Tuesday, 18 October 2016

Penyebab Terjadi Blow Out Saat Mengebor Sumur Migas

[caption id="attachment_1066" align="aligncenter" width="600"]Blow Out dan kebakaran di sumur migas Seleraya-foto indopetronews Blow Out dan kebakaran di sumur migas Seleraya - Foto indopetronews[/caption]

Penyebab Terjadi Blow Out Saat Mengebor Sumur Migas
Oleh: Freddy Ilhamsyah PA

Pendahuluan

Seperti diketahui bahwa energi fosil yang dikenal dengan sebutan minyak bumi atau minyak mentah (crude oil) yang dapat diolah menjadi berbagai jenis bahan bakar minyak (BBM) dan turunannya seperti bahan kimia dari minyak bumi yang dihasilkan selama proses pemurnian di kilang minyak bumi (CDU/Crude Destilling Unit) dan hasil sampingan lainnya dari industri Petrokimia yang multi-manfaat.

Dalam tulisan ini bukan maksud penulis mau menggurui mereka yang tugasnya memang menggeluti kegiatan pemboran sumur migas dan pihak terkait lainnya, tapi penulis hanya sharing informasi mengenai Blow Out (semburan liar) yang sebenarnya tidak perlu terjadi apabila “KICK” diketahui lebih dini oleh para petugas terkait.

Blow Out adalah merupakan persoalan yang cukup serius dalam operasi pengeboran. Banyak kerugian ditimbulkan oleh Blow Out apalagi bila sempat terjadi kebakaran kalau cara penanggulangannya tidak menggunakan teknologi dan metode khusus untuk semburan liar. Jadi sudah seharusnya setiap petugas pengeboran memahami akan pengertian methode Well Control, sebagai suatu teknik penanggulangan hole problem di dalam suatu pengeboran.

Pada dasarnya Well Kick dapat diatasi apabila diketahui sedini mungkin. Well Kick bisa diterjemahkan secara bebas semacam keluarnya gas kecil dari lobang bor sebagai akibat adanya keretakan di dalam formasi. Kick adalah sebuah pendahuluan sebelum blow out terjadi, seandaimya tidak secepatnya dicegah dan terkontrol maka terjadilah blow out sebenarnya yang mengerikan bila sempat terjadi kebakaran apalagi sampai menelan korban jiwa seperti ketika terjadi blow out dan kebakaran sumur migas PT-29 di struktur Paluh Tabuhan Timur.

Blow Out Sumur PPJ 48 di Struktur Pulau Panjang

Pada Jum’at, 30 September 2016 dini hari diinformasikan telah terjadi blow out (semburan liar gas) sumur PPJ 48 saat dilakukan pekerjaan EOR (enhanced oil recovery) yang merupakan suatu teknologi pengurasan minyak tingkat lanjut di sumur-sumur tua dalam wilayah kerja PT Pertamina EP Lapangan Pangkalansusu.

Ketika sedang dilakukan pemboran dengan mempergunakan Rig-1, tiba-tiba terjadi semburan liar gas (blow out) bertekanan tinggi hingga semburan melebihi menara bor (Rig).

Pada kesempatan ini penulis tidak membahas tentang Blow out yang terjadi di struktur Pulau Panjang, Kecamatan Pangkalansusu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera.

Disini penulis hanya mengingatkan bahwa Blow Out (semburan liar) adalah merupakan persoalan yang cukup serius dalam operasi pengeboran sumur migas. Banyak kerugian ditimbulkan oleh Blow Out apalagi bila sempat terjadi kebakaran kalau cara penanggulangannya tidak menggunakan teknologi dan metode khusus untuk semburan liar secara baik dan benar.

Sebenarnya kalau kita mau jujur, seharusnya setiap petugas pengeboran harus memahami betul mengenai pengertian methode Well Control, sebagai suatu teknik penanggulangan hole problem di dalam suatu pengeboran sumur migas.

Pada dasarnya Well Kick dapat diatasi apabila diketahui sedini mungkin. Well Kick bisa diterjemahkan secara bebas semacam keluarnya gas kecil dari lobang bor sebagai akibat dari keretakan di dalam formasi. Kick adalah semacam pendahuluan sebelum blow out itu terjadi, seandaimya tidak secepatnya dicegah dan terkontrol, maka terjadilah blow out yang sebenarnya.

