[caption id="attachment_1000" align="aligncenter" width="600"] Kota Pangkalansusu gelap-gulita[/caption]
Oleh: Freddy Ilhamsyah PA
Pembukaan
Warga Kecamatan Pangkalansusu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara mungkin boleh merasa “bangga” karena di wilayahnya ada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara di Desa Tanjungpasir karena MIMPI mereka nanti Pangkalansusu akan TERANG-BENDERANG oleh listrik PLN yang diperoleh dari PLTU Tanjungpasir, dan listrik PLN tidak pernah PADAM lagi.
Tetapi sungguh sangat disayangkan MIMPI mereka TIDAK PERNAH TERWUJUD JADI KENYATAAN kecuali aliran listrik PLN yang sering PADAM padahal aliran listrik dari PLTU Tanjungpasir ke PLN Sicanang SUDAH TERKONEKSI sejak tahun lalu.
Tegasnya MIMPI warga Pangkalansusu hanya merupakan MIMPI yang sebenarnya MIMPI, bukan angan-angan tapi hanya hayalan belaka semacam fatamorgana yang terjadi di padang pasir alias MIMPI DI SIANG BOLONG (dreams at the daytime).
Ngerumpi di kedai kopi
“Koq bisa begitu Bro...........?” tanya si Akang (rekan pendatang dari luar daerah) saat mendengar cerita si Bro ketika ngerumpi di pojok kedai kopi yang hanya ada penerangan cahaya lilin karena listrik PLN padam. Maklumlah kedai kopi wong cilik yang tidak mampu membeli mesin genset walaupun yang berukuran kecil.
“Kenapa tidak..........Pasalnya, Kota Pangkalansusu dapat dikatakan nyaris tanpa hari TIADA PEMADAMAN listrik,” jawab si Bro. Kalau di era tahun 1970-an, listrik TIDAK PERNAH PADAM walau sepersekian detik, sambung si Bro sambil garut-garut kepalanya yang tidak gatal.
“Lho, kalau begitu lebih HEBAT jaman dulu dong daripada jaman sekarang yang sudah ada PLTU,” kata si Akang.
“HEBAT apanya........?” si Bro balik bertanya dengan dahi mengerut.
“Dulu listrik TIDAK PERNAH PADAM,” ujar si Akang dengan semangat.
“Bagaimana listrik mau padam karena walaupun Indonesia sudah merdeka sejak tahun 1945 dan berdaulat penuh di tahun 1949, tapi sampai di era tahun 1970-an Pangkalansusu yang dikenal sebagai KOTA MINYAK belum pernah menikmati LISTRIK PLN karena ketika itu memang PLN belum ada di kota itu,” jelas si Bro seusai menyeruput kopi pancungnya (isi setengah gelas).
“Wooow...... apa juga namanya KOTA MINYAK PANGKALANSUSU kalau listrik saja tidak ada di kota itu,”ujar si Akang dengan nada sedikit heran.
“Ketika itu listrik memang ada, listrik Pertamina. Tapi itu kan milik Pertamina yang hanya untuk pemakaian di perkantoran dan komplek perumahan Pertamina saja. Sedangkan masyarakat Pangkalansusu sendiri masih harus memakai lampu penerang yang terkenal di era itu dengan sebutan LAMPU PETROMAX,” kilah si Bro dengan nada agak tinggi.
“Kalau begitu.......artinya dulu PANGKAL SUSU ada di warga dan KOLAM SUSU ada di Pertamina ya,” ujar si Akang yang dinilai si Bro sebagai sebuah sindiran.
“Terserah apa kata kau lah.....tapi yang jelas kondisi ketika itu ya begitu. Ini fakta di lapangan,” kata si Bro yang juga warga pendatang di Pangkalansusu era tahun 1970-an sambil ngelap keringat di keningnya karena panasnya api lilin di ruangan itu.
