Direktur Pembinaan Program Migas Soerjaningsih. Foto Ditjen Migas |
JAKARTA - Minyak dan gas bumi (migas) memegang peranan penting bagi
semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Pengembangannya baik di hulu maupun
hilir, membutuhkan modal dan resiko tinggi. Untuk tahun 2020, Pemerintah
memproyeksikan investasi hilir migas mencapai US$ 3.223,39 juta.
"Berdasarkan prognosa, investasi hilir migas tahun 2020 mencapai
US$ 3.223,39 juta, lebih tinggi dari tahun 2019 yang realisasinya mencapai US$
1.066,23 juta. Investasi hilir migas diproyeksikan akan terus meningkat hingga tahun 2024,"
papar Direktur Pembinaan Program Migas Soerjaningsih, Jumat (15/6), dalam
diskusi virtual yang digelar oleh PEM AKAMIGAS.
Menurut Soerja, investasi hilir migas tahun 2020 didominasi oleh
kegiatan pengolahan yaitu peningkatan kapasitas kilang (RDMP) dan pembangunan
kilang baru (GRR) yang mencapai 80%. Selanjutnya adalah investasi di bidang
pengangkutan sebesar 14%, penyimpanan 4% dan niaga 2%.
Untuk tahun 2021, investasi hilir migas diproyeksikan sebesar US$
7.238,90 juta. Tahun 2022 mencapai US$ 11.819,90 juta. Selanjutnya, US$
14.531,83 juta pada tahun 2023 dan tahun 2024 mencapai US$ 13.923,36 juta.
Berdasarkan Global Competitivenes Index 2017-2018, investasi migas
indonesia berada di posisi 36 dari 137 negara. Pemerintah terus berupaya
memperbaiki iklim investasi, termasuk di bidang migas. Faktor utama iklim
bisnis adalah birokrasi Pemerintah, stabilitas politik, regulasi perpajakan dan
produktivitas tenaga kerja.
"Sektor infrastruktur juga menjadi salah satu faktor yang
berpengaruh dalam hal tingkat competitiveness," tambah Soerja.
Pembangunan dua kilang minyak baru di Tuban dan Bontang serta RDMP
Kilang Balongan, Balikpapan, Cilacap, Dumai dan Plaju, merupakan upaya
meningkatkan ketahanan energi nasional. Total investasi kilang-kilang tersebut
diperkirakan US$ 68 miliar selama periode 2019-2026.
"Pemerintah berkomitmen mendukung kedaulatan energi melalui energi
migas sebagai modal pembangunan dan diharapkan dapat memberikan nilai tambah
positif bagi seluruh aspek pembangunan bangsa," papar Soerja.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Megaproyek Pengolahan dan
Petrokimia PT Pertamina Ignatius Tallulembang mengatakan, pembangunan kilang
membutuhkan tenaga kerja sekitar 150.000 orang pada masa konstruksi dan 12.000
orang ketika telah beroperasi. Penggunaan sumber daya lokal diperkirakan
35-50%. Sementara potensi peningkatan
devisa sekitar US$ 12 miliar per tahun.
Kapasitas pengolahan kilang-kilang ini mencapai 2,1 juta barel per hari
dan produksi petrokimia 12.000 kilo ton per annum (ktpa).
Tallulembang mengungkapkan, mengingat pembangunan kilang dan petrokimia
membutuhkan biaya dan resiko yang besar, diperlukan mitra dalam pelaksanaannya.
Dalam proses pencarian mitra ini, kata dia, berdasarkan pelajaran yang
diperoleh selama ini, Pertamina membuka peluang kerja sama dengan berbagai
skema bisnis.
"Skema berpartner juga kita buka lebih fleksibel. Bukan cuma
dengan satu cara saja," tambahnya.
Bahkan, perusahaan pelat merah itu mendorong agar perusahaan swasta
dalam negeri dapat berpartisipasi dalam pembangunan kilang serta infrastruktur
lainnya seperti terminal BBM, LPG dan pelabuhan. (Ditjen Migas)
No comments:
Post a Comment