Menurut sepenggal data yang penulis kutip dari Manual BLOW OUT prevention and WELL CONTROL Exxon Corporation ada disebutkan penyebab terjadinya Well Kick selama pengeboran berlangsung, yaitu faktor lumpur sebagai drilling properties adalah sangat dominan perannya untuk mengatur tekanan di dalam hole (lubang sumur bor). Secara garis besar ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya Well Kick yaitu:

1. Tekanan di dalam hole lebih rendah daripada tekanan formasi.
2. Kemampuan formasi untuk mengalirkan cairan dan gas.

Kemampuan formasi mengalirkan cairan adalah suatu sifat asli dari batuan formasi yang kondisinya sulit untuk dikontrol. Bila suatu saat terjadi kick (tendangan/tekanan, pen) akan menemukan bermacam-macam tanda seperti:

a. Sewaktu mencabut drill pipe (pipa bor), volume lumpur di dalam hole tetap tidak berkurang (penuh terus) yang seharusnya berkurang sesuai volume drill pipe yang diangkat.

Ini bisa disebabkan oleh Swabbing Effect (lumpur terbawa kepermukaan lobang sewaktu drill pipe diangkat ke atas).

b. Terjadi penambahan volume pada lumpur di dalam Mud Tank.

c. Kecepatan penetrasi yang menjadi naik, yaitu bila sedang terjadi pengeboran, rotary table tiba-tiba berputar lebih cepat, disebabkan oleh karena terjadinya pecahan-pecahan batu-batuan oleh cairan gas yang keluar.
.
d. Terjadi kenaikan pada tekanan pompa dan secara perlahan tekanan tersebut turun, namun stroke pompa lumpur berubah naik drastis.

Dan banyak lagi hal-hal lainnya yang lebih detail dan terinci, tapi paling tidak hal di atas dapat menjadi masukan untuk rekan-rekan yang bertugas di pengeboran agar dapat djadikan sebagai perbandingan dan patokan dengan keadaan nyata yang mereka hadapi sehari-hari di lokasi pengeboran.

Satu hal yang perlu penulis ingatkan bahwa kecerobohan dan keteledoran dari faktor manusia di dalam melaksanakan tugas adalah merupakan salah satu aspek penyebab kegagalan dalam menerapkan methode dan sistem yang ada dan ini perlu mendapat perhatian serius dari para supervisor lapangan dalam hal ini Tool Pusher dan Pemuka-pemuka Bor terkait. Safety Fist harus benar-benar diutamakan oleh para pihak yang terkait dalam pemboran sumur migas.

Kenapa hal di atas perlu selalu diingatkan karena peringatan keselamatan dini memang harus disampaikan secara berkesinambungan bagaikan seorang pramugari yang selalu mengingatkan penumpang padahal penumpangnya sudah berulangkali naik pesawat terbang. Sama halnya dengan safety briefing yang harus disampaikan oleh petugas terkait kepada pengunjung yang akan memasuki suatu lokasi terbatas walaupun para tamu itu adalah pegawai Pertamina dari daerah lain. SOP (Standart Operation Prosedure) nya memang begitu.

Upaya deteksi dini terhadap kemungkinan dan penyebab terjadinya blow out ketika sedang melakukan pemboran sumur migas (minyak dan gas bumi) ini sangat penting dipahami dan diingatkan untuk melawan lupa secara terus-menerus agar pelaksanaan pemboran atau biasa disebut penajakkan sumur migas dapat berjalan dengan baik dan benar.

Sebab menurut pendapat penulis yang sudah beberapa kali meliput peristiwa blow out, khususnya blow out dan kebakaran di sumur PT 29 Paluh Tabuhan Timur puluhan tahun lalu di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Babalan (sekarang Kecamatan Brandan Barat), Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara apabila terjadi blow out yang sebenarnya, maka keadaan akan sangat sulit di atasi apalagi kalau sempat terjadi kebakaran, dipastikan 1 (satu) Rig (menara bor) akan hilang alias rusak terbakar dan kerugiannya akan bertambah besar lagi bila kobaran api sulit dipadamkan. Petugas di lapangan kejadian juga sulit dikoordinir karena masing-masing berusaha menyelamatkan diri sebagai langkah safety first dari keadaan yang mengerikan itu.