Intinya, Pemerintah khususnya PT PLN (Persero) boleh saja “berkoar” bilang PLN akan menerangkan seluruh pelosok Indonesia, tapi faktanya konsumen/pelanggan listrik PLN di KOTA MINYAK PANGKALANSUSU saja belum sepenuhnya dapat menikmati listrik TANPA PEMADAMAN pada hal di Pangkalansusu ada Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara.
Dulu.....kalau listrik padam, alasannya selain mesin Pembangkit Listrik Tenaga Diesel sudah uzur juga boros makan minyak sehingga PLTD dipandang perlu untuk segera digantikan dengan mesin Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Ketika PLTG sudah berjalan, listrik masih juga sering padam. Alasan PLN ketika itu, pasokan gas dari Pertamina tidak mencukupi (penulis tahu akan hal itu karena ketika itu penulis selaku staf Humas di PT Pertamina EP Pangkalansusu sudah beberapa kali ikut terlibat langsung dalam rapat masalah pasokan gas antara pihak Pertamina, PLN, PGN, Pengusaha KIM dengan pihak DPRD Sumut, Dinas Pertambangan Sumut dan DPD RI di Medan).
Masing-masing konsumen gas (PLN, PGN dan Pengusaha di KIM) ternyata “rebutan” ingin mendapatkan pasokan sesuai kebutuhan masing-masing pihak. Sedangkan produksi gas yang dihasilkan oleh Pertamina kian merosot dari tahun ke tahun.
Mengingat listrik PLN ssangat dibutuhkan oleh berbagai pihak, maka pasokan gas ke PLN lebih diuatamakan (walaupun belum sepenuhnya terpenuhi), tapi listrik PLN tetap saja sering PADAM, maka dikeluarkanlah isu bahwa gas yang diperoleh dari Pertamina mutunya tidak bagus karena masih ada kandung air di dalamnya. Lagi-lagi “kambing hitam.”
Saat konsumen PLN membaca berita di koran, dan atau mendengar dan melihat siaran di televisi hati mereka mulai “berbunga-bunga” ketika mengetahui bahwa PLN akan membangun mega proyek PLTU di Desa Tanjungpasir, Kecamatan Pangkalansusu, Provinsi Sumatera Utara dengan biaya yang fantastik dan mampu menerangi sebagian besar wilayah Sumatera Utara dan Aceh.
Katanya, bila Proyek PLTU selesai dan sudah bisa mengalirkan listrik ke PLN Sicanang, maka Sumatera Utara dan Aceh akan jadi terang-benderang. Tetapi nyatanya listrik PLN masih SERING PADAM. Sebenarnya konsumen PLN sudah BOSAN dengan berbagai alasan dan “angin surga” yang disampaikan oleh para pihak terkait.
Jadi oleh sebab itu hendaknya pihak oknum di PT PLN (Persero) Sumatera Utara JANGAN BANGGA karena sudah bisa membangun PLTU Tanjungpasir di Kecamatan Pangkalansusu kalau nyatanya belum dapat “memuaskan” konsumennya yang terus-menerus “dirongrong” dengan KENAIKAN tarip listrik plus aliran listrik yang terlalu SERING PADAM.
Fakta di atas kembali terjadi pada Selasa, 06 September 2016 malam, listrik PLN kembali PADAM sehingga menyebabkan Pangkalansusu bukan lagi sebagai “KOTA MINYAK”, tapi sudah berubah menjadi (mirip) “KOTA HANTU.” Listrik PLN PADAM dan didukung pula oleh listrik Pertamina juga ikutan padam.
Suasana kawasan hunian warga Pangkalansusu jadi tambah mencekam ketika hujan tergolong deras/lebat menguyur kota itu yang dibarengi dengan cahaya kilat dan gemuruh suara guntur yang sambung-menyambung.
Sementara untuk warga yang berdomisili di pusat kota masih mendapatkan sedikit cahaya terang ada beberapa pengusaha di jalan Tambang Minyak Pangkalansusu yang memiliki genset pribadi.
