 |
Foto: Ditjen Migas |
Jakarta, Untuk kedua kalinya Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
menyelenggarakan Migas Goes To Campus (MGTC) Edisi Spesial G20, Senin (9/5).
Acara yang digagas untuk mendukung Presidensi G20 Indonesia ini, dilaksanakan
secara virtual dengan tema "Gas Bumi Untuk Indonesia".
MGTC ke 19 ini dibuka oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka
Ariadji dan menghadirkan 3 narasumber yaitu Rizal Fajar Muttaqien selaku
Koordinator Penyiapan Program Minyak dan Gas Bumi pada Direktorat Pembinaan
Program Migas. Selain itu, Sugiarto selaku Koordinator Pelaksanaan Pembangunan
dan Agung Kuswardono sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan. Keduanya
bertugas di Direktorat Perencanaan Pembangunan Infrastruktur Migas.
Tak hanya diisi dengan paparan dan diskusi, MGTC dimeriahkan juga
dengan kuis, lomba foto dengan hadiah yang menarik, serta penampilan Band Migas
Coustic.
Pemerintah Indonesia c.q Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, terus berupaya meningkatkan produksi
migas. Di sisi lain, Pemerintah juga berupaya untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca menuju Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Dengan kedua target
tersebut, Carbon Capture Storage (CCS)/Carbon Capture Utilization Storage
(CCUS), serta pemanfaatan gas bumi bisa menjadi enabler dalam upaya untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan.
"Saat ini adalah periode yang sangat menantang bagi inisiatif
transisi energi di Indonesia, di mana peran energi fosil khususnya gas bumi,
dalam energi transisi masih dibutuhkan, selain terus mendorong penggunaan dan
pemanfaatan energi yang bersumber dari energi terbarukan," kata Direktur
Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji ketika membuka acara MGTC Spesial
G20 ini.
Peranan gas bumi terlihat dari porsi pemanfaatan gas bumi untuk
kebutuhan dalam negeri di tahun 2021 sebesar 64,32% dari total produksi untuk
pemenuhan kebutuhan domestik seperti industri sebesar 27,52%, kelistrikan
sebedar 11.86%, lifting 2,93%, pupuk mencapai 11.89%, domestik LNG sebesar
8,36%, domestik LPG 1,54%, BBG 0,07% dan city gas 0,15%.
Sementara peran subsektor minyak dan gas bumi yang masih terasa saat
ini, khususnya di Indonesia, antara lain minyak sebagai energi utama untuk
sektor transportasi, gas alam dimanfaatkan sebagai transisi energi sebelum PP
kebijakan penggunaan 100% energi baru dan terbarukan diterapkan. "Selain
itu, gas alam digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik seperti bahan bakar
transportasi, bahan baku, industri dan rumah tangga," jelas Tutuka.
Untuk meningkatkan peran migas dalam transisi energi, Pemerintah telah
melakukan berbagai strategi yaitu peningkatan cadangan migas melalui optimasi
produksi dari lapangan eksisting, transformasi dari cadangan menjadi produksi,
akselerasi chemical EOR, eksplorasi masif untuk menemukan cadangan baru, gas
alam dimanfaatkan sebagai transisi energi dan aplikasi pelaksanaan CCS/CCUS.
Lebih lanjut Tutuka menjelaskan, Indonesia telah berkomitmen pada
Perjanjian Paris dan telah mengembangkan skenario NZE pada tahun 2060 atau
lebih awal, melalui adopsi penetrasi energi terbarukan yang agresif, di tengah
penurunan peran bahan bakar fosil, terutama batubara, mulai dari tahun 2030 dan
seterusnya. Namun demikian, masalah yang dihadapi terkait implementasi NZE
terletak pada biaya tambahan yang signifikan untuk pelaksanaannya, di mana
Indonesia telah secara terbuka menyatakan akan membutuhkan bantuan dan dukungan
besar dari negara-negara maju.
Di bidang migas, dalam pelaksanaan kegiatan CCS/CCUS Indonesia
melakukan kerja sama dengan Jepang. Total emisi migas pada periode 2020-2060
dapat mencapai 1.149,20 Mton CO2e di mana total emisi hulu migas sebesar 659,06
Mton CO2e dan total emisi hilir migas sebesar 490,14 CO2e.