Jadi usaha yang terbaik yang harus dilakukan ialah ketika gejala baru keluar seperti yang sudah penulis terangkan sebelumnya. Insya Allah apabila pendeteksian dini tersebut sudah dilakukan sesuai prosedur, maka blow out dapat dicegah dengan sistem Well Control.

Selain itu untuk masih ada beberapa prosedur umum yang harus dilakukan bila flow terjadi selama pengeboran sumur migas berlangsung, yaitu:

1. Segera angkat Kelly sehingga tool joint berada di atas rotary table.
2. Stop Pompa lumpur.
3. Pasang slip di drill pipe dan kemudian putar pelan Rotary Table.
4. Lihat di flowline apakah ada aliran gas yang keluar bersama lumpur.

Apabila semua prosedur sederhana di atas sudah dilakukan dan tidak terdapat hal-hal yang mencurigakan, maka pemboran bisa dilanjutkan. Pompa dijalankan lagi dan sirkulasi sebagaimana biasa.

Tujuan disirkulasikannya lumpur dalam menanggulangi flowing adalah untuk mempertahankan tekanan di dasar lubang supaya tetap dan harus lebih tinggi sedikit dari tekanan formasi yang sedang kick. Maksudnya adalah untuk mencegah adanya tambahan cairan atau gas yang masuk kedalam hole sewaktu sirkulasi.

Untuk mencegah tidak terjadi kick, ada beberapa hal yang harus diingat dan dicatat dengan baik. Bahwa salah satu usaha yang utama adalah mempertahankan Bottom Hole Pressure dengan sirkulasi lumpur pada berat yang cukup. Ini terus dilakukan sampai keadaan betul-betul normal, dan viscosity lumpur benar-benar dapat membentuk lapisan dinding yang baik pada dinding lubang bor, sehingga dapat mencegah keruntuhan-keruntuhan yang tidak diharapkan selama pengeboran berlangsung (Sloughing Effect).

Contoh mengatasi Blow-out tercepat

Beberapa peristiwa blow out besar yang pernah terjadi di wilayah kerja Pertamina EP (terakhir blow out di struktur Pulau Panjang) penulis jadi teringat saat mewawancarai Soegianto Wiryodiardjo seusai menangani penanggulangan semburan liar gas di sumur SUT-1 yang blow out pada tanggal 03 November 1983, dia mengatakan dalam hal melakukan pengeboran (tajak) sumur migas kita harus lebih dahulu mempelajari dan paham betul tentang “tingkah laku” sumur migas ataupun mengenai lapisan struktur yang akan kita tajak. Sebab kalau kita kurang berhati-hati, akibatnya akan jadi fatal.

Kepada penulis Soegianto menjelaskan sumur migas itu seperti seekor kucing liar yang berbulu bagus, mengkilat, halus dan tebal sehingga ingin rasanya tangan kita untuk mengelusnya. Akan tetapi kalau kita salah colek, dia akan mengambek dan bahkan dapat mengamuk serta mencakar siapa saja yang berada didekatnya. Sedangkan untuk menjinakkannya kembali diperlukan keberanian yang menegangkan urat saraf.

“Sumur yang sudah uzur sekalipun bahkan yang sudah sekarat terkadang dapat mengamuk dan membuat kita kewalahan,” kata Soegianto pada penulis di lokasi blow out SUT-1 (Susu Timur Satu) 33 tahun lalu (1983-2016).

Apa yang dikatakan Soegianto memang tidak dapat dibantah kebenarannya. Contohnya sudah terjadi di sumur tua PT-18 yang berada di struktur Paluh Tabuhan Timur, Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, dan di Struktur Pulau Panjang, Kecamatan Pangkalansusu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara pada 30 September 2016 lalu.

Sumur PT-18 yang sudah berusia 26 tahun (1974-2000) dan sudah ditinggalkan sejak tahun 1983, ketika dilakukan pekerjaan reparasi (work over) oleh Pertamina EP Pangkalansusu guna penelitian dan pengembangan pada zone 850 dengan mempergunakan perabot bor BIR-100 Hoist milik Pertamina tiba-tiba telah terjadi aliran semburan liar gas berkekuatan sekitar 1,100 psi, sehingga membuat para pekerja BIR-100 berhamburan untuk menyelamatkan diri dari kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya kebakaran.

