Ahli Epidemiologi Tim Pakar Gugus Tugas Nasional, Dewi Nur Aisyah. Foto: TKPGTN |
JAKARTA - Gugus Tugas Nasional
melakukan pemutakhiran data zonasi risiko daerah per 5 Juli 2020 yang
menampilkan 104 kabupaten dan kota yang terdaftar dalam zona hijau atau wilayah
tidak terdampak COVID-19. Ahli Epidemiologi Tim Pakar Gugus Tugas Nasional,
Dewi Nur Aisyah menegaskan bahwa walaupun suatu wilayah dikategorikan sebagai
zona hijau, belum tentu wilayah tersebut aman dari penularan COVID-19.
"Warna hijau belum tentu aman. Jadi jangan pernah mengatakan ada
wilayah yang aman karena masing-masing wilayah punya risiko," tegas Dewi
dalam dialog di Media Center Gugus Tugas Nasional, Jakarta (8/7).
Dewi menjelaskan bahwa kabupaten/kota yang berada di zona hijau bukan
berarti menjadi wilayah yang mutlak aman COVID-19. Gugus Tugas Nasional membuat
zonasi wilayah untuk mengukur risiko di sebuah wilayah, seberapa rendah,
sedang, atau tinggi berdasarkan 15 indikator kesehatan masyarakat.
Kabupaten/kota yang berada di zona hijau diartikan bahwa wilayah tersebut
memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan zona yang berwarna kuning
atau orange dan merah.
Selanjutnya, Dewi juga menjelaskan bahwa pada masa adaptasi kebiasaan
baru, pemerintah dengan hati-hati menentukan sektor mana saja yang dapat
beroperasi terlebih dahulu. Untuk sektor pariwisata baru hanya dibuka untuk
kawasan wisata alam serta konservasi dan baru akan dibuka untuk zona hijau dan
kuning.
Pembukaan sektor dan aktivitas di setiap zona juga dilakukan secara
bertahap, terlebih dengan adanya peningkatan kasus positif COVID-19 yang masih
terus meningkat. Dewi mengimbau kepada masyarakat yang ada di zona hijau atau
ingin berpergian ke zona hijau untuk tetap waspada dan tidak menganggap bahwa
zona hijau berarti tidak ada potensi penularan COVID-19.
"Jangan menganggap karena zona hijau, kita bisa kesana atau
liburan kesana saja. Justru kalau tidak hati-hati nanti jadi sumber penularan
dan bisa jadi imported case karena dari luar masuk ke zona hijau. Jadi tidak
bisa dengan cepat melihat kalau hijau berarti aman. Intinya kita masih dalam
masa-masa yang harus tetap waspada," ujarnya.
Pembagian Zonasi Jadi Evaluasi
Kinerja Daerah
Dinamika perubahan zonasi yang terjadi dapat menjadi evaluasi bagi
pemerintah daerah dalam upaya penanganan COVID-19 di daerah masing-masing. Dewi
menambahkan bahwa Gugus Tugas Nasional memberikan tenggat waktu dua minggu
untuk pemerintah daerah mengevaluasi kinerjanya jika terjadi perubahan zonasi
wilayahnya ke arah yang lebih besar risiko terpapar COVID-19, maka sektor
tersebut (selain sektor esensial) harus ditutup.
"Jika suatu daerah yang hijau atau kuning berubah jadi orange,
tidak serta merta langsung ditutup (sektor wisata yang sudah diizinkan
beroperasi). Kita beri waktu dua minggu apakah daerah tersebut bisa kembali
menjadi zona hijau atau kuning, dengan begitu pemerintah daerah dapat berusaha
dan tahu apa yang harus diperbaiki. Faktor penyebabnya apakah ada angka
kematian meningkat atau orang yang dirawat sangat tinggi. Jika dalam dua minggu
masa evaluasi tetap di zona orange, maka daerah tersebut harus dilakukan
pengetatan dan menghentikan kegiatan-kegiatan yang berpotensi untuk menularkan
COVID-19," jelas Dewi.
Lebih lanjut, Dewi menjelaskan jumlah pengetesan di tiap kabupaten/kota
berbeda-beda. Hal ini juga dapat tergambar dariangka positivity rate atau
tingkat kepositifan dari hasil uji spesimen dengan total jumlah orang yang
diperiksa pada setiap wilayah. Hal ini juga digunakan sebagai dasar evaluasi
penentuan wilayah mana saja yang jumlah pemeriksaan laboratoriumnya harus
ditingkatkan.
Ada pun pengukuran zona dilakukan secara kumulatif mingguan sehingga
kurva epidemiologi yang didapatkan bisa lebih menggambarkan kondisi yang
terjadi pada wilayah tersebut.
Sumber: Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Nasional
No comments:
Post a Comment