demikian maka permohonan Pemohon seharusnya ditolak,” tandas Fadlil.

Sebagaimana diketahui, Pasal 236C UU 12/2008 menyatakan:
Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Adapun Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 menyebut:
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir  yang putusannya bersifat final untuk:
e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. (MK)

No comments:

Post a Comment