Menurut keterangan yang diperoleh dari Ka. Operasi KKAF Pertamina EP Pangkalansusu Daryono dan stafnya, Saleh Indra, sebelum terjadinya blow-out terlebih dahulu dilakukan pelubangan pada sumur PT-18 di zone 850 selang 819-820 meter dengan casing gun 12 TPK melalui sistem tandem tiga kali penembakan per 4 TPK.

Ketika dilakukan penembakan satu tandem pertama (4 TPK) pada tanggal 27 April 2000 pukul 08:50 WIB kondisi sumur masih aman. Selanjutnya dilakukan penembakan tandem kedua (8 TPK) sekitar pukul 09:15 WIB terjadi aliran gas yang sangat kuat ssehingga usaha untuk mencabut alat logging service tidak berhasil.

Tindakan selanjutnya yaitu usaha untuk menutup BOP (Blow Out Preventer) juga tidak berhasil dan aliran gas sudah tidak terkendali lagi.

Begitu menerima laporan bahwa sumur PT-18 yang direparasi sejak 26 April 2000 telah menyemburkan gas liar yang sudah tidak dapat terkendali lagi, maka para pejabat teras di Pertamina EP Pangkalansusu yang dipimpin langsung oleh Manager Asset, Ir.H.Slamet Wibisono segera menuju ke lokasi kejadian untuk mencari jalan keluar menjinakkan blow out tersebut.

Menurut Slamet, berdasarkan penggalamannya yang pernah menangani peristiwa blow-out dan kebakaran di sumur CMB-10 (wilayah DO.EP Karangampel-Jawa Barat) pada 17 Oktober 1992, maka semburan liar gas di sumur PT-18 harus segera diatasi.

“Mengingat semburan liar gas tersebut ada membawa pasir lepas yang satu saat bisa menimbulkan bunga api dan ditambah lagi suplai air di lokasi itu sangat terbatas, kalau dalam waktu 12 jam semburan itu tidak segera diatasi maka dikawatirkan nasibnya akan sama dengan kejadian sumur CMB-10,” kata Slamet pada penulis di lokasi kejadian waktu itu.

Tindakan awal yang dilakukan oleh Slamet Wibisono yaitu melakukan koordinasi dengan bagian terkait untuk membentuk Tim Penanggulangan Blow Out yang terdiri dari bagian KKAF, Produksi, LL/KK dan Log/Ang.

Setelah semua rencana kerja dibahas dengan teliti dan matang, maka diputuskan upaya penanggulangan blow-out dilakukan dengan metoda “capping” yaitu memasang penutup langsung di atas sumur yang sedang menyemburkan gas liar. Sedangkan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kebakaran, Tim PSLG (Penanggulangan Semburan Liar Gas) segera memompakan air asin ke dalam sumur PT-18 melalui pipa yang berada di bawah BOP group.

Pemompaan air asin dengan rate 1 sampai 3 bpm dan tekanan sekitar 100 psi secara terus menerus ke sumur PT-18 agar gas yang ke luar dari dalam sumur tetap dalam keadaan basah dan tidak mudah terbakar.

Selanjutnya ketika bahaya kebakaran di sumur PT-18 sudah dapat diantisipasi, maka upaya untuk mematikan semburan liar segera dilaksanakan dengan cara memasang rangkaian kerangan (capping assembly) di atas BOP 7 1/16 inci x 3000 psi yang didahulukan dengan membuka aliran ke cerobong pembakaran (flare) melalui annulus valve. Maksudnya adalah untuk mengurangi tekanan balik (back pressure) pada saat pemasangan valve di atas BOP Group.

Secara perlahan tapi pasti, setelah kerangan berhasil dipasang di atas BOP dengan kekar, maka master valve dan aliran pada annulus ditutup. Selamatlah sumur PT-18 dari blow out yang berkelanjutan dan kekawatiran terhadap kebakaran juga tidak terjadi. Musibah blow out yang terjadi pada 27 April 2000 pukul 09:15 WIB itu berakhir tepat pada pukul 17:30 WIB di hari yang sama.