Saat ini terdapat beberapa proyek CCUS yang sedang berjalan di Indonesia,
antara lain Gundih CCUS/CO2-EGR yang saat ini dalam tahap joint study bersama
Jepang. CCUS Gundih ditargetkan mulai beroperasi pada 2024/2025 dan berpotensi
menyerap CO2 ±3 Million tCO2 selama 10 tahun serta dapat meningkatkan produksi
gas sebesar ±36 BSCF dan kondensat ±382,7 MSTB.
Proyek Sukowati CCUS/CO2-EOR saat ini juga dalam tahap joint study
bersama Jepang. Sukowati CCUS ditargetkan mulai untuk tahap pilot pada
2022-2025, fullscale mulai tahun 2030 dan berpotensi menyerap CO2 ±15 Million
tCO2 selama 25 tahun serta dapat meningkatkan produksi sekitar ±50,6 MMSTB.
Tangguh CCUS/CO2-EGR ditargetkan mulai beroperasi pada tahun 2026 dan
berpotensi menyerap CO2 ±25 Million tCO2 selama 10 tahun serta dapat
meningkatkan produksi sekitar ±300 BSCF. Selain itu, beberapa studi seperti CCS
Sakakemang, Abadi CCS/CCUS, CCS untuk memproduksi Clean Fuel Ammonia di
Sulawesi Tengah, East Kalimantan CCS/CCUS Study, Study of CCUS for Coal to DME,
Arun CCS/CCUS.
Pemerintah Indonesia sedang menyusun kebijakan mengenai CCS/CCUS yang
terdiri dari aspek teknis, skenario bisnis, legal, dan ekonomi dengan
melibatkan asosiasi serta Kontraktor Kerja Sama Migas di Indonesia. Untuk itu,
peran perguruan tinggi dalam pengembangan teknologi dan SDM sangat dibutuhkan
untuk mendorong kegiatan CCS/CCUS. Teknologi CCS/CCUS sudah terbukti di dunia,
namun merupakan sesuatu yang baru bagi Indonesia.
Upaya lainnya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca adalah pengembangan
infrastruktur gas bumi, jaringan gas rumah tangga, pengurangan dan pemanfaatan
gas suar (gas flaring), kebijakan harga gas, serta penyusunan regulasi terkait
carbon tax.
Gas Bumi Untuk Indonesia
Koordinator Penyiapan Program Minyak dan Gas Bumi Rizal Fajar Muttaqien
memaparkan, Pemerintah senantiasa mendorong pemanfaatan gas sebagai energi
transisi menuju NZE.
Indonesia memiliki Grand Strategi Energi yang visinya adalah
terwujudnya bauran energi nasional berdasarkan prinsip keadilan, berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan guna terciptanya ketahanan, kemandirian dan
kedaulatan energi yang berpedoman pada haluan ideologi Pancasila. Untuk
mewujudkannya, terdapat tantangan di mana demand energi meningkat, sementara
kapasitas pasokan energi terbatas.
Migas dalam transisi energi berperan sebagai energi utama dalam
transportasi, gas bumi dimanfaatkan sebagai energi transisi sebelum EBT 100% di
pembangkit, gas bumi sebagai bahan bakar pembangkit untuk EBT yang intermiten
dan pemenuhan kebutuhan domestik. "Gas menjadi energi transisi untuk
mengatasi kebutuhan energi menuju NZE tahun 2060," katanya.
Lebih lanjut Rizal memaparkan, berdasarkan Neraca Gas Bumi Indonesia
2022-2030, secara nasional perkiraan kebutuhan gas Indonesia hingga tahun 2030
dapat dipenuhi dengan pemanfaatan project dan potential supply, serta
mengoptimalkan peran LNG. Neraca gas dibagi dalam VI Region di mana pada
waktu-waktu tertentu beberapa region akan mengalami defisit seperti di Region
I, II, III dan IV, namun akan dipenuhi dengan LNG dari Region V dan VI.