Penutup
Satu hal yang tatkala pentingnya untuk diketahui oleh warga Kecamatan Pangkalansusu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara yang di daerahnya ada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) seperti di Desa Tanjungpasir, jangan terlampau berangan-angan muluk bahwa Pangkalansusu akan TERANG-BENDERANG oleh listrik PLN yang dihasilkan dari PLTU berbahan bakar batubara di Desa Tanjungpasir. Nyatanya listrik PLN masih SERING PADAM.
Selain itu warga Pangkalansusu khususnya yang bertempat tinggal di dekat lokasi PLTU Tanjungpasir agar lebih meningkatkan kewaspadaan dini terhadap kesehatannya yang satu saat kemungkinan besar setiap hari akan terpapar polusi udara yang dihasilkan dari pembakaran batubaru di PLTU.
Bukan hanya itu saja, masyarakat juga rentan terjangkit penyakit dalam seperti penyakit Jantung Iskemik, Kanker Paru-paru, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit pernafasan, stroke dan kardiovaskular.
Menurut berita yang dipublikasikan kompas.com pada Rabu, 12 Agustus 2015 dikabarkan, adanya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara yang tersebar di Indonesia mengancam kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU batubara. Sejak adanya PLTU batubara yang beroperasi di suatu daerah, masyarakat akan terpapar polusi udara yang dihasilkan dari PLTU batubara setiap harinya.
Masih menurut kompas.com, berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan tim peneliti dari Universitas Harvard, polusi udara yang dihasilkan PLTU batubara di Indonesia dapat menyebabkan kematian dini sekitar 6500 jiwa per tahun.
“Emisi dari PLTU batubara itu membentuk partikel dan ozon yang berdampak buruk bagi kesehatan,” ujar peneliti dari Universitas Harvard Profesor Shannon Koplitz melalui video conference dalam jumpa pers yang dilakukan Greenpeace Indonesia di Jakarta, Rabu (12/8/2015).
“Kebanyakan dampaknya terjadi dekat PLTU. Di kota-kota yang dekat. Polusinya itu tinggal di udara selama beberapa hari,” lanjut ahli batubara dan polusi udara Greenpeace Lauri Myllyvirta.
Sementara menurut Badan Energi Internasional (IEA) mengungkapkan bahan bakar fosil Batubara menyumbang 44% dari total emisi CO2 global. Pembakaran Batubara adalah sumber terbesar emisi gas GHG (green house gas), yang memicu perubahan iklim.
Batubara yang dibakar di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) memancarkan sejumlah polutan seperti NOx dan SO₃, kontributor utama dalam pembentukan hujan asam dan polusi PM2.5.
Masyarakat ilmiah dan medis telah mengungkap bahaya kesehatan akibat partikel halus (PM2.5) dari emisi udara tersebut. PLTU Batubara juga memancarkan bahan kimia berbahaya dan mematikan seperti merkuri dan arsen. Kalau ungkapan di atas adalah benar, maka sangat menyeramkan “si pembunuh darah dingin” (silent killer) yang mampu mematikan Anda secara perlahan dan pasti.
Penulis tidak berharap ada oknum di PLN ataupun oknum terkait lainnya untuk mendengarkan rumpian ini (konon kabarnya mereka selalu memakai earplug/alat penyumbat lubang telinga), dan atau membaca tulisan ini (karena mungkin si oknum lupa memakai kacamata rabun dekat), tapi selaku salah seorang anggota Forum Kewaspadaan Dini Masyakat (FKDM) Kecamatan Pangkalansusu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara penulis merasa terpanggil untuk menyampaikan hal tersebut kepada masyarakat yang memang punya hak mendapatkan informasi ini agar dapat lebih meningkatkan kewaspadaan dini masyarakat tentang kesehatan dan lingkungan hidup di Kecamatan Pangkalansusu dan sekitarnya.***
Pangkalansusu, 07 September 2016
No comments:
Post a Comment