Menurut pendapat penulis penanganan blow out sumur migas PT-18 itu adalah merupakan upaya penanggulangan blow out tercepat dalam catatan penulis, yaitu hanya delapan jam.

Penutup

Mengingat bahwa kegiatan untuk menggali sumber daya alam yang namanya minyak dan gas bumi adalah merupakan suatu pekerjaan yang berisiko tinggi, rawan kecelakaan, padat modal dan penggelolaannya juga memerlukan IPTEK (Ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi).

Oleh sebab itu pihak Pertamina tidak henti-hentinya berupaya untuk memperbaiki sistem dan prosedur operasi agar tercapai suatu perencanaan yang baik dan matang dengan dukungan sumber daya manusia yang benar-benar berkualitas serta professional dalam menangani bidangnya masing-masing. Akan tetapi yang namanya manusia, pasti ada kekurangan dan kelemahannya walaupun orang yang menangani pekerjaan pengeboran sumur minyak dan gas telah dibekali berbagai disiplin ilmu. Namun mereka terkadang tidak luput dari intaian kecelakaan kerja yang senantiasa membayangi kegiatan mereka ketika melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam tersebut. Silap sedikit, blow-out terjadi dan syukur kalau tidak ada korban jiwa.

Terkait dengan itu penulis kembali mengingatkan agar para insan permigasan untuk siap melawan lupa dengan beberapa contoh kasus blow out yang sudah terjadi agar tidak terulang lagi dikemudian hari karena menurut Ridwan Nyak Baek semasa dia menjabat sebagai GM Pertamina DOH NAD-Sumbagut pernah meluncurkan Formula 5-as alias lima etos kerja, yaitu Kerja Keras, Kerja Cerdas, Kerja Tangkas, Kerja Waras dan Kerja Ikhlas. “Kita harus bekerja keras untuk meningkatkan atau paling tidak mempertahankan produksi migas,” kata Ridwan ketika itu.

Caranya bila cadangan migas baru sulit ditemukan maka kita harus berupaya keras untuk merenovasi atau meng-KUPL-kan (Kerja Ulang Pindah Lapisan) sumur-sumur tua yang banyak bertebaran di Aceh Tamiang dan Langkat yang potensinya masih menjanjikan suatu harapan. Oleh sebab itu kejelian pihak terkait sangat diharapkan.

Namun kerja keras saja, masih menurut Ridwan, belum tentu punya arti seperti yang diharapkan bila hasilnya amburadul (contoh terjadi blow out, minyak dan gas banyak tapi terbuang percuma, pen).

Oleh karena itu, lanjut Ridwan, kerja keras harus diramu dengan kerja cerdas, kerja tangkas, kerja waras yang beretika dan kerja ikhlas agar kerja keras itu membuahkan hasil seperti yang diharapkan.

Kerja keras, Kerja Cerdas, Kerja Tangkas, Kerja Waras dan Kerja Ikhlas juga belum tentu bisa berjalan mulus bila tidak ada kekompakan dalam melaksakan suatu pekerjaan, yang satu ke kiri dan yang satunya lagi ke kanan saling tarik-menarik hingga membuyarkan Formula 5-as.

Kekompakan itu sangat diharapkan untuk membuahkan hasilkan bagaikan nikmatnya rujak yang terdiri dari irisan berbagai jenis buah-buahan, ada mangga, ada kedongdong, ada jambu, ada nanas, ada bengkuang dan ada mentimun yang dicampur bumbu hingga namanya berubah jadi rujak yang enak citarasanya.

Bila merujuk pada filosofi lima etos kerja itu dapat disimpulkan bahwa dalam merencanakan suatu program pekerjaan besar, harus dirembukkan bersama secara matang dari berbagai aspek sudut pandang untuk mengurangi risiko sehingga pada akhir dapat membuahkan hasil seperti yang telah direncanakan melalui Formula 5-as RNB.

Semoga tulisan yang sedang Anda baca saat ini (khususnya bagi insan perminyakan) ada manfaatnya untuk melawan lupa mengenai blow out dan cara mengatasinya dengan baik dan benar.

Pangkalansusu, 17 Oktober 2016

No comments:

Post a Comment