Pemerintah menetapkan alokasi dan pemanfaatan serta harga gas bumi
untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor yang ditetapkan dalam Permen ESDM Nomor
06 Tahun 2016. Latar belakang penetapannya adalah gas bumi sebagai sumber daya
alam tak terbarukan maka pemanfaatannya perlu diatur secara berkesinambungan,
mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
"Pertimbangan penetapan alokasi gas bumi yaitu kepentingan umum,
kepentingan negara, Neraca Gas Bumi Indonesia, cadangan dan peluang pasar gas
bumi, infrastruktur yang tersedia maupun dalam perencanaan, serta keekonomian
lapangan," papar Rizal.
Landasan hukum pengaturan harga gas bumi, antara lain UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta Kepmen ESDM Nomor Kepmen ESDM Nomor 134/2021 tentang Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri dan Kepmen ESDM Nomor 118/2021 jo 135/2021 tentang Harga Gas di Pembangkit Tenaga Listrik (Plant Gate).
"Pengguna gas bumi tertentu tahun 2021 meningkat sekitar 24%
dibandingkan tahun 2020 di mana tahun 2020 jumlah pengguna gas bumi tertentu
sebesar 176 perusahaan baik langsung maupun melalui BU Niaga Gas Bumi.
Sedangkan tahun 2021 jumlahnya meningkat menjadi 218 perusahaan," imbuh
Rizal.
Dengan adanya harga gas bumi tertentu untuk industri dan kelistrikan
ini, besaran subsidi untuk pupuk dan listrik menurun. Subsidi listrik tahun
2021 turun menjadi Rp 56,61triliun dari sebelumnya Rp61,1 triliun tahun 2020.
Sementara subsidi pupuk turun menjadi Rp27,16 di tahun 2022 dari sebelumnya
Rp34,23 triliun.
Di sisi lain, Pemerintah melakukan pengaturan perencanaan pembangunan
infrastruktur gas bumi dan menyusun Rencana Induk Jaringan Transmisi dan
Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN) yang dapat disesuaikan setiap tahun.
RIJTDGBN ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pembangunan dan pengembangan
infrastruktur gas bumi, keputusan investasi dan pengembangan pasar gas bumi
domestik.
Dalam paparannya, Rizal menyampaikan Program Konversi Diesel ke LNG.
Latar belakangnya adalah produksi minyak yang terus menurun, sementara
konsumsinya meningkat berdampak pada peningkatan impor dan defisit neraca
perdagangan. Oleh karena itu, perlu utilisasi sumber energi alternatif untuk
mengurangi ketergantungan dan impor BBM.
Gas bumi merupakan sumber energi alternatif yang menjadi pilihan utama.
Apalagi, cadangan gas Indonesia dan dunia lebih banyak daripada cadangan
minyak. "Dari aspek keekonomian akan lebih menguntungkan. Perencanaan akan
lebih jangka panjang, transparan dan andal," jelas Rizal.
Faktor lainnya adalah gas bumi termasuk LNG menjadi pilihan utama dalam
masa transisi energi karena emisi pembakaran yang relatif lebih rendah.
Konversi ini juga memicu pertumbuhan industri dan kegiatan ekonomi di target
lokasi.
Narasumber kedua yaitu Sugiarto selaku Koordinator Pelaksanaan
Pembangunan pada Direktorat Perencanaan Pembangunan Infrastruktur Migas,
menyampaikan paparan mengenai pemanfaatan gas bumi melalui APBN.
Pelaksanaan pembangunan infrastruktur melalui APBN yang dilakukan
Pemerintah yaitu pembangunan jaringan gas bumi untuk rumah tangga (jargas),
infrastruktur bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi, jaringan transmisi gas
bumi ruas Cirebon-Semarang (Cisem), serta paket Konversi BBM ke LPG untuk
Nelayan dan Petani Sasaran.
Latar belakangnya adalah kebijakan Pemerintah untuk membangun
kedaulatan dan kemandirian di bidang energi, Program Diversifikasi Energi untuk
mengurangi ketergantungan terhadap BBM dengan mengkonversi BBM ke LPG melalui
program pendistribusian paket perdana LPG 3 kg untuk nelayan dan petani sasaran.
Selain itu, pemanfaatan sumber energi dalam negeri dengan penyediaan
gas bumi untuk sektor rumah tangga dan transportasi, kurang berkembangnya
infrastruktur gas bumi di sektor rumah tangga dan transportasi karena badan
usaha tidak mengembangkannya, sehingga Pemerintah sebagai inisiator pengembang
jargas dan transportasi. "Latar belakang lainnya adalah penyediaan energi
yang bersih, murah, ramah lingkungan dan efisien," tambah Sugiarto.
