JAKARTA,- Mantan Hakim Konstitusi Harjono menilai Mahkamah Konstitusi dapat
menafsirkan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945 tidak berlaku apabila pasangan
capres-cawapres hanya berjumlah dua calon seperti yang terjadi pada Pemilihan
Umum Presiden 9 Juli mendatang. Artinya dengan jumlah dua pasangan calon, maka
pemilihan presiden dan wakil presiden cukup dilakukan satu putaran.
Hal itu diungkap Harjono sebagai ahli dalam sidang uji materi
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva. Dalam keterangannya, Harjono
yang terlibat dalam perumusan Pasal 6A UUD 1945 menjelaskan ketentuan pasangan
capres dan cawapres terpilih mendapatkan lebih dari 50 persen jumlah suara,
dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih
setengah jumlah provinsi Indonesia, diputuskan dengan pertimbangan agar
presiden terpilih mendapat dukungan tidak hanya dari pemilih di Pulau Jawa
tetapi juga pemilih di luar Pulau Jawa. “Namun pada saat itu tidak pernah
simulasi, kemungkinan apa saja yang terjadi apabila rumusan ayat (4) tersebut
diterapkan,” ujarnya di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Senin (23/6).
Harjono memberikan simulasi apabila menggunakan penerapan norma dalam
Pasal 6A UUD 1945 diterapkan. Ada tiga pasang calon yang bertarung di Pilpres,
Pasangan A mendapat 52 persen suara, pasangan B memperoleh 45 persen suara, dan
Pasangan C mengantongi 3 persen suara nasional. Kemudian pasangan A dan B
mengikuti Pilpres putaran kedua. Dalam putaran kedua dapat terjadi, A
memperoleh suara 52 persen dan syarat penyebaran tidak terpenuhi, sedangkan B
mendapat 48 persen. Berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945, pasangan A
berhak dilantik untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Tapi bisa terjadi keadaan A mengalami penurunan suara menjadi 50 persen
kurang 1, sedangkan B mendapatkan suara 50 persen lebih 1, namun B pun
penyebaran suaranya tidak memenuhi syarat. Berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat
(4), yang terpilih menjadi Presiden adalah B. “Jadi, dia hanya mendapatkan
suara 50 persen plus 1 suara dan penyebarannya tidak terpenuhi pada putaran ke
dua. Kalau kita bandingkan dengan perumpamaan bahwa A mendapatkan 52 persen
pada putaran pertama, hitungan riilnya A lebih banyak. Hasil yang demikian akan
banyak menimbulkan persoalan hukum, pembuat hukum seharusnya mempertimbangkan
segala kemungkinan yang ditimbulkan dari ketentuan yang dibuatnya,” jelasnya.
Dalam kasus tersebut, apabila perhitungan perolehan suara dalam
persentase calon capres dan cawapres B ternyata lebih besar dari calon A,
tetapi perolehan suara real-nya bisa lebih sedikit dari perolehan calon A pada
putaran pertama. “Hal tersebut dapat disebabkan partisipasi pemilih pada
putaran kedua menurun, jadi karena partisipasi pemilih menurun persentasenya
juga menurun dibandingkan persentasenya sebelumnya. Pertanyaannya, 50% dari
berapa jumlahnya?” lanjutnya.
Sehingga menurutnya, Mahkamah dapat menafsirkan bahwa Pasal 6A ayat (4)
Konstitusi tidak berlaku apabila capres-cawapres hanya dua calon. “Dengan
demikian, untuk pemilu dengan dua calon agar tidak menimbulkan permasalahan
hukum dengan keadilan, dan kepastian hukum serta kemanfaatan, menurut Ahli,
tepatlah apabila Mahkamah memutuskan bahwa cukup dilakukan satu putaran saja,”
tegasnya.
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Saldi Isra sebagai ahli Pemohon
dengan nomor perkara 51/PUU-XII/2014, pun menyatakan hal yang sama. Menurutnya,
persyaratan memperoleh 50 persen lebih dan minimal meraih suara 20 persen di
lebih dari setengah jumlah provinsi harus dimaknai sebagai jembatan menuju
putaran ke dua, bila sebelumnya pemilu diikuti oleh banyak pasangan calon.
“Oleh karena itu, ketika pemilu hanya diikuti oleh dua pasang calon, jembatan
tersebut tidak tepat untuk digunakan,” ujarnya. Dengan kata lain, penentuan
presiden-wakil presiden terpilih tunduk pada frasa ‘pasangan yang memperoleh
suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden’
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6a ayat (4) UUD 1945.
Vacuum of Power
Senada, mantan Hakim Konstitusi A.S. Natabaya menyatakan MK adalah
satu-satunya penafsir UUD 1945. “Kami berpendapat bahwa ini hanya terdapat dua
(capres-cawapres). Sehingga ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 ini
seolah-olah kalau hanya ada dua, pilihlah, dan siapa yang mendapatkan suara
terbanyak, dia menjadi Presiden terpilih. Jadi, KPU cukup dengan adanya dua
nanti, kalau satu menang, maka dia yang terpilih. Ini adalah tugas dari MK
untuk menafsirkan karena dia adalah penafsir tunggal dari Undang-Undang Dasar,”
jelas ahli yang dihadirkan Pemohon dengan perkara teregistrasi nomor
50/PUU-XII/2014 tersebut.
Alasan lain perlunya MK menafsirkan, imbuhnya, agar tidak terjadi
pilpres putaran selanjutnya yang terus dilangsungkan lantaran capres dan
cawapres dengan suara terbanyak tidak memenuhi syarat persentase persebaran
suara setiap provinsi. “ini akan menjadi keadaan sesuatu yang paling berbahaya.
Pada tanggal 20 Oktober 2014, Presiden harus dilantik. Kalau tidak, akan ada
kekosongan kekuasaan. Nah, jadi jangan sampai terjadi negara dalam keadaan
darurat,” ujarnya.
Desain Lebih Dua Pasangan
Staf Ahli Menteri Dalam Negeri bidang Politik, Hukum, dan Hubungan
Antar Lembaga Reydonnyzar Moenek sebagai perwakilan Pemerintah menyatakan norma
pemilu presiden dan wakil presiden dalam Pasal 6A UUD 1945 dan Pasal 159 UU
Pilpres didesain untuk tiga atau lebih pasangan capres dan cawapres dalam
Pilpres.
Apabila tetap diberlakukan persyaratan persentase persebaran suara
setiap provinsi pada Pilpres yang hanya diikuti dua pasangan capres dan
cawapres, lanjutnya, mungkin akan terjadi Pilpres putaran selanjutnya. Namun,
angka besaran persentase perolehan suara tidak akan berubah secara signifikan.
“Hal ini akan memperpanjang proses pilpres dan berpotensi mengakibatkan
kekosongan kekuasaan atau vacuum of power. Sementara kita harus meyakini pada
tanggal 20 Oktober mendatang harus dapat dilahirkan presiden dan wakil presiden
terpilih yang telah dilantik untuk dapat melaksanakan penyelenggaraan
pemerintahan negara. Tidak dibayangkan kalau di tanggal 20 itu tidak tersedia,”
ujarnya. (Lulu Hanifah/mh)
Sumber: MK
No comments:
Post a Comment