Jaringan gas untuk rumah tangga (jargas) merupakan salah satu Proyek
Prioritas Strategis Nasional (PSN) RPJMN 2020-2024. Sejak dibangun tahun 2009,
melalui APBN hingga tahun 2021 telah terbangun 662.431 sambungan rumah (SR).
Sedangkan tahun 2022, rencananya akan dibangun sebanyak 40.777 SR di 12
kabupaten/kota.
Kriteria pembangunan jargas atau city gas adalah ketersediaan suplai
gas dan infrastruktur pasok gas bumi, serta ketersediaan pasar. Penggunaan
jargas sangat menguntungkan karena harganya lebih murah dibandingkan LPG,
menekan subsidi dan impor BBM, emisi lebih bersih dibandingkan BBM dan kayu
bakar, serta tersedia 24 jam.
"Diversifikasi BBG untuk transportasi bertujuan diversifikasi
pasokan energi untuk mengurangi ketergantungan nasional pada BBM, meminimalkan
penyalahgunaan BBM bersubsidi, efisiensi anggaran Pemerintah, mengurangi biaya
bahan bakar pemilik kendaraan dan menyediakan bahan bakar bersih, praktis dan
efisien, serta murah," papar Sugiarto.
Hingga saat ini telah terbangun 46 SPBG yang tersebar di Palembang dan
Prabumulih, Balikpapan, Semarang, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa
Timur.
Sementara pembangunan Pipa Transmisi Gas Bumi Ruas Cirebon-Semarang
(Cisem) juga merupakan PSN. Infrastruktur ini mendukung pengembangan industri
berdaya saing dan mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan sesuai Perpres Nomor 79
Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan
Kendal-Semarang-Salatiga-Demak-Grobogan, Kawasan
Purworejo-Wonosobo-Magelang-Temanggung dan Kawasan Brebes-Tegal-Pemalang.
"Saat ini telah banyak perusahaan multinasional yang berinvestasi
pada Kawasan Industri (KI) Kendal dan Kawasan Industri Terpadu (KTI)
Batang," imbuhnya.
Berdasarkan analisis permintaan, potensi permintaan mencapai puncaknya
sebesar 235,4 MMSCFD pada periode 2038-2050 yang berasal dari kawasan industri
di Jawa Tengah sebesar 163 MMSCFD, untuk RDMP Balongan sebesar 45 MMSCFD dan
jargas rumah tangga 27,4 MMSCFD.
Kebutuhan pipa Cisem berpotensi dipasok dari WK yang berada di Jawa
Tengah dan Jawa Timur yang dikelola oleh KKKS PEPC, EMCL, Saka Muriah, TIS
Petroleum E&P Blora Pte. Ltd. Potensi suplai dapat bertambah dari lapangan
yang belum dikembangkan. Pasokan gas total 1,2 TCF.
Pembangunan pipa Cisem dibagi 2 tahap yaitu Tahap I ruas
Semarang-Batang sepanjang 62 km dan Tahap II ruas Batang-Cirebon sepanjang 181
km.
Terkait Paket Konversi BBM ke BBG untuk Nelayan dan Petani Sasaran,
manfaatnya antara lain memberikan solusi penyediaan energi alternatif yang
lebih ramah lingkungan dan sudah dikenal masyarakat, serta membantu ekonomi
masyarakat nelayan dan petani sasaran menuju masyarakat yang mandiri dan ramah
lingkungan.
Konversi BBM ke LPG untuk nelayan dilaksanakan sejak 2016 dan hingga
2020 telah dibagikan 85.859 paket. Sedangkan untuk petani, dilaksanakan sejak
2019 dan hingga 2021 telah dibagikan 14.448 paket. Untuk 2022, rencananya akan
dibagikan 20.000 paket untuk nelayan dan 30.000 paket untuk petani.
"Pemerintah telah menetapkan kriteria-kriteria bagi nelayan dan
petani yang berhak mendapatkan paket konversi ini," kata Sugiarto.
Pada kesempatan yang sama, Agung Kuswardono sebagai Koordinator
Perencanaan Pembangunan pada Direktorat Perencanaan Pembangunan Infrastruktur
Migas, menjelaskan pembangunan jargas rumah tangga melalui skema Kerja Sama
Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).
KPBU adalah kerja sama antara Pemerintah dan Badan Usaha dalam
penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu kepada
spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala
Daerah/BUMN/BUMD, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya badan
usaha dengan memperhatikan pembagian risiko antara para pihak. Contoh fasilitas
umum yang dibangun dengan skema KPBU adalah pembangunan jalan tol, power plant
dan kereta bandara.
Agung memaparkan, pembangunan jargas rumah tangga mendapat sambutan
sangat baik dari masyarakat dan Pemda, sehingga banyak permintaan agar
jumlahnya ditingkatkan. Di sisi lain, Pemerintah juga terkendala pendanaan
melalui APBN. Agar pembangunan jargas dapat dilakukan secara berkelanjutan,
pembangunannya dilakukan dengan skema KPBU.
"Pemerintah menargetkan pembangunan jargas hingga tahun 2024 dapat
terbangun sebanyak 4 juta SR. Pembangunan jargas dengan skema APBN berakhir
pada 2022 dan dilanjutkan dengan skema KPBU. Studi pendahuluan skema KPBU telah
dilaksanakan pada 2020-2021 di 23 lokasi," papar Agung.
Pemilihan skema KPBU untuk mempercepat pembangunan jargas adalah
penyediaan infrastruktur berdasarkan kebutuhan aktual, mekanisme kompetisi yang
adil dan terbuka dalam proses pengadaan, layanan infrastruktur oleh badan usaha
sesuai kriteria yang ditetapkan Pemerintah, risiko Pemerintah lebih kecil
karena berbagi dengan swasta, kapasitas dan manajemen sektor swasta dalam
penyediaan infrastruktur, kontribusi dana badan usaha membantu tugas Pemerintah
menyediakan berbagai proyek infrastruktur dan pemisahan antara entitas
regulator dan operator.
Agung menegaskan KPBU bukan merupakan privatisasi tetapi pengelolaan
aset melalui konsesi. "KPBU bukan pengalihan kewajiban Pemerintah dalam
penyediaan layanan kepada masyarakat, tetapi KPBU merupakan pembiayaan untuk
merancang, membangun dan mengoperasikan proyek-proyek infrastruktur kepada
swasta," jelasnya.
Investasi swasta ini bukan sumbangan gratis kepada Pemerintah dalam
penyediaan pelayanan publik. "Intinya adalah bagaimana Pemerintah hadir
memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Bagaimana konsepnya, apakah BOT
dan sebagainya, itu adalah konsep penyediaan infrastrukturnya. Tapi untuk
melayaninya, Pemerintah hadir di situ," kata Agung.
KPBU juga bukan merupakan sumber pendapatan Pemerintah yang akan
membebani masyarakat dalam pelayanan umum. KPBU bukan merupakan pinjaman
(utang) Pemerintah kepada swasta. "Dalam skema apapun dalam KPBU, tidak
ada Pemerintah mengeluarkan uang lebih dulu untuk menalangi. Semua uang untuk
pembangunan infrastruktur dilakukan oleh investor. Oleh karena itu, investor
membutuhkan kepastian," tambahnya.
Pengembalian investasi pada KPBU terbagi dua yaitu pembangunan oleh
pengguna dalam bentuk tarif (user fee) dan pembayaran ketersediaan layanan
(availability payment).
Fasilitas dan dukungan yang diberikan Pemerintah dalam skema KPBU ini
yaitu PDF atau fasilitas penyiapan proyek, VGF atau dana dukungan kelayakan dan
penjaminan Pemerintah atas risiko politik.
Mengenai kriteria pemilihan lokasi KPBU jargas rumah tangga, menurut
Agung, dekat dengan sumber gas/pipa gas, spesifikasi gas bumi terpenuhi (tidak
membahayakan masyarakat), potensi pasar pengguna, komitmen Pemda, memenuhi
kaidah keselamatan dan keteknikan, serta memiliki potensi komersial dan
industri.
Pilot project KPBU jargas dengan fasilitas PDF
Kemenkeu dilakukan di kota Batam dan Kota Palembang. (Ditjen Migas/TW)